PRIA setengah tua dengan pakaian sederhana dan bersepatu
sandal itu mengacungkan tangan tatkala kesempatan bertanya
dibuka. Di mimbar, pertanyaan yang diajukannya ialah "Bagaimana
status saya sekarang dan ke mana saham itu bisa dijual?"
Diajukan di tengah rapat umum tahunan pemegang saham PT sAT
(British American Tobacco) Indonesia yang berlangsung pekan lalu
di Golden Room, Hotel Hilton Jakarta, pertanyaan itu mungkin
terasa aneh.
Tapi itu bisa dimengerti. Beberapa di antara 500 orang yang
hadir di rapat itu datang dengan naik bis atau sepeda motor.
Mereka adalah orang-orang yang buat pertama kalinya memiliki
saham hingga masih asing terhadap seluk beluk dunia persahaman
di pasar modal. Sekalipun pihak BAT mencoba meyakinkan
orang-orang tadi bahwa uang yang ditanamnya itu "aman".
"Dalam 4 bulan terakhir ini produksi dan pemasaran BAT cukup
memuaskan," kata R.G.I. Leonard, Direktur Utama PT BAT Indonesia
yang hari itu memimpin rapat. Dilaporkannya keuntungan perseroan
selama 1979 mencapai Rp 8.359 juta. Setelah dikurangi dana untuk
cadangan dan dividen sementara yang telah dibayar tahun lalu, ia
mengusulkan untuk membagikan dividen sebesar Rp 4.290 juta.
Hingga tiap saham akan mendapat dividen Rp 195. Usul ini
diterima dengan aklamasi.
Saham BAT yang dijual pada umum (go public) sejak 6 November
1979 termasuk laris. Dari 30% jumlah saham yang dijual, 15%
dibeli oleh PT Danareksa yang kemudian memecah dan menjualnya
dalam bentuk sertifikat. Harga nominal saham yang Rp 1.000, di
hari penjualan perdana ditawarkan Rp. 2.500 per saham. Sebulan
kemudian naik menjadi Rp 2.750, namun kemudian menurun karena
banyaknya orang yang menjual sahamnya kembali. Awal pekan ini
harganya Kp. 2.675 per saham.
Puaskah para pemegang saham dengan dividen 19,5% itu? "Lumayan,
dalam 6 bulan dapat keuntungan 19,5%. lni kan lebih besar dari
bunga deposito yang antara 12-15% setahun," komentar seorang
pemegang saham. Toh tampaknya lebih banyak pemegang saham baru
yang kurang puas. "Sebetulnya saya n1engharapkan dividen paling
tidak 30%. Soalnya inflasi tahun lalu saja lebih dari 20%, ujar
seorang wartawan yang memiliki 100 saham.
Dibanding saham perusahaan lain, dividen yang diberikan PT BAT
sebetulnya tak banyak berbeda. Misalnya pada 1978, untuk 5 bulan
pertama PT Semen Cibinong membayar dividen 15%. Namun bila
kenaikan harga saham PT Semen Cibinong yang dalam 2 tahun naik
dari Rp. 10.000 menjadi Rp. 14.850 ikut dihitung, maka laba
modal (capital gain) yang diperoleh pemegang sahamnya mencapai
35% setahun.
Yang tampaknya mencemaskan banyak pemegang saham BAT adalah
kampanye anti-rokok yang belakangan ramai digalakkan. Dir-Ut
R.G.I. Leonard cepat meyakinkan mereka, bahwa prospek
produk-produk BAT untuk tahun-tahun mendatang masih tetap cerah.
Dijelaskannya kelompok perusahaan BAT yang berpusat di London
juga memroduksi kertas dan kosmetik. "Jangan lupa, merokok juga
ada segi positifnya menghilangkan ketegangan, membantu
konsentrasi dan merupakan kenikmatan," katanya. Mendengar ini
semua yang hadir tertawa.
Memenuhi Janji
Minat masyarakat untuk membeli saham perusahaan bermodal asing
rupanya cukup besar. Waktu BAT mulai menjual sahamnya pada
November 1979, terjadi kelebihan permintaan sebesar 15%. Hal ini
terulang lagi pekan lalu, tatkala PT Richardson-Merell Indonesia
(RMI) produsen obat gosok Vicks -- mulai menjual sahamnya.
"Permintaan mencapai 77% di atas jumlah saham yang ditawarkan,"
ujar J.A. Turangan, Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam).
Berdasar keputusan Bapepam, PT RMI diizinkan menjual sahamnya
sebanyak 280.000 lembar atau 28% dari besar modalnya. Harga
penawaran pertama dl pasar perdana Rp 3.000 per saham, dengan
harga nominal Rp. 2.000 per saham Waktu dijual di Pasar Modal
Senin pekan lalu, kursnya naik menjadi Rp. 3 112,50 per saham
dengan peredaran 4.050 lembar.
"PT RMI go public bukan untuk ekspansi perusahaan, tapi guna
memenuhi janji pada pemerintah," kata Willy Siwu, Wakil Dir-Ut
PT RMI. Memulai usahanya di Indonesia sejak Desember 1948 PT RMI
mula-mula bergerak di bidang pemasaran obat gosok Vicks.
Pabriknya di Indonesia yang terletak di Jalan Raya Bekasi,
Jakarta Timur, beroperasi pada 1970.
Menurut Siwu, obat balsem pelega pernapasan Vicks Vaporub yang
dihasilkan pabriknya menguasai 94% pasaran Indonesia. Namun
sirup obat batuk Vicks Formula 44 hanya memperoleh 16,5% dari
pasaran obat batuk karena banyaknya saingan. Selain Vicks,
perusahaan ini juga menghasilkan oil of ulan -- suatu ramuan
minyak untuk melembutkan kulit -- dan juga Clearosil Cream
Medication, semacam obat penyembuh jerawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini