DIVERSIFIKASI pasar adalah mutlak dalam menggalakkan ekspor nonmigas. Untuk itu tiga pekan silam sebuah misi dagang dari Jakarta terbang ke Skandinavia. Dipimpin Menteri Perdagangan Arifin Siregar, mereka mengunjungi Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Inilah kunjungan kedua tahun ini. April lalu Arifin Siregar bersama para pengusaha menjajaki pasar Spanyol, Prancis, dan Belanda. Seperti yang dikatakan Arifin, dengan misi ini (namanya Trade, Tourism, Invesment) kebergantungan yang berlebihan pada Jepang akan bisa dicegah. Dengan pendapatan per kapita di atas US$ 20 ribu -- satu setengah kali penghasilan penduduk Jepang -- negara-negara Skandinavia haruslah dipandang sebagai calon pembeli potensial. Sebaliknya, Indonesia belum dipandang penting oleh Skandinavia. Apalagi kedua pihak terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Tapi, dalam era globalisasi, setiap calon pembeli potensial adalah penting. Tahun 1991, misalnya, nilai impor Skandinavia sudah mencapai US$ 130 milyar. Dari jumlah itu Indonesia baru menyabet Rp 200 juta atau hanya 0,2%. Meskipun penduduk Skandinavia relatif sedikit, pertumbuhan impornya rata-rata di atas 6,5%. "Ini pasar yang potensial bagi kita," kata Arifin. Di Swedia konsumsi pakaian jadi dan sepatu setiap tahun meningkat 7%. Dan hampir sebagian besar (90%) barang-barang tadi diimpor dari negara lain. Karena Indonesia juga menghasilkan barang-barang semacam itu maka peluang bisnis jelas ada. Selama ini neraca perdagangan Indonesia dengan Skandinavia selalu defisit. Enam tahun terakhir volume perdagangan Indonesia ke Swedia hanya US$ 270 juta. Sementara itu kita mengimpor dari Swedia US$ 760 juta. Berarti defisit US$ 490 juta. Begitu pula dengan Denmark dan Finlandia. Sedangkan dengan Norwegia, imbang. Dari misi itu banyak pengusaha Indonesia mengharapkan penandatanganan kontrak. "Moga-moga dalam kunjungan ini kami ketemu pembeli yang bonafide," ujar seorang pengusaha. Tapi ia kecewa. Ekonomi Skandinavia sedang runyam. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, pemerintahnya baru-baru ini meningkatkan suku bunga marginal (semacam Surat Berharga Pasar Uang disini) hingga 500%. Akibatnya, suku bunga melonjak luar biasa, yang berbuntut pada penutupan beberapa bank (karena kredit macet). Dalam situasi semacam itu misi dagang Indonesia dipandang sebagai rezeki nomplok. Alasannya, pengusaha Skandinavia tidak perlu jauh-jauh ke Indonesia. "Tadinya ke sini sih mau cari pembeli," kata Sofyan Suryana, manajer pemasaran Mayora. "Eh, gue malah didatangi makelar yang mau jual mesin butter cake." Presiden Asosiasi Bisnis dan Perdagangan Finlandia-Indonesia, Gaius Gyllenbogel mengatakan, pasar Skandinavia sudah lebih dulu diserbu barang dari RRC dan Hong Kong. "Sulit menembus pasar disini. Selain banyak pesaing, pasarnya juga relatif kecil," kata M. Kaleem, pemilik perusahaan Crystal Wasa Stockholm. Memang tidak semua sial. JP Handicraft dan Texmaco masing masing mendapat order Rp 16 juta dan Rp 500 juta. Tapi jumlah itu tak ada artinya dibanding dengan nilai cold storage yang dibeli Robert Sumendap (Grup Bouraq) sebesar Rp 39 milyar. "Ini kan baru perkenalan. Skandinavia itu ibarat gadis kuno yang malu-malu. Kalau sudah kena, wah bakalan lengket," kata Arifin kepada TEMPO. Ia mungkin benar. Tapi ada selentingan, misi dagang yang menghabiskan biaya Rp 300 juta itu justru digunakan pengusaha untuk melobi Menteri Perdagangan. "Biar dapat kelebihan kuota tekstil," kata seorang pengusaha. Bambang Aji dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini