ATAS nama pemerataan, tak lama lagi Pemerintah akan menurunkan sebuah regulasi di sektor pembangunan perumahan. Regulasi itu berupa SKB Tiga Menteri (Menteri Negara Perumahan Rakyat, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Dalam Negeri), yang diberlakukan awal 1993. Namun, belum lagi SKB diumumkan, berbagai saran yang bernada protes sudah berhamburan di media cetak. Padahal, regulasi kali ini bukanlah hal yang terlalu baru. Dalam SKB tersebut, Pemerintah mengatur pembangunan perumahan dengan rasio 1 : 3 : 5. Berarti, selain membuat rumah mewah untuk kalangan atas (satu bagian), developer harus membangun rumah golongan menengah (tiga bagian), dan golongan bawah (lima bagian). Katakanlah ada 100 rumah mewah yang dibangun, agar sah, harus juga didirikan 300 rumah kelas menengah dan 500 unit untuk kelas bawah. Keberatan para pengusaha bukanlah karena harus membangun rumah bagi kaum tak punya. Memang yang disebut terakhir ini kurang menguntungkan, namun tetap dilaksanakan. Buktinya, 700 dari 930 developer yang ada selama ini lebih berkonsentrasi pada pembangunan rumah sederhana (tipe 21 dan 36). Hasilnya, dari 524 ribu rumah yang dibangun sejak 1976, diperoleh perbandingan 1 : 4 : 16. Berarti sudah sangat ideal. Masalahnya, rumah mewah dan sederhana selama ini didirikan di lokasi yang berbeda. Kini Pemerintah menghendaki agar ketiga jenis rumah dibangun dalam satu kompleks. Selain untuk pemerataan, "Ini penting bagi keseimbangan tata kota," kata Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Judohusodo. Namun, mencampurkan tiga jenis rumah dalam satu area, "tidaklah semudah mengucapkannya," demikian pendapat Mohamad Hidayat, Ketua Umum Real Estate Indonesia. Katanya, teori itu baru bisa dilaksanakan jika pembangunan dilakukan pada lahan yang luas, minimal 200 ha. Alasannya, di atas lahan luas, rumah mewah dan sederhana bisa didesain sedemikian rupa, sehingga tidak terlampau berdekatan. Kalau berdekatan? Menurut Hidayat, kalau terlalu dekat akan terjadi kesenjangan antarkelompok sosial (tepatnya antara si kaya dan si miskin). Selain itu, dikhawatirkan bahwa rumah mewah akan kehilangan banyak peminat. Asumsi bahwa "orang kaya enggan hidup berdampingan dengan orang miskin" memang masih perlu dibuktikan. Tapi sebenarnya ada hal lain yang dipersoalkan para developer, yakni perkara untung-rugi. Bayangkan, jika seorang developer memiliki hak membangun di atas tanah yang cuma 50 hektar, ini berarti lebih dari separuh tanah itu harus diperuntukkan bagi rumah sederhana. Dan kalau perusahaan yang biasa membangun rumah mewah terkena keharusan itu, laba yang diperoleh akan berkurang banyak. Mungkin karena itu pula Ir. Ciputra (Dirut PT Pembangunan Jaya yang beken dengan rumahrumah mewahnya) mengajukan usul lain. Katanya, membangun rumah sederhana di areal yang tak begitu luas tidak praktis. Namun, jika Pemerintah tetap menginginkan dua jenis rumah dibangun di satu area, bisa diusahakan dengan rumah susun. Jadi, perbandingan antara dua jenis rumah tersebut janganlah dihitung menurut luas tanah, tapi berdasarkan jumlah unit rumah yang dibangun. "Ini lebih efisien," kata Ciputra. Tak ada salahnya bila usul itu dipertimbangkan. Soalnya, jika usul Hidayat yang dipakai (kewajiban membangun rumah sederhana hanya berlaku pada proyek di atas 200 ha), akan banyak developer yang nakal. Mereka hanya akan membangun di atas lahan di bawah 200 ha. Yang penting kan tidak mendirikan rumah murah. Apa kata Pemerintah? "Semuanya masih dalam penggodokan di tingkat dirjen," kata Menteri Siswono. Yang pasti, jika regulasi sudah dikumandangkan, developer tak boleh main-main lagi. Dan Siswono memperingatkan, "Kami akan mencabut izin usaha mereka yang tidak mengikuti aturan main." Budi Kusumah, Bina Bektiati, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini