Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KREDIT macet di sistem perbankan negeri ini bak virus yang tetap ngendon di tubuh manusia, meski sudah dibombardir dengan berbagai antibiotik. Pemerintah, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), telah menghabiskan dana ratusan triliun rupiah untuk membersihkan neraca perbankan dari kredit macet. Kini penyakit yang sama mulai berjangkit lagi.
Seperti diumumkan Bank Indonesia beberapa waktu lalu, rasio kredit macet (non-performing loan) hingga triwulan ketiga tahun ini sudah mencapai 8,3 persen. "Peningkatannya sudah sampai pada titik di mana perbankan tidak bisa lagi menurunkan kredit macetnya," kata Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI.
Ekonom Indef, Dradjad H. Wibowo, memberikan data yang mendukung kekhawatiran Burhanuddin. Untuk periode Januari-Mei, setiap satu persen kenaikan kredit hanya akan menaikkan rasio kredit macet 0,75 persen. Namun, jika periode perhitungannya digeser satu bulan saja menjadi Februari-Mei, angkanya membengkak hampir dua kali lipat, menjadi 1,37 persen. Artinya, kualitas kredit cenderung merosot. "Ini mencerminkan tanda awal perbankan mulai ceroboh," ujarnya.
Kenyataan ini tentu menyedihkan. Sebab, untuk membereskan kerusakan perekonomian akibat kecerobohan perbankan sebelumnya, pemerintah harus menguras kocek hingga Rp 600 triliun lebih, atau hampir dua kali lipat dari anggaran belanja negara tahun ini yang mencapai Rp 377 triliun lebih.
Lebih ironis lagi, seperti diungkapkan seorang mantan pejabat teras BPPN, peningkatan kredit macet ini salah satunya adalah akibat aksi obral BPPN. Parahnya lagi, kebanyakan aset busuk itu dibeli lagi oleh pemilik lama dengan bantuan bank yang telah disehatkan oleh pemerintah. Setelah membeli kredit sendiri dengan harga sangat murah dari BPPN, para pengusaha bermodal dengkul itu minta kredit lagi untuk proyek yang sama dengan nama perusahaan baru.
"Bank yang sudah direkapitalisasi itu juga yang sekarang memberikan kredit," kata Dradjad sambil menyebut contoh sebuah bank pemerintah yang gemar membiayai debitor bandel membeli kredit dari BPPN. Ini semua, menurut dia, bisa terjadi karena "perubahan" fungsi BPPN. Semula, lembaga ini didesain untuk merestrukturisasi aset bobrok agar kembali sehat. Tapi belakangan fungsinya berubah hanya seperti tukang obral.
Deputi Kepala BPPN Bidang Dukungan Kerja dan Administrasi BPPN, Junianto Tri Prijono, mengakui banyak aset yang sengaja dijual apa adanya dengan pertimbangan waktu dan biaya penyehatan. "Bedanya enggak akan banyak kalaupun direstrukturisasi," ujarnya. Toh, menurut dia, yang dijual ke perbankan itu merupakan aset yang sudah relatif kecil risikonya dan harganya sangat murah. Jadi, kalaupun dibilang rugi, itu cuma di atas kertas. "Riilnya tidak ada uang yang hilang," kata Junianto lagi.
Soal harga obral ini dibenarkan Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk., I Wayan Pugeg. Cuma, di mata dia, pembelian aset kredit dari BPPN sebesar Rp 4,6 triliun pada tahun lalu justru akan menambah kekuatan Bank Mandiri, "Karena harganya cuma US$ 15-20 sen per satu dolar nilai aset." Selain itu, Pugeg pun menegaskan kenaikan rasio kredit macet di banknya bukanlah akibat pembelian aset bobrok di BPPN.
Bank sentral sendiri memang belum memastikan apakah pembelian aset bermasalah BPPN menjadi biang keladi kenaikan rasio kredit macet perbankan. Tapi Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman H. Soemantri, telah mewanti-wanti, "Itu bisa jadi salah satu pemicunya."
Begitu pula Direktur Utama BNI, Saifuddien Hasan. Sependapat dengan Maman, Saifuddien pun melihat bukan tak mungkin pembelian aset BPPN akan menyumbang kenaikan kredit macet, termasuk di banknya sendiri. Sebabnya, di BPPN ada dua tipe kredit macet. Pertama, kredit macet yang disebabkan oleh risiko bisnis. Kedua, yang memang semata-mata disebabkan para debitor yang punya karakter sebagai tukang kemplang. "Kalau tipe kedua ini yang dibeli bank, ya kemungkinannya akan tetap macet," Saifuddien menjelaskan.
Y. Tomi Aryanto
Kredit Macet di Bank Peserta Rekapitalisasi*
Bank Mandiri
NPL gross 7,43%
NPL nett 2%
LDR, rasio kredit atas tabungan 35,38%
BNI
NPL gross 5,71%
NPL nett 3,54%
LDR, rasio kredit atas tabungan 41,18%
BCA
NPL gross 2,41%
NPL nett _
LDR, rasio kredit atas tabungan 21,7%
BRI
NPL gross 6,59%
NPL nett 3,41%
LDR, rasio kredit atas tabungan 58,16%
BTN
NPL gross 4,97%
NPL nett _
LDR, rasio kredit atas tabungan 57,48%
Bank Danamon
NPL gross 2,77%
NPL nett _
LDR, rasio kredit atas tabungan 53,36%
Bank Lippo
NPL gross 12,31%
NPL nett _
LDR, rasio kredit atas tabungan 23,68%
Bank Permata
NPL gross 16,5%
NPL nett _
LDR, rasio kredit atas tabungan 36,20%
* Data sampai 30 Juni 2003
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo