Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perubahan status limbah sawit melonggarkan jerat hukum bagi perusahaan penghasil limbah.
Limbah SBE dapat mencemari sumber mata air.
Timbulan limbah sawit terus meningkat.
JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik keputusan pemerintah mengecualikan limbah penyulingan minyak sawit atau spent bleaching earth (SBE) dengan kadar minyak di bawah 3 persen sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Pemerintah dinilai memperbesar risiko pencemaran lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, mencatat pemerintah sebelumnya sudah berupaya mengatasi limbah SBE tanpa mengubah statusnya sebagai B3. Melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3, SBE dengan kadar minyak di bawah 3 persen dikategorikan sebagai limbah yang mendapat pengecualian pengolahan B3 dengan syarat tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengutip keterangan tertulis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 29 Juni 2020, pengecualian itu diberikan agar SBE bisa dimanfaatkan menjadi produk lain. Dengan begitu, timbulan B3 yang melonjak dapat teratasi. Berdasarkan Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 KLHK (SIRAJA), timbulan limbah SBE yang dihasilkan pada 2017 sebesar 184.162 ton. Angkanya naik menjadi 637.475 ton setahun kemudian, lalu menjadi 778.894 ton pada 2019.
Pabrik di area perkebunan sawit di Riau, 2015. Dokumentasi TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat.
Ketentuan dalam aturan tersebut, menurut Wahyu, tak jauh berbeda dengan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang menyatakan SBE sebagai limbah B3. "Jika prinsipnya sama, mengapa harus sampai dikeluarkan dari daftar limbah B3?" ujar Wahyu, kemarin.
Sebab, perubahan status limbah SBE melonggarkan jerat hukum bagi penghasil limbah. Saat terjadi pencemaran, tak ada lagi tanggung jawab mutlak dari penghasil limbah seperti diatur dalam pengelolaan limbah B3. "Meski baku mutu limbah sesuai, tapi kalau volume tidak terkendali dan pengolahannya asal-asalan, masyarakat semakin sulit menuntut."
Wahyu juga menyoroti narasi pemerintah yang merujuk pada praktik pengecualian limbah SBE di luar negeri. Menurut dia, kondisi pengaturan pengelolaan limbah di dalam negeri tak bisa disamakan. Dia mencontohkan Jepang yang tidak menganggap SBE sebagai limbah B3. "Di sana diatur ketat pertanggungjawaban mulai dari penghasil limbah sampai pengguna akhir jika terjadi pencemaran," kata dia. Sementara itu, di dalam negeri, penegakan hukum pada pencemaran limbah dinilai masih lemah.
Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Agus Haryono, menuturkan SBE terdiri atas campuran silika, alumina, besi oksida, dan kapur. Jika SBE memiliki kandungan minyak berlebih, limbah ini mudah terbakar. "Kandungan minyak yang berlebih juga menyebabkan bau yang mengganggu," katanya. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agus menyatakan kandungan minyak berlebih yang dimaksud adalah di atas 3 persen.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, menyatakan saat limbah SBE mencemari air, masyarakat sekitar akan terkena dampaknya. "Dampak langsung ke masyarakat rata-rata gejalanya gatal-gatal," kata dia. Sementara itu, sumber air yang tercemar tak bisa lagi digunakan karena sudah berubah warna dan berbau.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan limbah SBE, baik B3 maupun tidak, tetap akan diawasi dengan ketat. Setiap pengelolaan limbah diatur secara khusus agar tidak mencemari lingkungan. "Walaupun bukan limbah B3, (SBE) tetap limbah yang harus dikelola dengan standar-standar tertentu," kata dia. Ketentuan pengelolaan ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo