Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada lagi antrean panjang dan rombongan investor berdesak-desakan, namun demam saham Bank Rakyat Indonesia (BRI) masih tersisa di penghujung pekan silam. Saham bank pemerintah yang banyak dicari itu ditawarkan serentak di tiga kota besar: Jakarta, Surabaya, dan Medan. Memang, kegandrungan memborong saham tidak tampak di BRI Cabang Medan Putri Hijau. Di sini, tujuh kursi yang disediakan untuk calon pembeli tak pernah penuh. Di Surabaya dan Jakarta sama saja.
Penjualan boleh rada sepi, tapi bukan berarti saham BRI kurang pembeli. Kepala Penjualan Bahana Securities di Surabaya, Yohanes Handoko, kepada Adi Mawardi dari Tempo News Room mengklaim respons masyarakat lumayan bagus. Hingga hari terakhir, penawaran yang masuk mencapai Rp 30 miliar.
Seperti diketahui, pemerintah menjual 40,5 persen saham BRI, sebanyak 4,76 miliar lembar, yang akan menghasilkan Rp 4,17 triliun dengan harga per lembar Rp 875. Yang masuk ke kas pemerintah Rp 2,625 triliun. Sisanya, Rp 1,544 triliun, masuk ke kocek perusahaan, yang akan digunakan untuk memperkuat modal bank kesayangan pengusaha kecil-menengah ini.
Minat investor yang tinggi terhadap saham BRI berembus setelah penjajakan saham selesai. Saat itu diberitakan adanya kelebihan permintaan sebesar 13 kali. Tapi, mengapa oversubscribed ini tidak tecermin dalam penjualan selama tiga hari itu? Sebabnya tak lain adalah jatah penjualan retail memang kecil. Pemerintah hanya mengalokasikan 10 persen untuk pemodal kecil, dan ini dibagi dua lagi: 5 persen jatah nasabah BRI, 5 persen lagi dijual dengan sistem pooling, sebagian di antaranya diperuntukkan bagi karyawan. Sisanya dilempar ke investor besar dan lembaga pendanaan.
Mungkin terbius dengan kelebihan permintaan yang spektakuler itu, investor lokal bermodal pas-pasan —yang memelesetkan BRI menjadi "Bank Republik Indonesia"—tak mau ketinggalan. Bagi mereka, membeli beberapa lot saham BRI berarti membuka peluang untuk memperoleh gain dalam waktu singkat. Apalagi sempat beredar isu bahwa di pasar gelap harga saham BRI sudah di atas Rp 900 per lembar.
Meski tak terlihat ada antrean, Direktur Utama Bahana Securities, penjual utama saham BRI, Ito Warsito, memastikan adanya kelebihan permintaan melalui sistem pooling—penjualan dengan pembagian merata. Penawaran di beberapa tempat di Jakarta menunjukkan, sampai hari terakhir, 450 juta lembar ditawar investor. Belum termasuk dari Semarang, Surabaya, dan Medan.
Jumlah itu cukup besar karena melalui pooling hanya dijajakan sekitar 238 juta lembar. Sementara itu, saham yang dijatahkan untuk nasabah bank mengalami permintaan hingga 930 juta lembar. Namun, Ito belum bisa memastikan berapa kelebihan permintaan. "Hasil final baru diumumkan Senin," katanya.
Dalam pandangan analis Lin Che Wei, sangat wajar kalau saham BRI dikejar investor. "Kalau disuruh memilih satu bank pemerintah yang bagus, ya, BRI," ujarnya. Bank yang misi sosialnya tinggi ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki bank pemerintah lainnya, yaitu kredit kecil yang menyebar luas ke pengusaha kecil-menengah. Kelompok yang terbukti tahan terhadap gelombang krisis ini seakan menjamin bahwa risiko kemacetan kredit di BRI bisa ditekan serendah-rendahnya.
Lagi pula, harga jual sahamnya murah. Analis Samuel Sekuritas, Hendra Harahap, dalam kajiannya menyebutkan bahwa harga saham BRI, yang hanya ditetapkan sebesar 1,4 kali nilai buku, bisa dibilang cukup murah. Rasio harga terhadap nilai buku rata-rata industri perbankan saat ini mencapai 1,9 kali.
Hanya, disayangkan, investor asing ternyata diberi hak dominan. Mereka mendapat kuota 54 persen, dan lokal memperoleh 46 persen. Ito beralasan karena permintaannya membeludak sampai 50 miliar lembar, padahal alokasinya cuma 2,5 miliar. Sedangkan pemodal lokal mengajukan permintaan setengahnya, 22 miliar lembar saham.
Alasan ini patut dipertanyakan juga. Soalnya, sejak awal, pemerintah sudah mengalokasikan lebih banyak ke asing, yaitu 52 persen. Padahal, menilik permintaan lokal yang juga membeludak, pemerintah bisa saja menjual seluruh saham ke pemodal lokal. Ternyata kebijakan memprioritaskan investor asing tidak berlaku hanya pada bank swasta—maksudnya bank swasta yang ada di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional—sehingga dikhawatirkan dalam waktu singkat industri perbankan negeri ini akan dikuasai pihak luar. Tentu ada alasan kuat mengapa kebijakan tersebut yang dipilih. Namun, untuk jangka panjang, akan lebih baik jika kebijakan pro- asing itu ditinjau ulang.
Leanika Tanjung, Y. Tomi Arianto, Dinda Jouhana (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo