Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengakui kementeriannya mendengar banyak kekhawatiran masyarakat Nusa Tenggata Timur (NTT) mengenai kenaikan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar. Aturan kenaikan tarif masuk destinasi tersebut saat ini sedang dirampungkan oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini sedang kami finalkan dan rencananya saya akan ke Labuan Bajo untuk berdiskusi karena memang banyak yang menyampaikan aspirasi dan kekhawatiran sehingga ini yg harus kami dengarkan secara komprehensif,” kata Sandiaga Uno dalam Weekly Press Briefing (WPB) Kemenparekraf pada Senin, 18 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sebelumnya berencana menaikkan tarif tiket masuk Kawasan Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3,75 juta. Seiring dengan rencana kenaikan tarif ini, pemerintah bakal membatasi kunjungan wisatawan. Pendapatan dari biaya masuk pengunjung bakal digunakan untuk perawatan konservasi.
Sandiaga mengatakan pihaknya ingin pengembangan destinasi superprioritas Taman Nasional Komodo melibatkan komunitas lokal. Nantinya, masyarakat lokal akan dilibatkan sebagai pemandu wisata.
Di sisi lain, Sandiaga mengatakan pembatasan kunjungan dan kenaikan tarif ini bertujuan untuk menjaga wilayah konservasi di habitat komodo. “Kami ingin mengedepankan konservasi dengan tetap membuka peluang ekonomi berkearifan lokal. Ini yang kami dorong dalam konsep pariwisata berkualitas dan berkelanjutan,” katanya.
Perihal kekhawatiran masyarakat NTT yang cemas pariwisata TNK akan dikuasai korporasi besar, Sandiaga mengatakan izin konsesi perusahaan swasta di luar ranah Kemenparekraf. Meski begitu, ia menegaskan aspek konservasi harus menjadi priotitas lebih dari aspek komersialisasi dalam pengelolaan dan memprioritaskan aspek pemberdayaan masyarakat setempat.
Kenaikan tarif ke Pulau Padar, Pulau Komodo, dan perairan sekitarnya telah memancing kekhawatiran masyarakat setempat dan lembaga pemerhati lingkungan karena indikasi TNK akan menjadi kawasan wisata superpremium berbasis korporasi. Salah satu yang menolak adalah Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat. Menurut kelompok itu, rencana kenaikan tarif tiket adalah upaya menuju praktik monopoli bisnis.
“Dalam empat tahun belakangan ini, warga terus mendesak Pemerintah untuk mencabut izin-izin perusahaan swasta dalam kawasan TNK (PT SKL di Pulau Rinca, PT KWE di Pulau Padar & Komodo dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa),” berikut pernyataan tertulis Formapp Manggarai Barat yang diterima Tempo, 18 Juli 2022.
Selain itu, warga Kampung Komodo memprotes keras rencana pemindahan mereka pada 2019 dalam rangka menjadikan Pulau tersebut sebagai destinasi wisata eksklusif. Hingga sekarang, protes publik telah mendapatkan perhatian dari lembaga internasional UNESCO dengan melalukan kunjungan lapangan (reactive monitoring) beberapa waktu lalu.
Peneliti Sunspirit for Justice and Peace, lembaga advokasi hak masyarakat yang berbasis di Labuan Bajo, NTT, Venansius Haryanto menuding konservasi sebagai dalih untuk memasukan perusahaan swasta untuk menikmati keuntungan dari Pulau Komodo. Tiga perusahaan swasta telah mendapat izin konsesi dengan skema Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).
IPPA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
“Jadi perusahaan-perusahaan ini sudah lama mengantongi izin sejak 2013-2014 untuk membangun resor mewah, tetapi sampai sekarang belum mulai membangun karena kami protes terus sampai kemarin dievaluasi oleh UNESCO,” kata Venan saat dihubungi Tempo, 13 Juli 2022.
Dengan menaikan tarif ini, pemerintah sedang mendorong Pulau Padar dan Komodo untuk dikelola eksklusif. Apalagi, katanya, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur juga memiliki BUMD PT Flobamor yang akan mengelola jasa pariwisata di Pulau Padar dan Pulau Komodo, sementara tiga perusahaan swasta menguasai sarananya.
“Kami tidak melihat ini berpihak ke masyarakat lokal. Kami melihat gambaran kalau ini satu paket kebijakan untuk pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo secara eksklusif yang berbasis korporasi,” katanya.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.