Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman tergusur ternyata tidak hanya menghantui para pemukim liar di Jakarta. Pejabat yang merangkap sebagai komisaris di perusahaan negara juga dibayangi ancaman serupa. Pasalnya, Kantor Menteri Negara BUMN kini sedang giat memisahkan fungsi operator dan regulator di perusahaan negara.
Tuntutan agar pejabat tidak merangkap jabatan di BUMN kembali marak setelah lokir pejabat di Pertamina. Satu yang paling disorot adalah jatuhnya tampuk komisaris utama perusahaan berlambang kuda laut itu ke genggaman Laksamana Sukardi, Menteri Negara BUMN. Tak kurang dari Wakil Presiden Hamzah Haz pun turut mengomentari posisi baru Laksamana. "DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan bisa saja meninjau kembali kebijakan itu."
Ramai-ramai menggugat tradisi yang subur di zaman Orde Baru ini ditengarai terkait dengan perebutan sumber dana menjelang pemilu. Bara api kian besar terkipasi oleh para pejabat BUMN yang tergusur, demikian dugaan seorang pejabat Kementerian BUMN yang enggan disebut namanya.
Namun, belakangan ini para pejabat Kementerian BUMN justru yang lebih tangkas menggocek bola liar rangkap jabatan. Maklum, aturan mengenai siapa-siapa saja yang diharamkan menjadi komisaris perusahaan negara bisa ditafsirkan secara berbeda.
Pasal 33 Undang-Undang No. 19 tentang BUMN hanya menyebut bahwa komisaris tidak boleh dirangkap oleh mereka yang memiliki jabatan sebagai anggota direksi BUMN, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, atau jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Maka, pekan lalu Direktorat Jenderal Pemanfaatan Energi Listrik, Luluk Sumiarso, harus merelakan kursi Komisaris Utama Perusahaan Listrik Negara beralih ke Andung Nitimihardja. Kendati Luluk mengakui adanya benturan kepentingan, penggantiannya tak urung menyulut cerita "udang" di balik rotasi. Pasalnya, Luluk selama ini dikenal tidak akur dengan direksi PLN.
Fabby Tumiwa, Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring, mengaitkan pergantian Luluk yang mendadak dengan penentangannya terhadap pembatalan kenaikan tarif listrik, yang semula dijadwalkan pada triwulan keempat 2003.
Usai Luluk, giliran Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Djoko Darmono, dan Inspektur Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Endro Utomo Notodisuryo, yang harus melepaskan jabatan mereka di jajaran Komisaris Perusahaan Gas Nasional.
Selain tiga nama di atas, masih ada beberapa pejabat lain yang segera menyusul. Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Telekomunikasi, Pertambangan, dan Industri Strategis, Roes Aryawijaya, menyebut nama Direktur Jenderal Departemen Pos dan Telekomunikasi, Djamhari Sirat, dan Direktur Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Wimpie S. Tjetjep.
Djamhari kini merangkap sebagai Komisaris PT Telkom, sedangkan Wimpie komisaris di PT Aneka Tambang. Djamhari, yang dikabarkan akan tergusur, menanggapi ringan berita itu. "Dari jauh-jauh hari saya sudah mengajukan surat permintaan mundur," ujarnya.
Legowonya mereka yang akan diganti tak menyurutkan sejumlah pihak menggugat kebijakan kantor Laksamana. Masalahnya, pejabat yang dinilai memiliki benturan kepentingan hanya dibatasi pada pejabat yang memainkan fungsi regulator. Sementara itu, pejabat dari Kementerian BUMN tidak diutak-atik.
"Kami ini mewakili pemegang saham," ujar Bacellius Ruru, Sekretaris Menteri Negara BUMN yang juga merangkap sebagai komisaris Telkom. Alasan senada juga terlontar dari mulut Roes saat posisinya sebagai Komisaris Pertamina dipertanyakan.
Apakah dengan itu berarti pejabat kantor BUMN lantas steril dari benturan kepentingan? "Belum tentu," kata seorang pejabat Departemen Keuangan. Sejarah menunjukkan bahwa pejabat pemerintah jarang bisa menjadi pengawas yang baik ketika menjabat komisaris di perusahaan negara, karena mereka diberi gaji besar. "Jauh lebih besar dibanding pendapatannya sebagai pegawai negeri."
Akhirnya, pejabat pemerintah bukannya malah mengawasi, tapi justru merasa menjadi benar-benar warga BUMN. Dan dalam banyak kasus, mereka lebih membela kepentingan manajemen BUMN daripada pemerintah sebagai pemegang saham. Pejabat itu tidak memberi contoh secara spesifik. "Tapi, lihat saja, hampir separuh lebih dari total biaya krisis Rp 600 triliun dihabiskan untuk membereskan BUMN."
Soal besarnya gaji sebagai komisaris, diakui oleh Djamhari. Kendati menolak menyebut angka, dia mengaku penghasilannya sebagai Komisaris Telkom memang cukup besar. "Saya tidak munafik untuk mengakui bahwa gaji dari situ cukup besar," ucapnya.
Sekretaris Wakil Presiden, Prijono Tjiptoherijanto, yang juga menjabat Komisaris Utama PT Jamsostek, menyebut penghasilan komisaris BUMN bisa mencapai Rp 40 juta per bulan. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan eselon I sekalipun.
Dengan alokasi gaji sebesar itu, ekonom Faisal Basri menyarankan agar pemerintah menyerahkan jabatan komisaris ke orang yang benar-benar mengerti bisnis BUMN. "Daripada diberikan ke pejabat yang tidak punya cukup waktu untuk benar-benar mengawasi."
THW, Dara Meutia Uning, Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo