Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Lebih Baik Bicara Pahit

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA medis dan ilmiah sudah jelas, Indonesia sebetulnya belum memenuhi syarat untuk melonggarkan peri kehidupan masyarakat yang tengah tercekik wabah. Syarat-syarat agar kita boleh mengendurkan pembatasan interaksi fisik di masyarakat sama sekali belum terpenuhi.

Misalnya, yang terpenting, belum ada bukti konkret bahwa penularan Covid-19 di sini sudah terkendali. Terlebih, bicara soal angka, Indonesia belum punya data yang tepercaya lantaran jumlah tes masih amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk.

Data yang kualitasnya belum ideal itu pun justru menunjukkan bahwa tren penularan masih meningkat. Jumlah pasien positif Covid-19 melonjak lebih dari dua kali lipat dalam tempo tak sampai sebulan, dari 10.551 orang pada awal Mei menjadi 24.538 orang per 28 Mei. Banyak pakar pandemi yakin jumlah sebenarnya jauh lebih besar.

Persoalannya, di sisi lain, ada sinyal yang sangat jelas bahwa ekonomi negeri ini akan jatuh terempas jika aktivitas masyarakat masih harus tercekik lebih lama. Apalagi tak ada kerangka waktu pasti sampai kapan roda ekonomi harus berjalan tersendat-sendat.

Hingga saat ini saja sudah ada gelombang penganggur baru yang luar biasa besar. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melaporkan 6 juta pemutusan hubungan kerja lantaran wabah. Hilangnya penghasilan rutin 6 juta orang secara mendadak tentu berdampak serius pada kondisi ekonomi masyarakat. Proyeksi Kadin, pertumbuhan ekonomi di akhir kuartal II 2020 bisa ambles menjadi minus 4 persen.

Dari industri perbankan, laporan yang muncul tak kalah buruk. Data Otoritas Jasa Keuangan per 18 Mei mencatat 4,9 juta debitor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak mampu membayar bunga serta cicilan kredit dan meminta restrukturisasi utang. Itu mencakup kredit senilai Rp 458 triliun dari 95 bank dan masih akan terus bertambah.

Itu baru di sektor UMKM. Jika kegentingan berlanjut memukul korporasi besar dan memacetkan kredit-kredit berukuran jumbo, wabah ini bisa meledak menjadi krisis perbankan. Tak terbayangkan bagaimana ekonomi Indonesia bisa bertahan menghadapinya.

Pilihannya memang harus lebih realistis. Kendati syarat ilmiah dan medis belum terpenuhi, pemerintah memilih mengambil risiko melonggarkan aktivitas ekonomi. Sayangnya, komunikasi kebijakan itu sungguh simpang-siur. Pejabat-pejabat pemerintah membuat berbagai surat edaran yang bertabrakan satu sama lain. Banyak media internasional, yang menjadi rujukan investor asing, menjuluki kebijakan Indonesia tidak konsisten, flip-flop, dan jelas tidak efektif.

Lebih parah lagi, belum apa-apa pemerintah malah sudah menonjolkan niat melakukan represi dengan melibatkan 340 ribu tentara, seolah-olah Indonesia hendak berperang melawan rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, pesan utama bahwa ekonomi Indonesia bisa berantakan jika keadaan seperti ini berkelanjutan tidak tersampaikan.

Mengadopsi pelonggaran melalui protokol new normal, atau apalah namanya, tidak akan membuat ekonomi langsung kembali melesat. Langkah ini sangat krusial hanya untuk mencegah ekonomi terperosok ke jurang yang dalam. Pemerintah lebih baik transparan dan berani jujur menyampaikan pesan pahit ini ketimbang mengirim sinyal harapan yang nyaris mustahil bahwa ekonomi bisa segera pulih.

Transparansi itu harus berjalan berbarengan dengan koreksi berbagai kebijakan yang masih mungkin dilakukan. Kualitas birokrasi dan kapasitas keuangan pemerintah sangat terbatas. Itu sebabnya program bantuan sosial ataupun stimulus ekonomi yang bisa diberikan juga belum optimal mengurangi dampak wabah.

Upaya mengoreksi diri yang bersifat segera tentu masih bisa membawa perbaikan. Yang lebih penting, pemerintah bisa memenangi hati dan dukungan masyarakat secara lebih tulus. Ini komponen penting untuk keberhasilan pelonggaran aktivitas ekonomi, bukan rasa takut karena pengerahan tentara.

Indonesia jelas tidak sendiri. Banyak negara lain yang lebih amburadul dalam menangani Covid-19. Jadi Indonesia tak perlu malu mengakui kelemahan dalam menghadapi wabah baru yang sangat mengejutkan umat manusia di seluruh jagat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus