Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merayap Bersama BBM

Kenaikan harga bbm mempengaruhi harga-harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan. para bankir khawatir inflasi semakin tinggi.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUMUMAN kenaikan harga BBM sekali ini memang lain dari yang lain. Kalau biasanya baru di pagi hari masyarakat dikagetkan dengan tarif-tarif baru yang ditempelkan di pompa-pompa bensin, kali ini para pirsawan TVRI yang lagi asyik mengikuti acara tetap Dunia Dalam Berita kontan menuju garasi mengeluarkan mobil atau motornya. Malam itu, 30 April, 2 jam sebelum lonceng menunjuk pukul 24.00, Menko Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro belum selesai membacakan penjelasan pemerintah yang sampai 8 halaman itu. Tapi di berbagai kios bensin Jakarta dan di kota-kota lain, beragam kendaraan mulai dari sedan Mercy dan Toyota, sampai truk dan helicak berbaris bagaikan arak-arakan festival artis film. "Kok seperti mau perang saja besok," tukas seorang petugas keamanan yang mulanya tidak mengerti untuk apa dia diminta menjaga kios bensin Asia Makmur di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur. Sekalipun hampir setiap tahun terjadi penyesuaian harga, keputusan untuk menaikkan harga BBM itu selalu merupakan suatu tindakan yang seperti mengejutkan dan yang pasti tidak populer. Itu pula yang rupanya disadari oleh pemerintah, sehingga dalam pertemuan di Deppen, Jakarta yang dihadiri 6 menteri, didampingi Kepala Bakin Yoga Sugama dan Pangkopkamtib Sudomo, Menko Ekuin Widjojo merasa perlu untuk pidato berpanjang-panjang. Kenaikan yang rata-rata 50% untuk semua jenis bahan bakar itu memang tidak jauh dari perkiraan selama ini. Bank Dunia, dalam laporan terakhir yang ditujukan untuk sidang negara-negara donor IGGI di Amsterdam bulan Mei ini menganjurkan agar subsidi BBM jumlahnya dipertahankan pada tingkatnya yang sekarang Artinya, menurut Bank Dunia, harga BBM harus dinaikkan 40% per tahun dan 25% setiap tahun untuk dua tahun berikutnya. "Kenaikan sebesar ini pun," tulis Bank Dunia dalam laporannya tentang ekonomi Indonesia sekarang, "belum lagi mencapai separuh dari harga riil minyak yang sebenarnya." Dalam Nota Keuangan RAPBN 1980/1981 disebutkan, apabila harga BBM tidak dinaikkan, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi sebesar Rp 1,3 trilyun. Jumlah segede itu adalah untuk menutupi lubang defisit yang dialami Pertamina sebagai kerugian karena menjual harga BBM di bawah harga pokok. Tapi dalam RAPBN itu juga disebutkan pemerintah hanya bersedia menanggung Rp 828 milyar. Jadi kekurangan yang Rp 472 milyar itu harus dibebankan kepada para konsumen BBM, yang persisuaik 50% seperti ditetapkan pemerintah sekarang. Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap indeks harga rupanya tak perlu menunggu sampai Mei. Sebab inflasi di bulan April sendiri ternyata sudah mencapai 1,03%, dibanding dengan bulan sebelumnya yang hanya 0,2%. Meningkatnya harga-harga itu terutama disebabkan karena para pengusaha pada umumnya sudah lebih dulu saling "menyesuaikan" harga dagangannya. Harga gula pasir dan tepung terigu sekarang sudah naik sekitar 15%, dan harga semen yang sempat menghilang kini sudah melonjak 25-30%. Pemerintah sendiri, sehari sesudah pengumuman kenaikan i3sM itu, dengan resmi menaikkan harga eceran gula pasir dari Rp 280-Rp 285 per kg menjadi Rp 320 per kg. Dan harga eceran tepung terigu yang tadinya sekitar Rp 180 per kg kini sah pula bertengger pada harga Rp 210 per kg. Harga beras, menurut Bulog akan diusahakan untuk tidak naik. Bulog nampaknya berada dalam posisi yang cukup baik untuk mengendalikan harga beras. Di samping kini masih musim panen, stok berasnya masih sekitar 1,3 jura ton. Jumlah itu dianggap cukup untuk melakukan operasi pasar, suatu hal yang nampaknya diprioritaskan sekarang. Di sana-sini memang terjadi juga kenaikan harga beras, sekalipun terbatas pada beras impor. Di Surabaya beras impor '333' sudah merayap sampai Rp 310 per kg. Namun, kata Waka Dolog Ja-Tim A.A. Fauzi kepada TEMPO, "di pasaran beras Dolog masih tetap Rp 18 per kg." Tapi secara umum sampai minggu lah belum terdengar adanya kenaikan harga keburuhan pokok yang serius. Hanya sopir-sopir bemo dan kolt yang sudah menaikkan tarifnya persis sehari sesudah kenaikan harga BBM. Di Surabaya tarif bemo yang oleh Pemda ditentukan Rp 35, sejak Kenop dulu sudah melembaga menjadi Rp 50. Dan sebelum diresmikan lagi sehubungan dengan naiknya harga BBM, mereka sudah pasang harga baru Rp 75. Kolt rute Surabaya-Malang yang tadinya Rp 350, sudah mendahului naik menjadi Rp 500. Tak Memadai Di Yogyakarta para pegawai negeri penghuni Perumnas yang terpisah 8 km dari kota, banyak juga yang mulai mengayuh sepeda. Ongkos kolt Perumnas ke Kota Yogya, yang semula Rp 100 kini sudah Rp 200. "Keterlaluan sampai naik 100%," kata seorang penghuni di sana. Di Pakanbaru, mendahului pertimbangan yang sedang dipikirkan walikota, para sopir opl-t sudah menambah tarif lari Rp 35 sekali jalan menjadi Rp 50. "Kalau tak boleh naik kami mau mogok saja," kata seorang sopir oplet. Di Cirebon dan sekitarnya tarif angkutan kolt meningkat dengan 50%. Sekalipun tarif resmi bis dalam kota dibolehkan naik dari Rp 40 menjadi Rp 50. Dan ke luar kota naik sedikit dari Rp 75 menjadi Rp 85. Selain angkutan darat yang oleh pemerintah rata-rata dinaikkan 14%, dan tarif listrik yang pukul rata meningkat 38%, orang belum bisa meraba sejauh mana pengaruh kenaikan harga BBM terhadap inflasi tahun ini. Teoritis, naiknya harga barang-barang seharusnya tidak setinggi-tingkat kenaikan harga BBM -- kecuali untuk sektor angkutan. Sebab pada umumnya bahan bakar bukan merupakan komponen utama dalam struktur biaya suatu industri. Pengalaman pada tahun lalu menunjukkan bahwa penyesuaian harga akibat kenaikan harga BBM berakibat panjang. Bisa dibilang inflasi 19% yang terjadi antara April 1979 sampai akhir Maret lalu itu sebagian besar karena didorong kenaikan harga BBM yang berlaku sejak April tahun lalu itu," kata seorang bankir di Jakarta. Dan kalangan bankir di Kota, sekalipun memahami kenaikan harga BBM sekarang khawatir kalau-kalau kenaikan yang rata-rata 50% itu akan tambah menyulut sumbu inflasi. Tapi bagaimana jalan keluar, agar terhindar dari psikologi inflasi, yang juga masuk dari luar negeri itu? Ini memang tidak mudah. Dengan tingkat pertambahm konsumsi BBM 12% setahun, maka Indonesia merupakan salah satu negara yang paling lahap meneguk bahan bakar. sedihnya, sebagian besar dari BBM itu masih diimpor alias disuling di luar negeri. Maka sebagian dari hasil devisa ekspor minyak mentah digunakan untuk membiayai impor BBM ini. Kekhawatiran timbul karena pertambahan produksi minyak mentah kini praktis mandek. Kalau pun ada penemuan sumur-sumur baru, jumlahnya tak memadai dibandingkan jumlah yang harus dikonsumsikan setiap tahun. Pemerintah memang sedang giat merencanakan untuk menambah kapasiras pengilangan minyak di Cilacap dan Balikpapan masing-masing dengan 200.000 barrel sehari. Dan di Dumai proyek hydrocracker yang rencananya akan menyuling jenis minyak LSWR dari lapangan Minas yang sulit laku itu, sudah bagus, kalau bisa rampung pada tahun 1985. Pada tahun itu, kapasitas pengilangan di dalam negeri diharapkan akan dua kali lipat dari sekarang. Tapi menurut sebuah sumber di Pertamina, jumlah itu pun masih jauh di bawah jumlah konsumsi pada saat itu. Apakah sebagian besar kebutuhan BBM kita pada waktu itu masih akan harus diimpor? "Ya begitulah kira-kira," kata sumber tadi. Satu hal yang menarik ialah bahwa orang tak bicara lagi soal kampanye "hemat energi", yang rupanya tak terlalu giat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus