Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saatnya Membayar Lebih Cepat

Usul pelunasan utang lebih cepat ke IMF mulai bulat. Tak akan ada penalti.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Kebon Sirih, usul itu meng-alir deras. Sejak awal bulan ini, para petinggi di kantor Bank Indonesia itu makin sering melontarkan gagasan pentingnya membayar sisa utang kepada Dana Mo-neter Internasional (IMF) lebih cepat dari -jadwal.

Dari paket pertama pinjaman US$ 23 miliar, yang diserahkan untuk menanggulangi krisis moneter pada 31 Oktober 1997, saat ini utang ke lembaga itu masih tersisa US$ 7,8 miliar. Normalnya, jadwal pelunasan itu masih hingga 2010. Artinya, bisa dicicil US$ 2 miliar per tahun.

Meski bukan wacana baru, usul percepatan itu saat ini dianggap paling matang direalisasikan. Ada beberapa alasan. Pertama, meningkatnya suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ketiga tahun lalu, dari 4,3 persen menjadi 4,58 persen. Peningkatan itu terjadi karena IMF harus mencari peng-ganti pendapatan mereka yang hilang dari Brasil dan Argentina.

Pada Desember lalu, kedua negara di Amerika Latin itu melunasi sisa utang lebih cepat dari jadwal. Brasil US$ 15,46 miliar dan Argentina US$ 9,81 miliar. Dengan begitu, IMF tak lagi bisa ”memetik” bunga dari mereka.

Seperti halnya bank atau penyalur kredit pada umumnya, ”IMF juga mencari makan dari uang yang mereka pinjamkan,” kata ekonom kepala Bank Mandiri, Martin Panggabean. Saat ini praktis tinggal Indonesia dan Turki di urutan teratas yang menyetor pemasuk-an buat IMF.

Dalam hitungan Bank Indonesia, de-ngan bunga yang dipatok itu, dana IMF yang kini ditempatkan di brankas me-reka menjadi tak efisien lagi dikelola. Ini menjadi alasan kedua perlunya pembayaran itu dimajukan, karena fakta-nya BI harus menanggung tekor dari pengelolaan uang itu.

Penjelasannya begini. Tak semua dana yang dipinjam berbentuk dolar Amerika. Ada juga yen dan euro—lazim- di-sebut special drawing right (SDR). Seluruh utang tetap dikenai bunga, walaupun kenyataannya tak pernah digunakan oleh pemerintah, dan hanya digunakan bila cadangan devisa kita minus.

Penempatan di Bank Indonesia itu dimaksudkan agar beban pembayaran pokok dan bunga pinjaman itu nantinya tidak memberatkan anggaran pemerin-tah. Karena itu, Bank Indonesia harus memutar uang itu di berbagai sarana investasi yang aman di luar negeri, misalnya surat utang pemerintah Amerika, deposito, dan pasar uang lainnya.

Nah, di sinilah soalnya. Dengan ting-kat bunga nol persen untuk yen dan 2 persen untuk euro, serta 5 persen untuk- US treasury, hampir bisa dipastikan Bank Indonesia akan kesulitan memeroleh pendapatan bunga rata-rata dari investasi mereka di atas 4,58 persen.

Apalagi, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, selain oleh bunga itu, Indonesia masih dibebani oleh biaya lainnya, yang besarnya 1,08 persen. ”Yang kami dapat justru negative spread,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aslim Tadjuddin, kepada Tempo, Jumat siang pekan lalu. Tekor itu mencapai 50-75 -basis poin.

Alasan ketiga ialah menggelembungnya cadangan devisa kita. Dari posisi- US$ 34,72 miliar pada akhir 2005, cadangan itu sudah mencapai US$ 42,81 miliar pada akhir April silam. Ini pencapaian tertinggi selama sejarah Republik-. Sampai Kamis pekan lalu, angka itu terus melejit hingga mencapai US$ 43,7 miliar.

Kalaupun seluruh utang ke IMF dibayar kontan, ”Sisa cadangan US$ 35 miliar masih cukup aman bagi perekonomian,” kata Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Cadangan bisa dikatakan aman bila masih mampu menutup pembiayaan impor selama empat bulan dan pembayaran utang jangka pendek.

Sebagai pembanding, Burhanuddin- menjelaskan, ketika cadangan baru mencapai US$ 38 miliar saja, kita sudah mulai berani membicarakan opsi pelunasan lebih cepat itu. Dibandingkan dengan pengalaman Argentina atau Brasil saat membayar utang pun, kondisi cadangan kita masih lebih aman.

Namun, jika masih dirasa kurang aman untuk membayar sekaligus, Bank Indonesia pun menyiapkan dua skenario- lain, yakni dengan dua atau tiga kali pembayaran. Tapi, menurut Aslim, tak ada perlunya berkhawatir. ”Dengan keadaan sebaik ini, kita benar-benar tak perlu lagi pinjaman IMF itu,” ujarnya.

Lagi pula, Aslim menambahkan, saat ini kita sudah memiliki perjanjian kerja sama bilateral yang lebih baik dengan- Jepang dan Cina, apabila sewaktu-waktu- memerlukan pinjaman sebagai cadangan. ”Dengan Jepang ada US$ 6 miliar, dan Cina baru saja naik hingga US$ 4 miliar.”

Dari IMF sendiri tak ada syarat apa pun yang memberatkan jika pelunasan itu dilakukan lebih cepat. ”Kami menyerahkan sepenuhnya keputusan ini kepada pemerintah Indonesia,” kata Kepala Perwakilan IMF di Indonesia, Stephen Schwartz. Tak akan ada pe-nalti atau biaya tambahan lain yang akan mereka kenakan.

Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus