PENGUMUMAN kenaikan harga BBM sekali ini memang lain dari yang
lain. Kalau biasanya baru di pagi hari masyarakat dikagetkan
dengan tarif-tarif baru yang ditempelkan di pompa-pompa bensin,
kali ini para pirsawan TVRI yang lagi asyik mengikuti acara
tetap Dunia Dalam Berita kontan menuju garasi mengeluarkan mobil
atau motornya.
Malam itu, 30 April, 2 jam sebelum lonceng menunjuk pukul
24.00, Menko Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro belum selesai
membacakan penjelasan pemerintah yang sampai 8 halaman itu. Tapi
di berbagai kios bensin Jakarta dan di kota-kota lain, beragam
kendaraan mulai dari sedan Mercy dan Toyota, sampai truk dan
helicak berbaris bagaikan arak-arakan festival artis film. "Kok
seperti mau perang saja besok," tukas seorang petugas keamanan
yang mulanya tidak mengerti untuk apa dia diminta menjaga kios
bensin Asia Makmur di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur.
Sekalipun hampir setiap tahun terjadi penyesuaian harga,
keputusan untuk menaikkan harga BBM itu selalu merupakan suatu
tindakan yang seperti mengejutkan dan yang pasti tidak populer.
Itu pula yang rupanya disadari oleh pemerintah, sehingga dalam
pertemuan di Deppen, Jakarta yang dihadiri 6 menteri, didampingi
Kepala Bakin Yoga Sugama dan Pangkopkamtib Sudomo, Menko Ekuin
Widjojo merasa perlu untuk pidato berpanjang-panjang.
Kenaikan yang rata-rata 50% untuk semua jenis bahan bakar itu
memang tidak jauh dari perkiraan selama ini. Bank Dunia, dalam
laporan terakhir yang ditujukan untuk sidang negara-negara donor
IGGI di Amsterdam bulan Mei ini menganjurkan agar subsidi BBM
jumlahnya dipertahankan pada tingkatnya yang sekarang Artinya,
menurut Bank Dunia, harga BBM harus dinaikkan 40% per tahun dan
25% setiap tahun untuk dua tahun berikutnya. "Kenaikan sebesar
ini pun," tulis Bank Dunia dalam laporannya tentang ekonomi
Indonesia sekarang, "belum lagi mencapai separuh dari harga riil
minyak yang sebenarnya."
Dalam Nota Keuangan RAPBN 1980/1981 disebutkan, apabila harga
BBM tidak dinaikkan, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi
sebesar Rp 1,3 trilyun. Jumlah segede itu adalah untuk menutupi
lubang defisit yang dialami Pertamina sebagai kerugian karena
menjual harga BBM di bawah harga pokok. Tapi dalam RAPBN itu
juga disebutkan pemerintah hanya bersedia menanggung Rp 828
milyar. Jadi kekurangan yang Rp 472 milyar itu harus
dibebankan kepada para konsumen BBM, yang persisuaik 50% seperti
ditetapkan pemerintah sekarang.
Pengaruh kenaikan harga BBM terhadap indeks harga rupanya tak
perlu menunggu sampai Mei. Sebab inflasi di bulan April sendiri
ternyata sudah mencapai 1,03%, dibanding dengan bulan sebelumnya
yang hanya 0,2%. Meningkatnya harga-harga itu terutama
disebabkan karena para pengusaha pada umumnya sudah lebih dulu
saling "menyesuaikan" harga dagangannya.
Harga gula pasir dan tepung terigu sekarang sudah naik sekitar
15%, dan harga semen yang sempat menghilang kini sudah melonjak
25-30%. Pemerintah sendiri, sehari sesudah pengumuman kenaikan
i3sM itu, dengan resmi menaikkan harga eceran gula pasir dari Rp
280-Rp 285 per kg menjadi Rp 320 per kg. Dan harga eceran tepung
terigu yang tadinya sekitar Rp 180 per kg kini sah pula
bertengger pada harga Rp 210 per kg.
Harga beras, menurut Bulog akan diusahakan untuk tidak naik.
Bulog nampaknya berada dalam posisi yang cukup baik untuk
mengendalikan harga beras. Di samping kini masih musim panen,
stok berasnya masih sekitar 1,3 jura ton. Jumlah itu dianggap
cukup untuk melakukan operasi pasar, suatu hal yang nampaknya
diprioritaskan sekarang.
Di sana-sini memang terjadi juga kenaikan harga beras, sekalipun
terbatas pada beras impor. Di Surabaya beras impor '333' sudah
merayap sampai Rp 310 per kg. Namun, kata Waka Dolog Ja-Tim A.A.
Fauzi kepada TEMPO, "di pasaran beras Dolog masih tetap Rp 18
per kg."
Tapi secara umum sampai minggu lah belum terdengar adanya
kenaikan harga keburuhan pokok yang serius. Hanya sopir-sopir
bemo dan kolt yang sudah menaikkan tarifnya persis sehari
sesudah kenaikan harga BBM. Di Surabaya tarif bemo yang oleh
Pemda ditentukan Rp 35, sejak Kenop dulu sudah melembaga menjadi
Rp 50. Dan sebelum diresmikan lagi sehubungan dengan naiknya
harga BBM, mereka sudah pasang harga baru Rp 75. Kolt rute
Surabaya-Malang yang tadinya Rp 350, sudah mendahului naik
menjadi Rp 500.
Tak Memadai
Di Yogyakarta para pegawai negeri penghuni Perumnas yang
terpisah 8 km dari kota, banyak juga yang mulai mengayuh
sepeda. Ongkos kolt Perumnas ke Kota Yogya, yang semula Rp 100
kini sudah Rp 200. "Keterlaluan sampai naik 100%," kata seorang
penghuni di sana. Di Pakanbaru, mendahului pertimbangan yang
sedang dipikirkan walikota, para sopir opl-t sudah menambah
tarif lari Rp 35 sekali jalan menjadi Rp 50. "Kalau tak boleh
naik kami mau mogok saja," kata seorang sopir oplet. Di Cirebon
dan sekitarnya tarif angkutan kolt meningkat dengan 50%.
Sekalipun tarif resmi bis dalam kota dibolehkan naik dari Rp 40
menjadi Rp 50. Dan ke luar kota naik sedikit dari Rp 75 menjadi
Rp 85.
Selain angkutan darat yang oleh pemerintah rata-rata dinaikkan
14%, dan tarif listrik yang pukul rata meningkat 38%, orang
belum bisa meraba sejauh mana pengaruh kenaikan harga BBM
terhadap inflasi tahun ini. Teoritis, naiknya harga
barang-barang seharusnya tidak setinggi-tingkat kenaikan harga
BBM -- kecuali untuk sektor angkutan. Sebab pada umumnya bahan
bakar bukan merupakan komponen utama dalam struktur biaya suatu
industri.
Pengalaman pada tahun lalu menunjukkan bahwa penyesuaian harga
akibat kenaikan harga BBM berakibat panjang. Bisa dibilang
inflasi 19% yang terjadi antara April 1979 sampai akhir Maret
lalu itu sebagian besar karena didorong kenaikan harga BBM yang
berlaku sejak April tahun lalu itu," kata seorang bankir di
Jakarta. Dan kalangan bankir di Kota, sekalipun memahami
kenaikan harga BBM sekarang khawatir kalau-kalau kenaikan yang
rata-rata 50% itu akan tambah menyulut sumbu inflasi.
Tapi bagaimana jalan keluar, agar terhindar dari
psikologi inflasi, yang juga masuk dari luar negeri itu? Ini
memang tidak mudah. Dengan tingkat pertambahm konsumsi BBM 12%
setahun, maka Indonesia merupakan salah satu negara yang paling
lahap meneguk bahan bakar. sedihnya, sebagian besar dari BBM
itu masih diimpor alias disuling di luar negeri. Maka sebagian
dari hasil devisa ekspor minyak mentah digunakan untuk membiayai
impor BBM ini.
Kekhawatiran timbul karena pertambahan produksi minyak mentah
kini praktis mandek. Kalau pun ada penemuan sumur-sumur baru,
jumlahnya tak memadai dibandingkan jumlah yang harus
dikonsumsikan setiap tahun. Pemerintah memang sedang giat
merencanakan untuk menambah kapasiras pengilangan minyak di
Cilacap dan Balikpapan masing-masing dengan 200.000 barrel
sehari. Dan di Dumai proyek hydrocracker yang rencananya akan
menyuling jenis minyak LSWR dari lapangan Minas yang sulit laku
itu, sudah bagus, kalau bisa rampung pada tahun 1985.
Pada tahun itu, kapasitas pengilangan di dalam negeri
diharapkan akan dua kali lipat dari sekarang. Tapi menurut
sebuah sumber di Pertamina, jumlah itu pun masih jauh di bawah
jumlah konsumsi pada saat itu. Apakah sebagian besar kebutuhan
BBM kita pada waktu itu masih akan harus diimpor? "Ya begitulah
kira-kira," kata sumber tadi. Satu hal yang menarik ialah bahwa
orang tak bicara lagi soal kampanye "hemat energi", yang
rupanya tak terlalu giat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini