Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEK tek tek tek tek.... Suara kocokan sendok beradu dengan dinding mangkuk mengisi pojok sebuah dapur rumah bercat putih. Wawan Sofwan, aktor dan sutradara teater asal Bandung, sedang mengaduk kopi dan gula di mangkuk itu. Dalam kimono tidur dan celana pendek, Wawan bermonolog diiringi bunyi kocokan yang ia atur ritmenya agar menjadi elemen pertunjukan. Saat dia berkata, “Corona semakin dekat! Byar! Palu godam corona menghantam dan meluluhlantakkan semua rencana.... Tek tek tek tek...,” bunyi dentang dibuat makin keras dan bergegas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunyi itu terus menemani sepanjang 40 menit Wawan mendaraskan monolog. Disiarkan secara langsung lewat kanal YouTube NuArt Sculpture Park, Rabu, 20 Mei lalu, pertunjukan solo berjudul Terol (Teater Online) itu sesungguhnya unek-unek Wawan dan penulis naskah E.D. Jenura tentang nasib malang teater di tengah pandemi Covid-19. Monolog itu mengadaptasi naskah The Forgotten Art of Assembly (Or, Why Theatre Makers Should Stop Making) karya Nicholas Berger yang juga mengeluhkan nasib teater di kala pandemi. Juga bagaimana masa depan teater.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seolah-olah memerankan diri sendiri, Wawan tampak sebagai aktor yang terpaksa rehat dari panggung dan kesal atas perkembangan terbaru teater. Ia mengomentari fenomena pentas daring (online). Antara sinis dan kritis, dia menyebutkan banyak karya teater yang muncul di era pandemi dibuat seadanya saja. “Kualitas? Apa itu? Musim pandemi hanya butuh kuantitas,” ucap Wawan. Di kala pandemi ini, memang banyak teaterawan mencoba medium baru, lewat kanal YouTube, Facebook, dan lain-lain. Tapi memang semua masih uji coba, masih mencari-cari format yang tepat. Belum ada yang matang benar. Mula-mula, pentas daring kebanyakan pertunjukan lama yang ditayangkan ulang, termasuk Bunga Penutup Abad yang disutradarai Wawan. Tapi kemudian membeludak eksperimen pertunjukan daring.
Musa Sa'iq
Para aktor alumnus teater Institut Kesenian Jakarta yang berserak di berbagai kota, bahkan di Eropa, misalnya, dari tempat tinggal masing-masing menafsirkan petilan-petilan naskah Shakespeare, yang lalu diedit dan dikonstruksi menjadi fragmen yang saling berkait oleh Elizabeth Lutter. Di Malang, Jawa Timur, Anwari menyuruh aktor-aktornya mengenakan jas plastik ke kuburan, lalu menyiarkannya secara online. Afrizal Malna rutin mengunggah seri berjudul Teater Masker di kanal pribadinya. Dalam sepekan, penyair ini bisa mengunggah tiga-empat video monolog berdurasi beberapa detik hingga tiga menit tentang riwayat pandemi dan isolasi. Hingga akhir Mei lalu, ada 21 seri Teater Masker yang dibuat Afrizal.
Apakah pertunjukan daring semacam itu yang dikritik Wawan dalam monolognya? Barangkali. Namun kritik Wawan rasanya tak menyentuh benar karena kalimat demi kalimat yang ia lontarkan dalam pertunjukannya pun penuh dengan ironi. Terol mengkritik teater daring yang mengabaikan sisi artistik, seperti sudut pengambilan gambar, pencahayaan, dan penataan suara. Sementara itu, pertunjukan monolog ini tak baik-baik amat dalam mengemas segala persoalan teknis artistik tersebut.
Kamera hanya menyorot dari satu sisi, cahaya cuma bersumber dari lampu ruangan, dan suara hanya datang dari kocokan mangkuk atau perkataan Wawan yang kadang tersendat. Wawan hanya mondar-mandir dari meja ke hadapan penonton. Dapur sama sekali tak ia eksplorasi. Ia seolah-olah masih berakting di panggung. Padahal, sebagai aktor realis, ia seharusnya tahu bahwa berakting di sebuah set sungguhan, seperti rumah, membutuhkan akting dan artikulasi kalimat yang lebih alami daripada di panggung.
Musa Sa'iq
Dalam monolognya, Wawan mengucapkan teater yang telah bertahan selama 20 ribu tahun dan melalui segala tantangan akan tetap ada tanpa perlu dipaksakan berubah menjadi pertunjukan daring. Ia meminta orang-orang tak terburu-buru berteater dan bersabar hingga pandemi berlalu untuk menikmati lagi pertunjukan di atas panggung dengan layar dan ingar tepuk tangan. “Mari menghormati teater dengan berdiam sejenak, jeda tanpa mengunggah apa pun secara online,” tutur Wawan.
Pertunjukan ini berakhir dengan kopi dan gula yang terus dikocok Wawan telah berubah menjadi krim kental. Krim itu akan dicampur dengan susu dingin untuk menjadi kopi dalgona, minuman kopi yang viral di media sosial di tengah pandemi karena teknik membuatnya yang ribet padahal rasanya seperti kopi susu biasa. Monolog ini begitu pula. Tampaknya berbeda karena mengkritik karya lain. Padahal sama saja.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo