Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank sentral kini dikecam banyak pihak karena menaikkan suku bunga.
Inflasi makin tak terkendali jika bank sentral tak mengendalikan suku bunga.
Bank Indonesia mungkin menaikkan suku bunga pada akhir tahun ini.
SUNGGUH malang nasib para bankir bank sentral. Di mana-mana kini orang menyalahkan mereka sebagai biang keladi keadaan ekonomi yang makin sulit. Di tengah demonstrasi yang marak di seantero Eropa, misalnya, bank sentral harus menerima nasib menjadi musuh publik nomor satu.
Para demonstran mengecam karena bank sentral menaikkan suku bunga dan mengadopsi kebijakan moneter ketat yang berdampak buruk pada ekonomi. Bunga yang tinggi dan keringnya likuiditas akan membuat ekonomi lesu, bahkan terjerumus ke dalam resesi. Hidup yang sudah sulit bagi warga kebanyakan akan menjadi makin keras di bulan-bulan mendatang.
Politikus tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka beramai-ramai ikut menyalahkan bank sentral. Lumayan, ada kambing hitam untuk kesulitan ekonomi yang sedang menekan. Para pemimpin Eropa, dari Italia, Prancis, sampai Finlandia—yang biasanya lebih tenang merespons kebijakan moneter bank sentral—mulai meradang. Mereka mempersoalkan independensi bank sentral. Jika hanya akan menciptakan resesi, tak semestinya bank sentral dibiarkan menaikkan bunga tanpa kendali politikus. Narasi semacam itulah yang makin kencang bergaung di mana-mana.
Padahal begitulah pakem ekonomi yang lazim. Sejauh ini belum ada kebijakan moneter yang efektif meredakan inflasi selain menaikkan suku bunga. Ketika inflasi terbang tinggi, bunga harus naik dan likuiditas mesti mengetat, titik. Jika bank sentral tak boleh menaikkan bunga dan mengetatkan peredaran uang, inflasi akan makin tak terkendali.
Belum lagi ada soal lain yang juga harus dihadapi bank-bank sentral di luar Amerika Serikat: bunga tinggi di Amerika membuat dolar Amerika menguat. Konsekuensinya, nilai mata uang lain di seluruh dunia terhadap dolar Amerika turun. Untuk menahan kemerosotan ini, bank sentral harus menaikkan bunga, mengimbangi kenaikan bunga di Amerika.
Maka itulah yang masih akan terjadi selama beberapa bulan ke depan. Meski protes merebak di mana-mana, bunga masih akan naik. Likuiditas juga akan makin ketat. Kecemasan yang memuncak bahwa resesi global akan segera datang tak bakal menghentikan langkah bank sentral menaikkan bunga dan menjalankan kebijakan moneter ketat yang makin mencekik pertumbuhan.
Di Eropa, kecaman demonstran dan politikus tak menghentikan langkah Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan bunga langsung dua kali lipat, dari 0,75 persen menjadi 1,5 persen, pekan lalu. Di Amerika Serikat, pemilihan umum tengah waktu untuk anggota Kongres dan Senat pada November ini juga tak akan menghalangi aksi The Federal Reserve menaikkan bunga. Pada pekan ini pasar memperkirakan bunga The Fed naik lagi, bahkan mungkin sebesar 0,75 persen lagi.
Pasar kini hanya bisa mengantisipasi kebijakan moneter yang makin ketat akan membuat likuiditas dolar makin kering di seluruh dunia. Likuiditas valuta asing dalam negeri sudah pasti ikut terpengaruh karenanya. Modal asing yang sebelumnya tertanam di pasar finansial domestik dalam rupiah kabur keluar mencari aman. Surplus perdagangan yang selama ini menjadi bantalan penyelamat sudah mulai mengempis.
Secara nyata, tekanan itu terlihat jelas pada kurs rupiah yang terus melemah. Kini kurs rupiah sudah melewati level 15.500 per dolar Amerika Serikat. Meski Bank Indonesia sudah menaikkan bunga dua kali, masing-masing 0,5 persen dalam dua bulan terakhir, tekanan terhadap rupiah belum akan mengendur.
Apalagi jika The Fed tetap menaikkan bunga secara agresif dalam pertemuan 2-3 November ini. Setelah itu, masih ada satu kali lagi pertemuan The Fed tahun ini, pada 14-15 Desember mendatang. Jika bunga diputuskan naik dalam kedua pertemuan itu, tekanan terhadap rupiah akan makin kuat.
Pada gilirannya, Bank Indonesia tak punya pilihan selain ikut menaikkan bunga dalam dua sidang yang tersisa tahun ini, pada 16-17 November dan 21-22 Desember. Khalayak ramai dan politikus mungkin akan melampiaskan amarah terhadap bank sentral. Namun, selama belum ada cara lain untuk menekan inflasi dan menahan merosotnya nilai rupiah, bunga tinggi dan likuiditas ketat adalah satu-satunya jalan. Kita harus bersiap menyambut pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih lambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo