Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan itu bukan untuk menonton pertunjukan teater atau film, mirip gedung bioskop mini lengkap dengan layar lebar. Tapi sebuah adegan “disiarkan” secara langsung dari ruang bedah: proses operasi kanker kolorektal. Sel ganas yang tumbuh di usus besar atau kolon ini masuk jenis kanker nomor dua yang paling mematikan.
Puluhan pasang mata memperhatikan saksama tayangan di L’Institut de Recherche Contre les Cancers de I’Appareil Digestif (Ircad) Taiwan, Jumat, 28 Juni lalu, tersebut. Mereka dokter dari berbagai negara yang datang ke pusat studi di kompleks Chang Bing Show Chwan Memorial Hospital, Changhua Country, itu.
Pusat pelatihan ini merupakan hasil kemitraan dengan Ircad Prancis yang didirikan pada 2008 untuk mengadopsi model pendidikan ahli bedah terbaik ke Asia. Sekitar US$ 10 juta (lebih dari Rp 141 miliar) dana digelontorkan untuk investasi peralatan audiovisual dan laboratorium. Lembaga ini juga bekerja sama dengan Brasil dan Rwanda.
Wakil Kepala Administrasi Ircad Taiwan Ai-Yuan Huang mengatakan tak semua proses operasi ditayangkan di bioskop mini. “Tergantung program yang sedang digelar,” ia menjelaskan kepada Tempo, Jumat, 28 Juni lalu. Pada siang itu, misalnya, di ruang lain tengah berlangsung pelatihan bedah laparoskopi yang diikuti sekitar 20 dokter, antara lain dari India, Thailand, dan Taiwan.
Industri medis dan kesehatan Taiwan terus tumbuh dan berkembang. Kampus, pusat studi dan pusat pelatihan, serta rumah sakit maju karena didukung sektor teknologi informasi. Taiwan memasang target menjadi pemain terbesar dunia di sektor ini pada 2040. Itu sebabnya mereka gencar berekspansi ke sejumlah negara di Asia, seperti Filipina, Malaysia, Thailand, bahkan Jepang.
Taiwan pun mengincar pasien Indonesia yang selama ini dikenal “doyan” berobat ke luar negeri. Bank Dunia mencatat sekitar 1 persen warga Indonesia memilih pelayanan medis di Malaysia dan sekitar 2 persen di Singapura. Duit yang dikeluarkan kelompok masyarakat kelas menengah-atas itu diperkirakan lebih dari Rp 100 triliun setiap tahun. Malaysia Healthcare Travel Council pada 2015 menyebutkan setengah juta orang Indonesia berobat ke Malaysia, sebagian besar berasal dari Sumatera. Kasus penyakit paling banyak adalah gangguan jantung dan kanker.
Kini Taiwan agresif berpromosi melalui Biro Perdagangan Luar Negeri (Taiwan External Trade Development Council/Taitra). Wakil Direktur Eksekutif Taitra, Tony Lin, memberikan iming-iming pelayanan medis dan kesehatan di negerinya jauh lebih murah. “Saya mengobrol dengan orang-orang yang pergi ke beberapa negara itu, biaya berobat di kami hanya 60-70 persen dibanding di sana,” katanya.
Masalahnya, menurut Tony, industri medis Taiwan selama ini tidak dipublikasikan dengan gencar. Ia membandingkannya dengan Singapura dan Malaysia, yang rajin menggelar seminar atau acara lain.
Seorang warga Jakarta yang pernah mengantar anaknya berobat ke Institut Jantung Negara Sdn Bhd di Kuala Lumpur, Felix, bercerita bagaimana manajemen rumah sakit memperlakukan klien berstatus pasien internasional. Jauh hari sebelum terbang ke negeri jiran itu, bapak satu anak tersebut dihubungi petugas rumah sakit. Mereka menjelaskan persyaratan, termasuk jumlah duit deposit yang harus disetorkan, fasilitas, dan penyediaan seorang asisten yang akan membantu. “Kami dijemput di bandar udara,” ujarnya, Jumat, 5 Juli lalu.
Dari sisi biaya, menurut Felix, sebenarnya tarifnya relatif sama dengan di Indonesia. “Mereka menang di pelayanan,” ia menambahkan. Salah satunya manajemen rumah sakit memberinya kode khusus sebagai pasien internasional. Dengan begitu, ia tak perlu antre di kasir. “Ada loket khusus.” Tapi Felix tak pernah berpikir membawa anaknya ke rumah sakit di Taiwan karena tak punya cukup informasi tentang itu.
Digitalisasi informasi alat medis di pameran industri medis dan kesehatan di Taipei, Taiwan./Tempo/Retno Sulistyowati
TELEPON pintar Amy Shu Chuan Lin tiba-tiba menyala, Jumat, 28 Juni lalu. Perangkat digital itu memberikan peringatan kepada Deputy Superintendent Nurse Director Show Chwan Memorial Hospital tersebut bahwa ranjang pasien di salah satu kamar rawat inap digunakan oleh seseorang. Padahal kamar tersebut kosong alias tak ada pasien. Suster Amy pun bergegas mengecek.
Itulah contoh simulasi digitalisasi manajemen sistem di ruang rawat inap salah satu rumah sakit terbesar di Taiwan tersebut. Dokter Hon Phin Wong menjadi “tersangka” karena duduk di ranjang pasien yang semestinya kosong. Ia menjelaskan, jumlah perawat di rumah sakit itu sangat minim. Pada siang hari, misalnya, seorang suster harus mengurus hingga delapan pasien. Dan, malamnya, suster harus menangani sampai 12 pasien. Karena itu, digitalisasi manajemen sistem sangat diperlukan.
Penerapan industri 4.0 di sektor medis dan kesehatan juga digunakan untuk memantau pergerakan cairan infus pasien. Suster cukup mengecek melalui layar monitor untuk mengetahui cairan infus pasien mana yang hampir habis dan perlu segera diganti dengan botol baru. Teknologi serupa telah digunakan di beberapa rumah sakit besar di Taiwan, seperti Mackay Memorial Hospital.
Perusahaan-perusahaan teknologi Taiwan terjun ke dunia medis dengan menciptakan perangkat lunak, lantas memanufakturnya menjadi perangkat keras. Produk baru hasil inovasi tersebut disuguhkan dalam Pameran Internasional Medis dan Kesehatan, Sabtu, 29 Juni lalu, di Kota Taipei.
Raksasa teknologi AdvanTech, misalnya, menawarkan solusi menciptakan sistem “rumah sakit pintar”. Di antaranya lewat tablet yang didesain khusus dengan aplikasi rumah sakit. Perangkat ini menghubungkan pasien, perawat, dan dokter sekaligus. Selain berisi riwayat medis, yang bisa diakses pasien melalui telepon seluler pintarnya, perangkat ini memuat gambar aktual diagnosis dan riwayat tersebut. Selain itu, keberadaan pasien yang mungkin sedang meninggalkan ranjangnya bisa diidentifikasi dan dilacak. Tablet medis ini juga dapat memastikan pasien mendapat perlakuan yang tepat.
Beberapa perusahaan teknologi lain, seperti Medimaging Integrated Solution Inc, menawarkan teknologi telediagnosis. Pasien yang datang ke klinik, dengan didampingi perawat, bisa berkonsultasi secara jarak jauh dengan dokter. Ada pula Hiwin Technologies Corp, yang menciptakan alat bantu berjalan robotis, serta AmCad Biomed Corp, yang membangun perangkat lunak untuk mendeteksi penyakit tiroid.
Taiwan juga menyasar sejumlah rumah sakit di Asia sebagai pasar baru. Beberapa rumah sakit di Tanah Air memang menggunakan teknologi asal negeri ini. Salah satunya Rumah Sakit Mayapada. CEO Mayapada Healthcare Group Jonathan Tahir menjelaskan, perusahaannya berkolaborasi dengan CHC Healthcare Group Taiwan dalam menyediakan teknologi radioterapi. “Mereka mendukung dengan menyediakan perangkat kerasnya, sedangkan kami dari sisi tenaga ahli.” Di rumah sakitnya di Taiwan, CHC Healthcare menggunakan teknologi AdvanTech.
Menurut Jonathan, Rumah Sakit Mayapada berencana meluncurkan program radioterapi baru satu-dua bulan mendatang. “Kami membawa teknologi terbaru dengan menyajikan treatment paling tepat untuk menyasar sel-sel kanker,” ujarnya, Selasa, 2 Juli lalu. Ia menuturkan, kelebihan produk anyar ini adalah lebih ramah lingkungan. Sebab, teknologi yang digunakan tidak memproduksi limbah nuklir seperti dalam program radioterapi kanker sebelumnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Sugihadi Hadiwinoto mengatakan Indonesia baru mulai menuju generasi 4.0 di sektor medis dan kesehatan. Ia berharap Taiwan bisa meyakinkan bahwa teknologinya benar-benar bermutu, aman, dan bisa dipakai. Tapi, menurut Wakil Ketua Umum Gakeslab Indonesia -Erlyn Rommel, Kementerian Kesehatan ingin Indonesia tak cuma mengimpor perangkat dan teknologi canggih tersebut. Pemerintah meminta industri berinvestasi dengan membangun pabriknya di Indonesia.
RETNO SULISTYOWATI (TAIPEI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo