KUE produksi nasional alias GDP (Gross Domestic Product), selama ini terus-menerus membesar. Tapi kue yang dibuat para petani ternyata tidak ikut membesar. Akibatnya, seperti dikatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas Saleh Afiff, ada positif dan negatifnya. "Rekor pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir ini telah melahirkan problem-problem baru, selain memang kesempatan-kesempatan baru," kata Doktor Afiff dalam acara wisuda IPMI di Bank Duta, Jumat pekan lalu. Menurut Afiff, kue GDP tahun 1965 lebih dari separuh (56%) dihasilkan dari sektor pertanian. Setelah dua dasawarsa, pada tahun 1985, peran pertaman ternyata tinggal sekitar 24%. Pada data BPS, besarnya GDP Indonesia pada 1985 mendekati nilai Rp 80 trilyun. Dan hanya sekitar Rp 19 trilyun dihasilkan dan pertanian. Menciutnya peran pertanian itu, kata Afiff, di satu pihak menunjukkan gejala yang cukup membesarkan hati. Sebab, pembangunan mau tak mau akan menimbulkan perubahan struktur mata pencarian masyarakat. Perubahan struktur di Indonesia ini ternyata mirip yang di Korea Selatan dan Taiwan, dua negara yang tergolong kelompok negara industri baru. Sementara itu, ada juga sisi gelap dari pertumbuhan. Teorinya, jika produksi berjalan efisien, persentase jumlah petani tentu berkurang. Ternyata, tenaga kerja di pertanian hanya menciut dari 71% menjadi 57%. Dengan kata lain, semakin banyak tenaga tak efisien mengerubuti sektor pertanian. Hal itu terjadi antara lain karena pertumbuhan pertanian kalah cepat dengan minyak dan gas. Pada 1970-an, Indonesia mendapat rezeki minyak. Maka, kue GDP memuai cepat. Tapi kue itu tak bisa dinikmati langsung oleh masyarakat Indonesia yang lebih dari separuh bertani di pedesaan. Soalnya, industri minyak tak bisa menimbulkan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat desa. Dengan kata lain, membesarnya kue dari sektor minyak tak mampumenyalurkan petani ke sektor perminyakan. Akibatnya, sebagian besar masyarakat desa harus tetap bertani. Ironisnya lagi, rezeki minyak justru memukul petani. Akibat rezeki nomplok itu - sebagaimana terjadi di negara-negara pengekspor minyak lainnya -- mata uang Indonesia menguat. Keadaan ini menyebabkan biaya produksi pertanian meningkat dan petani sulit mencari dolar. Baru pada 1978 pemerintah menyadari hal itu, sehingga keluar kebijaksanaan devaluasi pada 1978. "Kalau hal itu tidak dilaksanakan, ekonomi di pedesaan pasti mandek," kata Afiff. Ini bukan berarti devisa yang diperoleh dan ekspor minyak tidak dinikmati petani. Pemerintah telah mengeluarkan investasi-investasi besar untuk petani dalam bentuk program-program intensifikasi pertanian. Antara lain dalam bentuk riset, irigasi subsidi pupuk, dan penyesuaian harga gabah petani. Malahan, ada anggapan bahwa kredit-kredit Inmas (intensifikasi masal) dan Bimas (bimbingan masal) tempo hari lebih merupakan hadiah ketimbang kredit. Segala "hadiah" itu berbuah ranum pada tahun 1984, yakni saat tercapainya swasembada beras. Agaknya, baru sekali ini pemerintah -- lewat diskusi di IPMI pekan lalu itu -- secara resmi mengakui bahwa program stabilisasi ternyata membawa dilema. Menteri Afiff mengakui bahwa kehidupan petani belum terangkat. Hal itu terjadi antara lain karena program stabilisasi hanya dinikmati para dlstnbutor. Dalam Repelita V nanti, Saleh Afiff mengatakan bahwa masalah ini akan mendapatkan perhatian lebih serius. Asas pertumbuhan, pemerataan, dan stabilisasi dalam kebijaksanaan dan program-program pembangunan pertanian akan dirancang dan dilaksanakan bukan cuma dengan sasaran jumlah produksi. "Tapi juga dengan meningkatkan kesempatan kerja serta pendapatan masyarakat pedesaan," kata Menteri. Dalam hal stabilisasi beras, misalnya Bulog hanya akan berperan sebagai iron, yakni turun ke pasar jika harga sudah membahayakan stabilitas. "Kebijaksanaan harga akan dikoordinasikan, dengan menaksir blaya produsen yang potensial dan prospek konsumsi beras," kata Afiff lebih tajam. "Ini baru betul dan kami setuju," kata dosen ekonomi pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Gunawan Sumodiningrat. Pakar ekonomi ini melihat bahwa pembangunan Indonesia selama ini bagaikan menegakkan menara yang tinggi tapi mengabaikan fondasi. Menurut Gunawan, pembangunan selamaini terlalu condong bersandar pada teori yang sangat gampang dari John Maynard Keynes. Bunyinya: tabungan yang besar akan merangsang investasi yang besar juga. Padahal, masyarakat Indonesia sangat heterogen. Dan kemampuan berproduksi masyarakat sangat berbeda-beda. Seharusnya, menurut Gunawan, teori Keynes itu dikawinkan dengan teori Rostow, yang dibicarakan Prof. Dr. Sarbini Sumawinata (lihat Sarbini Turun Lagi). Kata Rostow, pertumbuhan kuat akan terjadi jika dikembangkan dari surplus produsen. Basis ekonomi Indonesia adalah pertanian, sehingga fondasi pertanian jelas harus dikuatkan. "Subsidi-subsidi hanya pelengkap. Yang penting, memberikan kesempatan bagi petani untuk mengembangkan potensinya," kata pakar yang dekat dengan petani ini. Misalnya dalam kebijaksanaan stabilisasi harga beras. Sekarang ini harga beras ditentukan dari atas, sehingga penyesuaian harga hanya dinikmati para pedagang perantara, dan tidak dinikmati petani produsen. Seharusnya, petani dlberl kesempatan untuk menduduki posisi penentuan harga beras, sesuai dengan biaya dan jerih payahnya. Potensi itu, menurut Gunawan, sebenarnya ada pada KUD-KUD. Bulog hanya boleh turun tangan jika harga sudah membahayakan stabilitas. "Risikonya, harga beras memang bisa naik," kata pakar ini, akhirnya. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini