GARUDA Indonesia melaju terus, rupanya, di tengah protes para awaknya bulan lalu, karena tunjangan terbangnya dipotong. Kini giliran eksportir ikan tuna yang protes. Mereka keberatan tarif angkut naik lagi 20 sen dolar per kilogram, dari US$ 1,5. Tak kurang dari dua eksportir utama yang datang mengadu ke DPR pekan lalu. PT Perikanan Samudera Besar dan PT Bali Raya. Ketua Komisi IV Imam Churmen, yang menerima pengaduan itu, beranggapan bahwa kenaikan tarlf angkut Garuda merupakan kendala bagi peningkatan ekspor nonmigas, yang kini tengah digalakkan oleh pemerintah. "Sebaiknya, Garuda jangan mengejar untung dulu, tapi lebih penting mendukung usaha pemngkatan ekspor nonmigas," ujarnya. Benar juga. Tapi pihak direksi Garuda rupanya punya pertimbangan tersendiri. Direktur Niaga Sunaryo, didampini Direktur Operasi Sumedi Amir, mengemukakan bahwa selama ini "secara resmi" Garuda tidak pernah menaikkan tarif angkutan barang. Maksudnya, kendati telah terjadi tiga kali kenaikan, tarif Garuda masih di bawah plafon tarif resmi yang ditentukan pemerintah: US$ 2,1 per kg. "Jadi, sampai sekarang Garuda sesungguhnya masih menyubsidi para eksportir 40 sen dolar untuk setiap kilonya," katanya. Semula, perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia itu menetapkan tarif angkut 90 sen dolar untuk setiap kg ikan tuna. Kemudian, secara bertahap tarif pun merayap naik menjadi 1,1 dolar, lalu 1,3 dolar, dan kini 1,5 dolar per kilo. "Kalau dihitung dengan tarif awal, berarti Garuda dulu pernah menyubsidi eksportir ikan tuna 1,2 dolar per kilo," begitu Sunaryo menghitung. Adapun pertimbangan untuk menentukan tarif baru, menurut Sunaryo, karena Garuda melihat posisi eksportir yang sudah mapan. Ceritanya, tarif perdana ditetapkan jauh di bawah tarif resmi, karena waktu itu ikan tuna belum pernah diekspor. Lantas Garuda melakukan pendekatan dengan para pengumpul ikan tuna. Ketika itu tarif ditetapkan 2 dolar, "tapi tidak jalan, sampai akhirnya muncullah angka 90 sen dolar per kilo, dan ekspor pun menigkat," tutur Sunaryo. Setelah itu, sedikit demi sedikit subsidi dikurangi, sesuai dengan perkembangan ekspor ikan tuna. Sasaran pun ditetapkan, kalau ekspor sudah mapan betul, Garuda akan menggunakan tarif sesuai dengan ketetapan pemerintah. "Logikanya, dulu kami merugi karena membantu program pemerintah dalam ekspor nonmigas. Tapi sekarang kami tidak mau rugi terlalu banyak," ucap Sunaryo lagi. Dalam menetapkan pengurangan subsidi ini, menurut Sunaryo, tak diperlukan persetujuan Menteri Perhubungan, tapi cukup dengan pemberitahuan. "Sebab, tarif kami toh masih di bawah tarif resmi," ujarnya. "Penerbangan di luar negeri umumnya mengenakan tarif 4 dolar per kilo. Tarif di Garuda memang berbeda-beda, tergantung komoditinya. Untuk sayur-mayur misalnya, Garuda berbangga masih memberlakukan tarif 1,3 dolar per kg. Namun, perlahan-lahan, sejak tahun lalu, Garuda agaknya ingin merogoh penerimaan yang lebih besar dari angkutan barang. Maklum, ekspor nonmigas kini memang lagi naik daun, sekalipun belum bisa mencapai sasaran rata-rata satu milyar dolar setiap bulan. Direksi Garuda sendiri sudah bersepakat untuk menjaring laba Rp 29 milyar dalam tahun anggaran sekarang. Berarti naik 10 kali lebih dibandingkan laba tahun anggaran Garuda sebelumnya, yang baru Rp 229 juta. Target laba boleh tinggi, tapi eksportir menuntut janji. Konon, menurut seorang eksportir, tahun lalu ketika tarif masih 1,1 dolar, Garuda menjanjikan akan mengadakan penurunan. Asal saja, ekspor dilakukan secara kontinu, sesuai dengan daya angkut Garuda yang 15 ton sehari. "Sekarang syarat itu sudah terpenuhi, jadi seharusnya Garuda konsekuen," katanya. Soal tarif yang terjadi sekarang masih lebih murah ketimbang penerbangan asing, menurut sumber ini, wajar karena servisnya lebih bagus. "Sehingga, kami tidak perlu waswas ikan yang kami kirim akan rusak atau busuk," ujarnya. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini