Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DAS Batanghari yang sudah kritis makin rusak akibat konversi lahan dan penambangan galian C ilegal.
Penambangan ilegal tak bisa ditindak karena dibeking pejabat dan aparatur hukum.
Kebijakan dan tata kelola sungai yang buruk membuat 108 sungai, dari 17 ribu, di Indonesia terancam.
DI Sungai Batanghari, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan secara langsung merusak lingkungan. Sungai terpanjang di Sumatera itu kini rusak parah akibat eksploitasi tak terkendali. Galian pasir, pertambangan emas dan batu bara, hutan tanaman, hingga perkebunan kelapa sawit—baik yang legal maupun ilegal—menjadi penyebab degradasi sungai ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yang merentang sepanjang 800 kilometer dari Gunung Rasan di Sumatera Barat hingga Muara Sabak di Jambi, kini berada di ambang kehancuran. Dalam sepuluh tahun terakhir, menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jambi, jumlah pertambangan tanpa izin meningkat signifikan, menjadi 437 titik pada 2023. Penambangan ilegal yang merusak ekosistem itu melibatkan pejabat, polisi, hingga tentara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa polisi menembak polisi di Kepolisian Resor Solok Selatan, Sumatera Barat, dua pekan lalu membuktikan aparat hukum menjadi beking pelaku galian C ilegal. Ajun Komisaris Dadang Iskandar, Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan, menembak mati koleganya, Kepala Satuan Reserse Ajun Komisaris Ulil Ryanto Anshar, karena tak terima bisnis gelapnya diusik.
Dadang Iskandar bisa jadi hanya satu dari banyak polisi yang menjadi beking penambangan ilegal di DAS Batanghari. Selama puluhan tahun, penambangan ilegal di sana tak bisa ditindak karena dilindungi aparatur hukum. Akibatnya, DAS kedua terbesar di Indonesia dengan area tangkapan air seluas 4,9 juta hektare itu dalam kondisi terancam.
Masalahnya, kondisi itu tak membuat pemerintah jeri. Pada Februari 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jambi mendukung keputusan gubernur menetapkan Sungai Batanghari sebagai jalur pengangkutan batu bara. Mereka menolak saran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang melarang Sungai Batanghari dijadikan jalur tongkang.
Pemerintah Jambi mengizinkan sungai sebagai jalur transportasi batu bara dengan dalih menghindari kemacetan serta kecelakaan di jalan darat. Sementara itu, Kementerian Energi melihat pencemaran Sungai Batanghari terlampau berat. Ceceran batu bara akan memperburuk pencemaran air yang sudah terkontaminasi limbah pelbagai industri yang dibuang ke badan sungai.
Kerusakan DAS Batanghari mencerminkan kesalahan mendasar dalam praktik otonomi daerah. Demi mengejar pendapatan asli daerah, pemerintah lokal sering mengizinkan industri ekstraktif memanfaatkan badan sungai. Tanpa menimbang tata ruang, daya tampung, dan daya dukung lingkungan, DAS Batanghari yang kaya cadangan emas pun dikeruk perusahaan tambang. Ketika kuasa pengelolaan DAS beralih ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penambangan ilegal tetap berlanjut tanpa pengawasan.
Krisis Batanghari dan sungai lain diperparah oleh implementasi Undang-Undang Cipta Kerja. Dihapusnya syarat mempertahankan 30 persen tutupan hutan di setiap DAS membuat sungai makin rentan eksploitasi. Akibatnya, banjir, kerusakan ekosistem, dan korupsi menjadi ancaman nyata bagi daerah aliran sungai yang menopang kehidupan masyarakat.
Jika pemerintah benar-benar serius mempromosikan program restorasi dan rehabilitasi hutan di forum internasional, perbaikan DAS Batanghari seharusnya menjadi prioritas. Sayangnya, kebijakan pemerintah, termasuk di bawah Presiden Prabowo Subianto, tampak lebih menguntungkan oligarki daripada memperbaiki ekosistem sungai. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo