BILA Anda membeli 1.000 kantung semen di kawasan Menteng, Jakarta, harganya bisa Rp 3.725 per kantung, sesuai HPS (Harga Pedoman Setempat) untuk Jawa. Tapi kalau cuma beli beberapa kantung, bisa Rp 3.850. Di pinggiran Jakarta, harga bisa lebih mahal. Kenaikan itu terjadi, "karena harga bahan bakunya dan kertasnya, " kata Menteri Peridusrian Hartarto. Lonjakan harga, menurut Ketua ASI (Asosiasi Semen Indonesia) Setiadi Dirgo, sudah terjadi beberapa waktu lalu. Tapi diakuinya, beberapa hari terakhir ini, "Harga semen menurun dan kembali seperti biasa." Di Surabaya, harga semen Gresik biasa-biasa saja. Namun, di Bandung harga eceran antara Rp 3.800 dan Rp 4.000 per sak. Apakah kenaikan itu ada kaitannya dengan ekspor semen? Tak jelas benar. Menurut Setiadi, yang juga dirut PT Semen Padang, ekspor cuma 10% - 15% setahun atau sekitar 3 juta ton dari produksi nasional. "Ekspor itu sebenarnya rugi, dan masih ada sekitar 4 juta ton kapasitas mesin yang tak terpakai," katanya. Kapasitas terpasang pabrik semen secara nasional mencapai 17 juta ton, sedangkan pasaran dalam negeri tahun ini diperkirakan menyerap 10,5 juta ton. Kelebihan produksi yang diekspor itu toh tidak menguntungkan, karena harganya cuma sekitar 28 dolar (di atas kapal) per ton. Yang beruntung barangkali PT Indocement Tunggal Prakarsa, yang akhir Juli lalu bisa melempar 10 ribu ton ke Jepang, dengan harga sekitar 50 dolar sampai di negara tujuan. Harga itu masih lebih murah ketimbang di dalam negeri, yang menurut hitunga Setiadi sekitar 53 dolar per ton. Tapi harga dalam negeri masih lebih murah dibandingkan negara lain. Misalnya di Jepang dan Australia, harga pasaran mencapai 100 dolar per ton, sedangkan di Taiwan sekitar 90 dolar. "Berarti harga di Indonesia masih murah dan wajar," katanya. Naik turunnya harga semen dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Setiadi, harga kertas impor untuk kemasan semen, yang kuat dan liat, setahun ini naik hampir 50%. Dulu harganya Rp 500, sedang kini per kemasan sudah Rp 700. Bahan bakar pun menjadi pertimbangan. Konon batu bara akan naik harganya, karena harga dunia memang lagi hangat. Padahal, sebagian besar pabrik semen sudah menggunakan batu bara. Cadangan batu bara memang tak mengkhawatirkan. Tapi manakala suplai batu bara itu terlambat datangnya, maka minyak jugalah yang menggantikan. Lagi pula, ongkos transportasi, baik melalui darat maupun laut, sudah naik. Tarif tol yang juga menjadi sarana transportasi semen naik pula. Di beberapa daerah retribusinya juga naik. Tentu saja hal itu, di samping berpengaruh terhadap ongkos produksi, juga mempengaruhi harga semen di berbagai daerah. Belum lagi tanggungan pabrik karena inflasi atau kenaikan nilai mata uang dolar. Padahal, HPS yang berlaku sejak SK Menteri Perdagangan tahun 1986 belum mengalami perubahan. "Wajar kalau kita minta agar harga itu ditinjau kembali," kata Setiadi kepada Teguh P. dari TEMPO. Suhardjo Hs.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini