Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUSAN orang pengunjuk rasa berteriak-teriak di depan kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Selasa dua pekan lalu. Terik sinar matahari tak menyurutkan semangat mereka. Sambil mengusung aneka poster dan spanduk, mereka menyoal gunungan kredit bermasalah di bank beraset Rp 250 triliun itu. Bank pelat merah yang baru go public itu dituding telah sembrono menyalurkan kredit, dan mengabaikan syarat kelayakan usaha para debitornya. "Triliunan rupiah uang rakyat di Bank Mandiri dikelola seenaknya," kata Anton, salah satu demonstran.
Para pengunjuk rasa, yang antara lain menggabungkan diri dalam kumpulan bernama Gerak (Gerakan Rakyat Anti-Koruptor), mengaku tak asal bicara. Mereka menyatakan mengantongi segepok data sebagai bukti. Salah satunya menyangkut pembelian kredit PT Domba Mas dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 1,15 triliun, yang pembayaran cicilannya kini masuk kategori kurang lancar.
Pengamatan TEMPO di lokasi pabrik Domba Mas, perusahaan eksportir kacamata di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, itu memang mendapati suasana muram. Tiga bulan terakhir, perusahaan terus melakukan pengurangan pegawai. Dari jumlah semula 1.500 orang, kini karyawan tinggal 700 orang saja. "Kami ditawari untuk mengundurkan diri dengan alasan efisiensi dan volume ekspor berkurang," kata Simamarta, seorang pegawai di sana yang masa kerjanya selama enam tahun disudahi dengan pesangon Rp 9 juta.
Bos Domba Mas, Sutanto Lim, pun kini jarang terlihat di pabrik. "Dia sekarang lebih suka mengurus usaha kebun sawit dan peternakan babi," ujar Simarmata lagi.
Selain Domba Mas, yang juga dipermasalahkan adalah penyaluran sejumlah besar kredit kepada para politikus. Salah satunya yang diperuntukkan bagi Oesman Sapta Odang. Para demonstran menunding, pinjaman kepada pengusaha yang juga Wakil Ketua MPR itu digelontorkan semata berkat kedekatan hubungan Oesman dengan Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe. Salah satu indikasinya, ma-sih kata barisan pemrotes, adalah keanggotaan Novan Andre Paul Neloe, putra Neloe, di Partai Persatuan Daerah yang diketuai Oesman.
Dokumen akta pendirian partai itu, yang diperoleh TEMPO, menunjukkan: dibuat di depan Notaris Herlina Pakpahan di Rangkas Bitung, nama Novan tercantum sebagai salah satu pendiri.
Politikus lain yang juga kena senggol adalah Habil Marati, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara ini juga dituduh para pengunjuk rasa telah menerima kucuran dana Rp 300 miliar untuk membiayai proyek pemrosesan cokelat, pabrik seng, pembibitan udang, dan pengalengan ikan.
Kenyataannya kini, kata Anton, demonstran yang juga berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, "Proyek-proyek itu tak berjalan sehingga kreditnya berpeluang macet."
Anton dan kawan-kawan bertekad akan mengadukan hal ini kepada pimpinan Dewan di Senayan. "Kami akan membuka data-data yang lebih rinci," kata Abdul Haris Maraden, koordinator pengunjuk rasa, dalam pernyataan tertulisnya.
Berbagai kecurigaan itu tak pelak kembali menempatkan Bank Mandiri di bawah lampu sorot. Soalnya, untuk urusan membeli aset kredit, bank pemerintah terbesar ini memang tergolong sangat agresif. Sampai akhir semester lalu, "si Pita Emas" tercatat telah memborong aset kredit dari BPPN senilai Rp 4,9 triliun.
Apalagi, belum lama ini Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman Soemantri, telah merilis peringatan: salah satu penyebab naiknya rasio kredit busuk perbankan adalah pembelian aset kredit dari BPPN secara ugal-ugalan. "Kalau bank tak mampu mengelola sehingga kualitasnya turun, kredit macet bisa bertambah," Maman mengingatkan.
Lampu kuning pun telah menyala dari sejumlah data. Menurut laporan yang dilansir untuk para investor, kualitas kredit Bank Mandiri memang tak begitu mulus. Jumlah kredit dalam pengawasan yang membaik menjadi kredit lancar, misalnya, cuma senilai Rp 2,2 triliun. Sebaliknya, jumlah kredit lancar yang turun tingkat menjadi kredit dalam pengawasan mencapai Rp 2,4 triliun.
Alarm berbunyi makin keras di tingkat selanjutnya. Jumlah kredit kurang lancar yang membaik ke kredit dalam pengawasan cuma Rp 300 miliar. Sebaliknya, kredit dalam pengawasan yang memburuk ke kredit kurang lancar melonjak menjadi Rp 1,4 triliun.
Mungkin itu sebabnya Bank Mandiri belakangan ini jadi begitu waspada. Ibarat petinju, mereka sudah merapatkan double cover untuk menghadapi risiko melonjaknya kredit macet. Dijelaskan Direktur Korporat Sholeh Tasripan, rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) Mandiri kini dipatok hingga 178,2 persen dibanding kredit macet. Nilai PPAP itu Rp 4,5 triliun lebih tinggi daripada provisi minimum yang ditetapkan bank sentral.
Jadi, benar segala tuduhan itu? Penjelasan dari Neloe sendiri, sayangnya, tak bisa diperoleh. Berkali-kali didatangi ke kantornya, ia tak dapat diwawancarai. Begitu pula dengan putranya. Novan tak bisa ditemui, baik di kantornya di Plaza Mutiara, Jakarta, maupun di rumah. "Anak saya sibuk, tak bisa diganggu," kata ibunya di kediaman mereka di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, kepada Yura Syahrul dari TNR.
Bantahan disuarakan pihak-pihak terkait lain. Wakil Presiden Direktur Mandiri, I Wayan Pugeg, menyatakan banknya tak goyah seinci pun, karena aset-aset tersebut dibeli dari BPPN dengan harga megadiskon. "Cuma 15-20 sen dan tergolong utang lancar," ujarnya.
Termasuk yang masih lancar, kata Pugeg, adalah kredit Domba Mas di atas. "Kalau ada short liquidity di sebuah perusahaan, itu kan biasa. Tapi enggak sampai macet, kok," ujarnya.
Subiyanto, General Manager Domba Mas, menyuarakan sangkalan serupa. Semasa krisis, katanya, pihaknya memang sempat mengalami kesulitan membayar pinjaman. Apalagi jumlah utang pun meroket gara-gara lonjakan kurs. Tapi, kini kondisinya berbeda. "Pembayaran kredit sekarang masih tergolong lancar," katanya.
Hanya, ditambahkan Sekretaris Perusahaan Mandiri, Nimrod Sitorus, dalam penjelasan tertulisnya, "Memang betul ada permintaan tambahan kredit, antara lain karena adanya perubahan nilai mata uang rupiah terhadap euro, yang saat ini masih dalam proses evaluasi."
Seorang pejabat Mandiri membisikkan, sejak tiga pekan lalu Domba Mas telah kembali mengangsur utang. Cuma, belum jelas apakah cicilan itu untuk masa satu bulanan atau tiga bulanan. "Kalau bulanan, berarti bulan depan kreditnya masuk kategori lancar lagi. Tapi, kalau tiga bulanan, ya baru tiga bulan lagi dihitung kategori lancar," ujarnya.
Habil Marati pun membantah kreditnya bermasalah. "Saya memang mendapat kredit dari Bank Mandiri, tapi nilainya kecil. Tak sampai Rp 300 miliar dan masih lancar," kata anggota Komisi Perbankan DPR itu. Sebagai pengusaha, menurut Habil, wajar-wajar saja jika dia mendapat pinjaman.
Di luar urusan dinas, Habil mengaku telah lama menjadi karib Neloe. "Saya sudah dekat, jauh sebelum dia menjadi Direktur Utama Mandiri," ujarnya. Kebetulan, mereka lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Namun, Habil menepis tuduhan bahwa faktor persahabatan itulah yang telah memuluskan kucuran kredit ke perusahaannya. "Kedekatan saya dengan dia murni pertemanan," ujar Direktur PT Batavindo Kridanusa itu, "Sebagai bankir, dia juga akrab dengan banyak politikus lainnya."
Sekretaris Perusahaan Mandiri, Nimrod Sitorus, juga membenarkan pemberian pinjaman ke Habil itu. Menurut dia, kredit dikucurkan untuk membiayai proyek petrokimia di Cirebon, yang pabriknya kini telah mulai berjalan, serta penyelesaian kewajibannya berjalan lancar. "Saat ini kami juga sedang memproses pemberian kredit untuk proyek pabrik cokelat di Sulawesi Tenggara," Nimrod menjelaskan.
Lain Habil, lain lagi Oesman Sapta. Kepada mingguan ini, Oesman membantah memiliki sangkutan kredit dengan Mandiri. "Saya tak punya utang sepeser pun ke Bank Mandiri," ujar pengusaha hutan yang juga menjabat Presiden Komisaris Lion Air itu.
Sebagai teman, kata Oesman, ia malah merasa kerap dirugikan kebijakan Neloe. Sewaktu Mandiri menjual saham, misalnya, ia tak boleh ikut memesan. "Padahal saya kan mau untung juga," katanya. Dalam soal perkawanan itu, dia mengaku tak cuma bersahabat karib dengan Neloe, tapi juga berhubungan erat dengan anak-anak sang Direktur Utama Mandiri. "Kalau anaknya masuk partai saya, apa salahnya?" Oesman balik bertanya.
Namun, dalam penjelasan tertulisnya, Nimrod Sitorus terang-terang menyatakan Mandiri memang pernah mengucurkan kredit untuk proyek properti Oesman di Bali. Dan angsuran bunga kreditnya sekarang tertunggak karena penjualan properti terganggu akibat peristiwa bom Bali. "Tapi nilai agunannya masih melampaui jumlah kredit," demikian ditulis Nimrod.
Mewakili Neloe, Nimrod juga menjelaskan kucuran kredit kepada Oesman tak terkait dengan keikutsertaan Novan di Partai Persatuan Daerah. Pinjaman telah disetujui sebelum Novan menjadi anggotanya, dan kini, "Novan telah keluar dari partai itu."
Nimrod menegaskan, Oesman dan Habil adalah pengusaha yang kebetulan saja merangkap sebagai politikus. Selain mereka, katanya menegaskan, "Bank Mandiri juga membiayai politikus lainnya, tapi semua berdasarkan pertimbangan bisnis."
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Thomas Hadiwinata, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo