Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mudah-mudahan Bukan Mimpi Kosong

Bank Indonesia menurunkan suku bunga. Jangan dulu berbunga hati.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANJI itu akhirnya ditepati. Awal pekan lalu, Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga BI rate menjadi 12,50 persen—turun seper-empat persen dari angka sebelum-nya. Inilah kali pertama bank sentral melonggarkan likuiditas moneter, setelah sejak Desember lalu suku bunga- patokan bank sentral terus dipantek pada posisi 12,75 persen.

Keputusan itu diambil dalam rapat Dewan Gubernur BI, Selasa pekan lalu. Rapat memutuskan suku bunga diturunkan setelah melihat kondisi perekonomian makro domestik relatif stabil. Indikatornya: laju inflasi rendah dan kurs rupiah kian berotot.

Hingga akhir tahun nanti, inflasi yang menjadi indikator laju kenaikan harga barang-barang dan jasa diperkirakan akan lebih rendah dari yang diperkira-kan. Sementara semula inflasi ditaksir- sekitar 8 persen, kini diperkirakan ba-kal sedikit lebih rendah menjadi 7-7,5 per-sen. Kurs rupiah pun sudah berada di bawah Rp 9.000 per dolar AS.

Jika kondisi ini terus bertahan, me-nurut- Gubernur BI, Burhanuddin Abdul-lah, berlanjutnya penurunan suku bunga- sangat dimungkinkan. Sinyal se-rupa di-sampaikan Menteri Keuangan Sri Mul-yani Indrawati. Penurunan suku bu-nga, kata mantan Direktur Dana Moneter- In-ter-nasional (IMF) ini, tidak akan meng-goyahkan stabilitas makro-ekonomi. ”Jadi, itu bukan yang terakhir, tapi baru awal penurunan,” katanya.

Penurunan suku bunga sebetulnya- sudah diperkirakan sebelumnya oleh pe-laku pasar. Peluit isyarat ditiup Burha-nuddin bulan lalu ketika kabar baik berembus dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS). Saat itu diumumkan inflasi yang selama beberapa bulan terakhir melesat bak rem blong, mulai melambat. Menurut BPS, tingkat inflasi Maret ha-nya 0,03 persen.

Dengan kenaikan tipis- itu, tingkat inflasi tahun-an (year on year) Maret 2006—terhadap Maret tahun sebelumnya—hanya 15,74 persen. Angka ini lebih rendah ketimbang inflasi tahunan untuk Januari (17,03 persen) dan Februari (17,92 persen).

Angka ini pun masih di bawah inflasi sepanjang tahun lalu sebesar 17,11 persen. Apalagi jika dibandingkan de-ngan inflasi pada November silam yang mencapai 18,83 persen—rekor tertinggi- selama enam tahun terakhir. Sekadar mengingatkan, lonjakan inflasi itu terjadi setelah pemerintah menaikkan harga- bahan bakar minyak pada Oktober sebesar 126 persen.

Hanya selang sehari setelah BPS me-ngeluarkan pengumuman, mata uang ru-piah langsung diborong investor. Akibat-nya, kurs rupiah terdongkrak: ditutup pada angka Rp 9.000 per dolar AS—level tertinggi 17 bulan terakhir.

Melihat angin segar ini, para peng-usaha langsung berteriak meminta BI menurunkan suku bunga. Namun, Burhanuddin tak mau terpancing. Ia ber-sikukuh tetap mempertahankan BI rate pada level 12,75 persen. ”Kami lihat sebulan lagi. Jika perkembangannya positif, penurunan suku bunga dipercepat,” katanya.

Ternyata angan-angan itu bukan mim-pi kosong. BPS mengumumkan inflasi- sepanjang bulan lalu kembali hanya- naik tipis 0,05 persen. Akibatnya, laju inflasi tahunan (April 2006 terhadap April 2005) pun cuma 15,40 persen. Nah, karena kondisi ekonomi mulai stabil, Burhanuddin tampaknya tak punya cukup alasan untuk tak memenuhi janji. Likuiditas dilonggarkan, suku bunga diturunkan.

Keputusan itu tentu saja memberi -angin segar buat dunia usaha. Suku bu-nga kredit yang selama beberapa bulan terakhir terus merangkak naik, sekitar 16-18 persen per tahun, diharapkan mulai kembali diturunkan.

Meski begitu, penurunan sebesar 25 basis poin itu dinilai sejumlah kalangan tak signifikan untuk menurunkan bu-nga kredit. Akibatnya, sektor riil belum akan bisa bernapas lega menikmati pinjaman murah.

Direktur Bank Central Asia, Jahja Setiaatmadja, menyatakan dengan penurunan BI rate sebesar itu, bank swasta terbesar ini belum akan menurunkan suku bunga pinjaman dan simpanan. ”Kalau BI rate turunnya 100 basis poin, baru ada pengaruhnya,” katanya.

Suara senada dilontarkan Agus Marto-wardojo. Direktur Utama Bank Mandiri ini menyatakan penurunan BI rate masih terlalu kecil. Karena itu, bank BUMN terbesar yang dipimpinnya ini belum berniat menurunkan suku bu-nga- pinjam-an. Direktur Korporasi Bank Man-diri, Abdulrahman, menambahkan sektor riil baru bisa bergerak bila BI rate turun ke tingkat 10 persen.

Jika benar apa yang dinyatakan Abdul-rahman, kebijakan penurunan bunga oleh bank sentral masih jauh dari ideal-. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, bahkan mensinyalir, dengan penurunan bunga yang hanya 25 basis poin, orang akan tetap memi-lih berinvestasi di pasar uang ketimbang di sektor riil. Karena itu, Sofjan tetap tak puas dengan kebijakan BI. ”Itu tidak membantu dunia usaha,” ujarnya.

Padahal, kata Sofjan, akibat suku bunga tinggi sejak April lalu, bisnis dan tingkat penjualan di sektor riil melorot hingga 50 persen. Itu sebabnya, menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, M.S. Hidayat, penurunan suku bunga BI rate sebaiknya hingga 200 basis poin atau 2 persen. ”Itu baru pro terhadap pertumbuhan sektor riil.”

Suara berbeda datang dari ekonom Citigroup, Anton H. Gunawan. Ia berpendapat kebijakan BI menurunkan suku bunga merupakan langkah positif. Bagaimanapun, kata Anton dalam lapor-an analisis mingguan yang dibuatnya 5 Mei, ”Sinyal kuat untuk terus memangkas suku bunga secara gradual merupakan hal penting.”

Soal kesulitan yang dihadapi sektor riil, bank sentral tampaknya tak tutup mata. Rizal B. Prasetijo, analis regional JP Morgan dalam laporan risetnya yang dilansir 5 Mei lalu, menyatakan penurunan suku bunga yang akan dilakukan BI justru didorong oleh kenyataan bahwa aktivitas ekonomi mengalami perlambatan dramatis pada kuartal pertama lalu.

Lesunya aktivitas ekonomi tergambar- dari tren penurunan laju penjualan mobil-, motor, semen, dan barang-barang retail. Kenyataan lain yang juga mendorong bank sentral mempercepat penurunan bunga dari jadwal semula—semester kedua 2006—adalah kegagalan pemerintah menciptakan stimulus fiskal sepanjang kuartal pertama tahun ini. Karena itu, kata Rizal, ketika laju inflasi mulai stabil, ”Sudah saatnya bank sentral menurunkan suku bunga.”

Meski begitu, tak berarti bank sentral bisa menekan suku bunga secara dramatis. Sejumlah faktor masih perlu diwaspadai. Salah satunya, Rizal menyebut soal kemungkinan terus melonjaknya harga minyak dunia yang kini di atas US$ 70 per barel.

Faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah kenaikan suku bunga di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat. Bank sentral Amerika- Serikat, The Federal Reserve, 10 Mei lalu kembali- menaikkan suku bunganya dari 4,75 persen menjadi 5 persen.

Kenyataan ini membuat suku bunga riil rupiah—setelah dikurangi tingkat inflasi—yang dinikmati investor lebih rendah ketimbang suku bunga riil dolar. Padahal secara nominal suku bunga di Indonesia lebih tinggi dibanding AS. Karena itu, jika BI menurunkan suku bunga secara drastis, otomatis para investor bakal langsung kabur ke luar negeri.

Apalagi, dana yang masuk ke Indonesia sejauh ini kebanyakan masih ”uang panas” yang beredar di pasar uang dan saham, bukan penanaman modal langsung untuk investasi. Pengusaha tampaknya memang masih perlu bersabar.

Metta Dharmasaputra, Suryani Ekasari, Reza Maulana, Maruli Ferdinan, R.R. Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus