Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sarbini Turun Lagi

Pendapat prof. sarbini sumawinata tentang ekonomi indonesia. ia mengkritik pembangunan ekonomi yang selama ini dilihatnya lebih memperhatikan masalah sektoral, kurang melebar ke segala lapisan rakyat.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROFESOR Sarbini Sumawinata memang konsekuen. Lama diam, ekonom senior yang sering tampil di penggal pertama Orde Baru itu akhir pekan lalu turun lagi. Ia bicara tentang take off (lepas landas). "Fase yang amat menentukan apakah pembangunan mempunyai daya tahan dan kemampuan melangsungkan perjalanan ke arah emansipasi yang mantap andal," katanya. Sekitar 200 hadirin tepekur mendengarkan "tinjauan analitis" Prof. Sarbini, diselenggarakan Yayasan Padi dan Kapas, di Bentara Budaya, Jakarta, menghormati usianya yang 70 tahun. Analisanya tak berubah, dalam mengukur perjalanan ekonomi Orde Baru, yang tahun depan akan memasuki tahap Repelita V. Ia mengkritik pembangunan ekonomi yang selama ini dilihatnya lebih memperhatikan masalah sektoral, dan kurang melebar ke daerah dan ke segala lapisan masarakat termasuk melibatkan si miskin. Ia juga merasa cemas, karena kemerosotan harga minyak dijadikan alasan kesulitan ekonomi sekarang. Untuk memperjelas analisanya, ia kemudian menoleh kepada penemu istilah take off di tahun 1950-an: W.W. Rostow, yang menetapkan tiga syarat bagi suatu negara untuk menembus momentum lepas landas. Pertama, tingkat investasi minimal mencapai 10% di atas pertumbuhan penduduk. Kedua, adanya pertumbuhan agak tinggi darisatu atau lebih cabang industri. Ketiga adanya kekuatan sosial, politik, dan institusional, yang mampu mengerahkan modal dan tabungan dari dalam negeri. Sarbini menilai, syarat kedua dan ketigalah yang lebih penting dianut ekonomi Indonesia, ketimbang yang pertama. "Apalagi jika persyaratan ini dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam periode take off, akan. dialami berbagai tekanan, plintiran dan tekukan yang mahakuat, yang harus ditahan oleh suatu struktur yang memadai," kata Sarbini. Ketua Umum pertama ISEI di awal 1950-an ini tak yakin bahwa syarat kedua akan bisa terpenuhi, "karena masih terlalu rendah dan lemahnya sektor manufaktur." Demikian pula syarat ketiga, karena yang terjadi adalah, "perubahan marginal saja." Adapun usaha sekunder atau manufaktur di Indonesia dewasa ini, menurut bekas ketua Biro Pusat Statistik itu, baru mencapai 10%, diukur dari daya serap tenaga kerja yang bisa ditampung dalam berbagai lapangan usaha. Itu pun umumnya meliputi cabang-cabang industri bermutu rendah, dengan produktivitas yang rendah pula. Maka, dia melihat, tingkat manufaktur di Indonesia perlu mencapai 20%, dengan produktivitas yang memenuhi standar internasional. Dia juga beranggapan, produksi besi baja di Indonesia, yang saat ini cuma 3 juta ton setahun, harus didongkrak menjadi 15 ton, sebagai persyaratan take off. Eropa, Jepang, AS, dan Rusia masing-masing memiliki produksi besi baja sekitar 100 juta ton. Sedang India, yang punya kelas menengah sekitar 100 juta orang, kini membuat besi baja 9-10 juta ton setahun. Peranan ekspor pun, menurut Sarbini, amat menentukan bagi Indonesia, yang hingga saat ini masih butuh pinjaman dan investasi asing. Sebagai perbandingan, dia menunjuk pada posisi India, dan juga RRC yang 30 tahun silam pernah diramalkan Rostow punya kebolehan untuk sampai di ambang pintu take off. Tapi hingga karang belum bisa mencapainya. Adapun sebabnya, kata Sarbini, antara lain karena tingkat ekspornya tidak sebanding dengan kemampuannya untuk mencicil utang luar negerinya. Sarbini menghitung Indonesia perlu meraih tingkat ekspor 50 mllyar dolar setahun, untuk bisa melunasi utang luar negeri sebanyak 10 milyar setahun. Dia menilai, iklim ekonomi internasional dewasa ini sebenarnya cukup membuka peluang untuk mengundang masuknya modal besar-besaran dalam investasi manufaktur untuk ekspor. Tapi mengapa itu tak terjadi, Sarbini mengemukakan setumpuk alasan, sembari melontarkan kritik ke alamat para sarjana ekonomi. "Mereka menganggap bahwa masalah pembangunan cukup dihadapi dengan kebijaksanaan ekonomi. Karena sibuknya dengan economic policy yang berarti makro, cenderung terjadi peremehan dan pengabaian masalah mikro," katanya. Ia kemudian bicara soal perekonomian Indonesia yang "tidak efisien dan korup", dan sederet daftar hambatan yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi. Banyak yang sependapat dengan Sarbini, seperti dikemukakan beberapa bekas menteri. Namun, seperti pernah diucapkan seorang ekonom senior pula, demokrasi dan keadilan ekonomi tidaklah berlangsung dalam sebuah vakum. Tak ada satu kunci yang begitu saja bisa membukakan pintu ke masyarakat yang adil dan makmur. Hidup tidak hitam putih seperti dalam teori. Ada hal-hal yang terpaksa diterima. Ada dilema yang justru lebih berat daripada sekadar soal perekonomian. Fikri Jufri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus