Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nilai tukar rupiah makin lemah setelah The Fed menaikkan bunga.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat menjadi sentimen negatif untuk rupiah.
Bank Indonesia merilis instrumen baru untuk memperkuat rupiah.
NILAI rupiah makin melorot. Dalam satu bulan terakhir, nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah terdepresiasi hingga 3,1 persen dan bisa berlanjut. Kamis, 26 Oktober lalu, terbit data terbaru tentang ekonomi Amerika yang berpotensi membuat nilai rupiah turun lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data itu adalah angka pertumbuhan ekonomi Amerika yang amat pesat, yaitu 4,9 persen selama kuartal III 2023. Ekonomi Amerika ternyata kebal terhadap bunga tinggi, tetap tumbuh pesat meskipun The Federal Reserve sudah menaikkan bunga hingga 11 kali dalam 18 bulan terakhir. Hasilnya, bunga rujukan The Fed yang mulanya berkisar 0-0,25 persen pada Maret 2020 melonjak berkali-kali lipat dan kini besarnya 5,25-5,5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah tingkat bunga The Fed tertinggi dalam 22 tahun terakhir. Kenaikan bunga, apalagi seagresif itu, semestinya membuat ekonomi melambat dan angka inflasi turun. Namun teori itu tak terwujud. Kebalnya ekonomi Amerika Serikat terhadap bunga tinggi bisa memaksa The Fed meneruskan kenaikan Fed Fund Rate hingga inflasi jinak. Jika tidak menaikkan bunga, setidaknya The Fed bakal menahan bunganya yang sudah amat tinggi dalam waktu lebih lama.
Pemahaman bahwa bunga The Fed akan bertahan lebih tinggi dan lebih lama menjadi sentimen yang mengharubirukan pasar global sebulan terakhir. Terjadi pelarian modal besar-besaran dari banyak negara, termasuk dari Indonesia. Dolar Amerika menguat tajam terhadap mata uang utama dunia ataupun negara berkembang.
Di Indonesia, kurs rupiah bisa makin tertekan karena pengaruh negatif data ekonomi Amerika itu. Nilai rupiah yang sudah merosot makin dekat ke batas psikologis 16 ribu per dolar Amerika pada akhir pekan lalu bisa makin kehilangan tenaga untuk pulih. Walhasil, investor harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa nilai tukar rupiah bakal sulit kembali ke level 15 ribu per dolar Amerika, yang menjadi kurs patokan pemerintah dalam anggaran 2024.
Persoalannya, faktor bunga The Fed bukanlah satu-satunya sentimen negatif yang menekan rupiah. Banyak faktor lain. Misalnya angka penerimaan ekspor Indonesia yang sedang dalam tren menurun karena harga komoditas ekspor merosot. Surplus perdagangan menurun tajam dan dolar yang masuk ke Indonesia menyurut.
Konflik di Timur Tengah yang tak kunjung reda juga terus menjadi ancaman. Jika harga minyak sampai melambung hingga di atas US$ 100 per barel karena meluasnya perang, ekonomi Indonesia bisa terkena imbas negatif, dari ancaman inflasi hingga beban ekstra dalam anggaran pemerintah karena naiknya subsidi energi. Semua ini bisa membuat rupiah makin merana, kehilangan kedigdayaannya di pasar.
Kekuatan pasar yang sedang menekan rupiah sejauh ini boleh dibilang terlalu kuat untuk ditahan. Kenaikan bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) pada 19 Oktober lalu seolah-olah tak berdampak apa-apa terhadap rupiah yang tetap menurun nilainya. Meskipun demikian, untuk mencegah nilai rupiah merosot lebih dalam, besar kemungkinan pada November BI menaikkan BI7DRRR lagi.
BI juga sudah menyiapkan instrumen baru, yaitu Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI). SVBI adalah sertifikat utang dalam valuta asing yang dijual langsung ke pasar untuk menggaet dolar dari investor global. Namun penerbitan sertifikat utang model baru oleh bank sentral bukannya tanpa risiko. Investor global selalu menaruh perhatian setiap kali suatu negara menambah utang dalam valuta asing dengan signifikan.
Pertanyaan kuncinya: bagaimana utang baru BI akan mempengaruhi kemampuan Indonesia membayar utang dalam valuta asing? Terlebih saat ini BI yang berutang langsung ke pasar. Walhasil, aset BI akan menggelembung dengan tambahan surat-surat utang itu. Ini juga bisa memicu sentimen negatif karena keyakinan pasar terhadap rupiah makin turun.
BI pun harus membayar beban bunga yang cukup besar untuk utang valas itu. Agar sertifikat itu menarik minat investor, imbal hasilnya tentu harus jauh lebih menarik ketimbang berbagai instrumen yang ada di pasar global. Pada akhirnya, ini adalah ongkos tambahan yang sangat mahal untuk menjaga stabilitas rupiah. Celakanya, jika kekuatan pasar yang sedemikian besar tetap menekan rupiah, biaya mahal itu bisa jadi sia-sia belaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ongkos Mahal Menjaga Rupiah"