Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

TGIPF Kanjuruhan: Kami Minta Polisi Transparan

Investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mendapatkan hambatan. Autopsi korban tak berjalan lancar.

30 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Laode Muhamad Syarif, di Jakata/Dok TEMPO/STR/Faisal Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPOLISIAN RI membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan. Tapi hampir sebulan berjalan, pengusutan kematian 135 penonton dalam pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober lalu, tak kunjung tuntas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepolisian RI memang telah menetapkan enam tersangka—tiga di antaranya polisi. Namun sejumlah pihak yang diduga turut bertanggung jawab masih belum tersentuh. Upaya penyelidikan secara scientific crime investigation juga tidak berjalan sesuai dengan harapan. Rencana autopsi para korban tidak berjalan mulus karena sejumlah keluarga membatalkan izin autopsi setelah didatangi polisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mewakili TGIPF Kanjuruhan, Laode Muhammad Syarif mengatakan pihaknya telah meminta pimpinan Polri lebih profesional dan tegas dalam pengusutan kasus tersebut. Berikut ini petikan wawancara mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu lewat sambungan telepon kepada wartawan Tempo, Agung Sedayu, pada Rabu dan Jumat, 26 dan 28 Oktober lalu.

Bagaimana perkembangan investigasi TGIPF terkait dengan tragedi Kanjuruhan?
Masih berjalan. Bukti-bukti masih kami kumpulkan. Ada sejumlah barang bukti yang masih dicari, seperti rekaman kamera pengawas lain. Belum semua kami dapatkan.

Apakah TGIPF mengikuti rekonstruksi yang digelar polisi?
Ada perwakilan kami yang ikut. Sempat kami pertanyakan kenapa rekonstruksi hanya menunjukkan tembakan gas air mata ke arah lapangan. Padahal berdasarkan rekaman kamera pengawas banyak sekali penembakan.

Apa alasannya?
Mereka beralasan rekonstruksi itu hanya terkait dengan pihak yang telah menjadi tersangka.

Kami mendapat informasi bahwa keluarga korban mendapat tekanan. Apakah ini penyebab proses autopsi mandek?
Secara aturan, autopsi bisa dilakukan jika mendapat persetujuan keluarga korban. Kami telah mendekati keluarga supaya mengizinkan autopsi. Namun belakangan mereka menarik izin autopsi tersebut. Alasannya, mereka didatangi polisi berkali-kali.

Apakah ada ancaman atau intimidasi terhadap keluarga korban?
Kami tidak mendapat informasi adanya ancaman atau tekanan, tapi kedatangan polisi yang hampir setiap hari itu membuat keluarga korban merasa tidak nyaman dan akhirnya membatalkan izin autopsi.

Mengapa autopsi penting dalam pengusutan kasus ini?
Penting untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian korban. Jika polisi hendak menyelidiki secara scientific crime investigation, semestinya mereka mendorong keluarga mengizinkan autopsi supaya persoalan menjadi lebih terang. Menjadi aneh jika terjadi sebaliknya, yaitu kepolisian seolah-olah tidak memiliki kemauan yang tulus.

Bagaimana sikap TGIPF terhadap kondisi tersebut?
Kami meminta kepolisian transparan dan menerapkan investigasi modern dalam pengusutan kasus ini. Kami juga meminta kepolisian mendorong keluarga korban untuk mengizinkan autopsi. Itu sudah kami sampaikan kepada pimpinan Polri. Sekarang kepolisian sudah bersedia autopsi dilakukan.
(Catatan: Berdasarkan surat undangan autopsi yang diterima TGIPF, autopsi terhadap dua korban kerusuhan akan dilakukan pada 5 November 2022).

TGIPF meminta Badan Riset dan Inovasi Nasional meneliti gas air mata yang ditembakkan di Stadion Kanjuruhan. Bagaimana hasilnya?
Laporan dari BRIN tentang komposisi kimia gas air mata sudah dilaporkan ke kami. Tapi belum ada kesimpulan apakah itu bagian dari penyebab kematian atau tidak, karena kesimpulan itu mesti dari pihak medis dan mesti dikaitkan dengan hasil autopsi. Sekarang hasil autopsi belum ada.

Kenapa dokter yang ikut memeriksa enggan memberikan keterangan mengenai penyebab kematian korban?
Kami terus terang heran mengapa banyak dokter yang enggan memberikan keterangan penyebab kematian korban. Mereka takut menjadi saksi. Semestinya mereka tidak takut karena dilindungi undang-undang dan itu juga merupakan tanggung jawab profesi mereka.

Apa langkah tim untuk menyelesaikan persoalan itu?
Kami melakukan pendekatan personal ke sejumlah dokter. Pak Doni Monardo, personel TGIPF, antara lain mendekati sejumlah purnawirawan dokter untuk bersedia menganalisis dan memberikan keterangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus