Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita sukses para pengusaha kerap diawali dengan kejadian tak terduga. Salah satunya Erla Tiara, pengusaha tempe di Negara Bagian Australia Barat yang berasal dari Jakarta.
Erla datang ke Australia pada usia 28 tahun, setelah menikah pada 2004, mengikuti suaminya yang menetap di Australia sejak 1994. Perempuan 43 tahun ini sempat menempuh kursus singkat di Perth. Namun kehamilan pada 2009 dan 2012, juga kesibukan membuat tempe, menggagalkan pendidikannya. “Studi akhirnya saya lupakan karena susah membagi waktu,” kata Erla lewat percakapan telepon, Selasa, 18 Juni lalu.
Tak disangka, keputusan itu malah membuatnya menjadi salah satu produsen tempe terbesar di Perth. “Saya sebenarnya tidak pernah berniat jualan tempe,” tutur Erla di ujung telepon, terkekeh.
Cerita Erla dimulai saat ia mulai kangen berat pada makanan Indonesia. Salah satunya tempe. Lima tahun menetap di Balga, pinggiran Kota Perth, ia menemukan tempe yang beredar di sana adalah tempe beku. “Saya kangen tempe yang fresh,” ujar Erla, yang mengaku baru menyentuh perkakas dapur setelah tinggal di Australia.
Erla nekat membuat tempe sendiri. Tentu saja percobaan awalnya gagal. Setelah berhasil, ia memamerkan tempenya saat kumpul-kumpul dengan sesama perantau Indonesia. “Ibu-ibu pas mengasuh anak membawa makanan,” ucapnya.
Masa-masa itu, Erla ke mana-mana membawa tempe, dari pengajian ibu-ibu hingga pembelajaran Al-Quran anak-anak. “Saya juga menaruhnya di gereja komunitas Indonesia,” katanya. Lama-lama mereka memesan tempe kepada Erla.
Baru pada 2016 ia mulai serius menekuni- bisnis di bawah bendera Juragan Tempe, ketika sejumlah toko dan restoran khas Indonesia meminta pasokan tempe segar. Untuk bisa masuk ke pasar komersial Australia, Erla harus punya izin. Ia pun tidak boleh menggunakan dapur rumahan.
Erla Tiara, pengusaha tempe di Negara Bagian Australia Barat yang berasal dari Jakarta./facebook.com/Juragan Tempe
Selama dua tahun Erla berbagi dapur komersial dengan pengusaha jus di Perth untuk menekan biaya. “Daripada kena denda,” dia menjelaskan. Denda bagi produsen makanan tak berizin di Australia, menurut dia, bisa sampai Aus$ 20 ribu atau setara dengan Rp 196 juta dengan kurs Rp 9.800.
Baru pada tahun lalu Erla mendirikan rumah produksi sendiri di East Victoria, 25 menit dari Balga dengan mobil bila lalu lintas tidak sedang macet. Di bangunan seluas 110 meter persegi itu Erla membangun dapur berbahan baja tahan karat, mesin pengupas kedelai, dan inkubator serta fermentor. Dengan fermentor, peragian tempe bisa lebih cepat di negeri empat musim tersebut. “Lumayan, habis Aus$ 50 ribu (Rp 490 juta),” ujarnya.
Kini, setiap pagi, setelah mengantar dua anaknya sekolah di East Victoria, Erla seharian berada di rumah produksi bersama empat pekerjanya sesama perantau Indonesia.
Setiap bulan Erla mengupas 1 ton kedelai asli Queensland yang ia jamin organik, bukan hasil rekayasa genetika. Satu ton kedelai itu menjadi 8.000 potong tempe dengan ukuran masing-masing 250 gram seharga Aus$ 3,5 atau Rp 34 ribu. Sampai di pasar atau toko, harganya bisa mencapai Aus$ 5 atau Rp 49 ribu. “Jadi per bulan omzet kami bisa Aus$ 24 ribu (Rp 235 juta),” kata Erla.
Erla menyuplai tempe ke 16 toko di sekitar Perth. Di antaranya NP Oriental Supermarket, Kai Supermarket, dan Fremantle- Mini Mart. Dia juga memasok langsung restoran-restoran Indonesia dan mengirim buat para pemesan di seantero Australia.
Salah satu pelanggan Erla adalah -Franklin Tirta, pemilik restoran Selera Nusantara di Kenwick, sebelah tenggara Perth. Franklin menyajikan aneka masakan seperti nasi pecel, nasi uduk dengan tempe orek, dan nasi penyet tempe. Franklin bersaksi, di antara para produsen tempe di Perth, Erla membuat tempe terenak. “Raginya tak berasa pahit,” tutur abang tertua selebritas Nicky Tirta itu, Rabu, 19 Juni lalu.
Setelah berhasil menembus pasar Australia Barat dengan tempe original, Erla ingin merambah pasar yang lebih besar. Di antaranya lewat tempe rasa rendang atau tempe bacem siap saji, disesuaikan dengan selera lidah Australia.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo