Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGUNGNYA sudah lama terdengar: paling lambat pada awal 2009, semua desa di Indonesia akan menikmati layanan telepon. Nyatanya, masyarakat pedesaan harus memperpanjang sabar menunggu rencana muluk dengan nama Universal Service Obligation (USO) itu. Soalnya, pemerintah tiba-tiba membatalkan tender USO yang telah memasuki babak akhir.
”Tidak ada peserta pengadaan yang memenuhi persyaratan Dokumen Pemilihan,” demikian pengumuman di situs Balai Telekomunikasi dan Informasi Pedesaan (BTIP), Kamis dua pekan lalu. BTIP adalah lembaga bentukan pemerintah untuk menyelenggarakan program USO. Kepada pers, juru bicara BTIP, Gatot S. Dewa Brata, mengatakan, panitia menemukan banyak kegagalan peserta tender ketika melakukan klarifikasi melalui pemaparan langsung.
USO atau Kewajiban Pelayanan Universal merupakan program pemerintah untuk mengatasi ketidakmerataan akses telekomunikasi di masyarakat. Maklum, dari sekitar 73 ribu desa di Indonesia, 38.471 masih belum memiliki infrastruktur telekomunikasi.
Cikal bakal proyek ini adalah Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 33/1999, yang mewajibkan setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Yang dimaksud dengan pelayanan universal adalah menyediakan jaringan untuk akses telekomunikasi dasar kepada setiap warga negara. Konsep ini muncul pertama kali dalam undang-undang komunikasi (Communication Act) di Amerika Serikat pada 1934.
Pelaksanaan USO kemudian diatur dalam PP 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi umum. Namun, karena dianggap tidak menguntungkan, para operator pemegang izin jaringan tetap lokal enggan membuka jaringan di desa-desa. Pemerintah mencari jalan lain berupa PP 28/2005. Menurut PP itu, para penyelenggara jaringan tetap boleh mangkir dari kewajiban asal menyetor 0,75 persen pendapatan kotor mereka ke kas Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Diperkirakan hingga 2013 akan terkumpul dana Rp 5,4 triliun. Dana itulah yang dianggarkan untuk proyek pengadaan akses telekomunikasi di lebih dari 38 ribu desa selama lima tahun, 2009–2013. BTIP membagi desa-desa itu dalam 11 blok wilayah dan menenderkannya secara terpisah.
Tender diawali dengan pendaftaran dan seleksi prakualifikasi yang berakhir pada 5 Oktober. Ada 45 perusahaan yang berminat, termasuk PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Asia Cellular Satelite, PT Exelcomindo Pratama, dan PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. Namun, setelah Sampul 1 yang berisi dokumen administrasi dan teknis dibuka pada 21 November, hanya Telkom dan ACeS yang bertahan.
Tender berjalan lancar hingga Sampul 2 yang berisi harga penawaran dibuka sepekan kemudian. Untuk keseluruhan blok, ACeS menawar paling murah, hanya Rp 1,7 triliun. Telkom mengajukan Rp 5,06 triliun, hanya sedikit di bawah harga perkiraan pemerintah, Rp 5,4 triliun.
Dengan posisi penawaran semacam itu, ACeS punya peluang besar untuk menang. ”Kalau menang dan mendapat izin jaringan tetap lokal, kami pasti akan membangun jaringan sendiri,” kata Adi R. Adiwoso, Presiden Komisaris ACeS. Nah, di saat harap-harap cemas menunggu pengumuman pemenang tender itulah, berita buruk datang: tender digugurkan!
Jika merujuk kepada pengumuman di situs BTIP bahwa alasan utama pembatalan adalah Pasal 28 ayat 1 Keppres Nomor 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, keputusan itu rasanya tak masuk akal. Menurut pasal itu, tiga sebab gagalnya tender adalah pesertanya kurang dari tiga; tidak terpenuhinya persyaratan administrasi, dan harga penawaran lebih tinggi dari pagu pemerintah.
Dari berbagai dokumen tender yang diperoleh Tempo, tak terlihat pelanggaran rambu itu. Pesertanya ternyata lebih dari tiga untuk setiap blok. Uji administrasi dan teknis juga telah dilakukan; hanya PT Telkom dan ACeS yang lulus. Soal harga, di samping penawaran PT Telkom yang lebih tinggi dari pagu pada enam blok wilayah, semua penawaran kedua perusahaan itu lebih kecil atau pada kisaran pagu. Jadi, apa alasan yang sesungguhnya?
Gatot S. Dewa Brata seperti menghindari jawaban rinci. Telkom, katanya, gugur karena volume sambungan yang ditawarkan lebih dari yang diatur dalam rencana kerja dan syarat-syarat tender. Sedangkan ACeS gugur karena teknologinya tak sesuai. ”Ini memang tidak kami sampaikan secara terbuka di website,” katanya.
ACeS, menurut Gatot, tersandung teknologi Portable Fixed Satellite (PFS), Code Division Multiple Access (CDMA), dan Global System for Mobile-Communications (GSM). Ketiga teknologi itu, menurut Gatot, tak sejalan dengan aturan dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 38/2007. ”Aturan itu menyebutkan, pemenang tender akan diberi izin sebagai penyelenggara jaringan tetap lokal,” ujarnya. ”Artinya, USO hanya menggunakan jaringan tetap lokal. Ketiga teknologi itu tak cocok.”
Alasan terbaru BTIP ini malah kian membingungkan pihak ACeS. ”Tidak ada aturan seperti itu dalam syarat-syarat tender,” ujar Adi R. Adiwoso, heran. Bahkan, seingat dia, dalam sesi penjelasan, 2 November lalu, masalah solusi teknologi seluler ini pernah ditanyakan PT Patrakom.
”Ketika itu panitia menjawab boleh, asal menggunakan skema kemitraan atau subkontrak,” Adi menambahkan. Lagi pula, menurut dia, jika memang teknologi yang mereka tawarkan tak sesuai, mengapa mereka tidak digugurkan pada saat seleksi administrasi dan teknis?
Ketua Masyarakat Telematika Indonesia, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, juga bingung. Menurut dia, setiap kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan teknologi komunikasi harus bersifat netral. ”Artinya, teknologi apa pun, sepanjang bisa melayani dan efisien, ya harus diizinkan.”
Wigrantoro juga tak mengerti alasan BTIP soal jaringan tetap. Menurut dia, kata-kata jaringan tetap mengacu kepada jenis layanan, bukan teknologi. ”Jadi, kalau CDMA, misalnya, bisa melayani jaringan tetap, kenapa tidak?”
Memang, sudah lama CDMA digunakan juga sebagai jaringan tetap. Flexi milik Telkom, StarOne dari Indosat, dan Esia punya Bakrie Telecom, misalnya, beroperasi dengan izin jaringan tetap.
Sumber Tempo, peserta tender yang kalah di putaran awal, membisikkan alasan ngalor-ngidul itu cuma akal-akalan BTIP. ”Pemerintah tak ingin proyek ini jatuh ke pihak selain Telkom,” katanya. ”Soalnya, jika pihak lain mendapat izin membangun jaringan lokal tetap, Telkom akan tersaingi.”
Benar bahwa Telkom terancam kalah tender karena penawarannya jauh di atas AceS, tapi sulit juga membuktikan Telkom dan BTIP bermain mata. Vice President Public & Marketing Communication Telkom, Eddy Kurnia, membantah tudingan itu. ”Nggak ada kesepakatan seperti itu,” katanya.
Gatot juga membantah. ”Percayalah, putusan BTIP ini independen,” ia berusaha meyakinkan. Dia berkeras bahwa keputusan menggugurkan Telkom dan ACeS sudah tepat. ”Daripada meneruskannya dan bermasalah, bisa-bisa nanti kami diseret BPK atau KPK,” ujarnya.
Toh, ACeS tak mau menyerah begitu saja. Menurut Adi, mereka akan mempersoalkan keputusan BTIP itu kepada pemerintah. ”Kalau perlu, kami akan menuntut hingga ke pengadilan,” katanya.
Lepas dari niat tuntut-menuntut ini, satu hal sudah pasti: akan lebih panjang penantian ”kring” di 38 ribu desa. Kalaupun tender baru segera digelar, awal tahun depan, paling cepat baru pada pertengahan 2009 telepon bisa digunakan. Itu pun jika ACeS tak sampai mengajukan tuntutan hukum.
Philipus Parera, Rika Panda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo