Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersedak Ban Vulkanisir

Lion Air mengimpor ban rekondisi tanpa dokumen resmi. Selama ini sudah dipercaya dan biasa lewat jalur hijau Bea-Cukai.

4 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA medio Oktober lalu itu membuat manajemen Lion Air Group seperti pesawat tersedak debu. Lima kontainer milik mereka berisi sekitar seribu ban pesawat kiriman dari Hong Kong dan Thailand disita aparat Bea-Cukai Tanjung Priok.

Urusan dengan birokrasi tak bisa segera dilakukan lantaran kepentok libur panjang akhir pekan setelah tanggal merah Idul Adha. "Urusan administrasi baru bisa dilakukan pekan depannya," kata direktur umum sekaligus juru bicara Lion Air Group, Edward Sirait, kepada Tempo di kantornya Kamis pekan lalu.

Penerbangan Lion Air pun tak ayal terganggu. Sembilan pesawat dikandangkan selama enam jam karena tak tersedia ban pengganti pada Kamis dua pekan lalu. Yang paling fatal adalah penundaan lima penerbangan di Surabaya, Makassar, Batam, Yogyakarta, dan Padang. Ratusan calon penumpang mencak-mencak. Manajemen lalu mendatangkan ban-ban dari pabrik Bridgestone Hong Kong via pesawat udara. "Sekali kirim cuma bisa 10-15 ban," ujar Edward

Menurut Edward, yang juga Direktur Keuangan Wings Air, anak perusahaan Lion Air, perusahaan berharap pada 16 Oktober ban-ban itu sudah bisa diterima. Tapi, esok harinya, Bea-Cukai menahannya di Jakarta International Container Terminal dan Terminal Kontainer Koja.

Lima kontainer tadi masing-masing empat kontainer berukuran 40 feet dan satu seukuran 20 feet. Kontainer besar senilai US$ 456.806 (sekitar Rp 5,1 miliar) didatangkan oleh PT Lion Mentari Airlines, pengelola maskapai Lion Air. Sedangkan isi peti kemas kecil senilai US$ 42.250 atau Rp 478 juta milik PT Wings Abadi Airlines (Wings Air). Peti kemas itu tiba secara bertahap pada 11 September, 2 Oktober, dan 19 Oktober, dengan lima dokumen pemberitahuan impor barang (PIB). Ban-ban itu disebut untuk memasok Lion Air, Wings Air, dan Batik Air.

Namun petugas Bea-Cukai curiga karena PIB menyebutkan ban yang diimpor baru dan restricted. "Mana bisa ban baru tapi sekaligus restricted?" kata Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Bea-Cukai Tanjung Priok Finari Manan. Setelah diperiksa, ternyata mayoritas ban, sekitar 800, adalah ban vulkanisir alias bukan ban baru. Ia menduga importir berupaya mengakali perizinan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 48 Tahun 2011 mengenai Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru, yang diperbarui dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 Tahun 2012, impor ban rekondisi harus disertai izin dari Kementerian Perdagangan. Aturan itu terbit pada 14 Desember 2012.

Kepala Subdirektorat Humas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Haryo Limanseto menuturkan, selama ini, barang impor Lion masuk lewat jalur hijau, yang artinya tanpa pemeriksaan karena sudah dipercaya. "Sekali-sekali kami terbitkan NHI (nota hasil intelijen) untuk menguji," katanya kepada Erwan Hermawan dari Tempo, Jumat pekan lalu. "Ini jadi catatan kami selanjutnya." Ia memastikan semua importir bonafide akan diperlakukan sama.

Semua ban baru yang ada di dalam kontainer sudah diloloskan. Tapi 800 ban vulkanisir itu baru lolos setelah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi menerbitkan persetujuan pada 25 Oktober lalu. Izin mengacu pada rekomendasi Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tanggal 18 Oktober 2012. "Sekarang semua ban sudah lolos," ujar Edward.

Petugas Lion Group, menurut Edward, lalai sehingga masalah ini terjadi. "Kami tak mempermasalahkan mengapa kok sebelumnya lolos," katanya. "Intinya, kami lalai dan mesti memenuhi persyaratan." Menurut dia, yang dipahami petugas Lion adalah aturan berlaku efektif setahun setelah diterbitkan.

Edward mengaku tak memiliki data seberapa sering Lion Group mengimpor ban. Tapi, ia menyebutkan, tiap 20 hari pesawat harus ganti ban dan Lion mengoperasikan 135 pesawat. Lion juga menyimpan 600 ban untuk kebutuhan dua minggu. "Begitu seminggu dipakai, datang lagi ban," ujarnya. Namun jumlah itu tetap tak mencukupi.

Lion Air merupakan maskapai penerbangan yang memiliki armada, penumpang, dan jalur penerbangan terbanyak di Indonesia. Lion juga melayani penerbangan luar negeri ke Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi. "Per hari terbang 700 kali untuk melayani 100 ribu penumpang," kata Direktur Utama PT Lion Mentari Airlines Rusdi Kirana kepada Tempo, Juni lalu. Ia menargetkan meraup 36 juta penumpang tahun ini, naik 4 juta dari pencapaian tahun lalu.

Pengamat penerbangan Alvin Lie ragu importir selevel Lion tak mengetahui regulasi izin impor. Pemerintah, menurut dia, pasti sudah melakukan sosialisasi. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) rekanan importir pun pasti telah menginformasikan hal itu. Alvin meminta masalah ini diusut tuntas. "Kalau selama ini Lion bisa slonong boy, PPJK dan Bea-Cukai patut diduga ikut bermain," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Jobpie Sugiharto, Maria Yuniar


Biar Botak Tetap Selamat

PENGGUNAAN ban rekondisi untuk pesawat udara memunculkan kekhawatiran mengenai keamanan. Jika pemakaian dan pengawasannya amburadul, nyawa penumpang menjadi taruhan. Toh, pemerintah menjamin tak ada masalah dengan penggunaan ban vulkanisir. Praktek itu dianggap jamak di dunia penerbangan internasional. "Itu common use di dunia penerbangan, termasuk maskapai asing," kata juru bicara Kementerian Perhubungan, ­Bambang S. ­Ervan, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Penggunaan ban rekondisi mengacu pada ketentuan Civil Aviation Safety Regulations part 145 dan 121 dari Organisasi Penerbangan Internasional (ICAO). "Umur pemakaian ban vulkanisir hampir sama dengan ban baru," kata Kepala Subkomite Udara Komite Nasional Keselamatan Transportasi Masruri. Ia juga memastikan belum pernah ada kecelakaan pesawat akibat pemakaian ban rekondisi. Wartawan penerbangan senior Dudi Sudibyo mengiyakan. "Ketentuan penggunaan ban rekondisi ketat. Kemungkinan kecelakaan kecil," ucapnya.

Bambang mengatakan usia laik pakai ban pesawat umumnya 180 kali pendaratan. Sedangkan Direktur Umum PT Lion Mentari Airlines Edward Sirait menuturkan, biasanya rata-rata setelah 160 kali pendaratan, ban harus diperbaiki demi keamanan. Ban baru didesain bisa menjalani beberapa kali rekondisi. Itu ditandai dengan kode R6 atau R7, yang artinya bisa sampai tujuh kali divulkanisir.

Namun kelayakan ban bergantung pada kondisi faktual. Sejumlah faktor ikut berperan menentukan kondisi ban, antara lain landasan dan pengoperasian pesawat. Bambang mencontohkan, kondisi landasan yang buruk membuat ban cepat botak alias aus walau belum habis roda hidupnya.

Pemeriksaan ban dilakukan maskapai serta Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan. Setiap perusahaan penerbangan memiliki principal operations instructor dan principal maintenance inspector. Merekalah yang bertanggung jawab memeriksa kondisi ban berdasarkan petunjuk manual.

Adapun Direktorat Kelaikan Udara melakukan pemeriksaan ban alias ramp check tiga-empat hari sekali. "Di musim sibuk, seperti Natal dan Leba­ran, ramp check bisa dilakukan setiap hari," kata Bambang. Kalau inspector Direktorat Kelaikan Udara melihat ada serat atau benang keluar dari ban, pesawat dilarang terbang sampai ban diganti.

Ban yang menipis bisa dikirim ke pabrik ban untuk ditambahi lapisan. Namun pabrik akan menolak menggarapnya jika kondisi ban sudah terlampau parah. "Kirim 100 ban, belum tentu semuanya balik," ujar Edward. Kementerian Perhubungan hanya merekomendasikan dua pabrik ban Bridges­tone untuk melayani maskapai nasional, yakni di Hong Kong dan Bangkok.

Jobpie Sugiharto, Maria Yuniar, Ismi Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus