Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Satu yang Pasti di Tengah Gejolak

Ekonomi global terombang-ambing kebijakan moneter Amerika Serikat dan varian baru virus penyebab Covid-19. Pasar obligasi pemerintah RI menyimpan potensi bahaya.

11 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Teka-teki kebijakan The Federal Reserve.

  • Risiko stagflasi justru mengintai.

  • Bahaya baru ketika investor asing hengkang.

DATA terbaru inflasi di Amerika Serikat makin mengkhawatirkan. Data inflasi tahunan periode November 2021 yang terbit pada Jumat, 10 Desember lalu, mengungkapkan angka tertinggi yang belum pernah terlihat di Amerika Serikat sejak 1982, yakni 6,8 persen. Angka ini naik cukup tajam dari inflasi tahunan Oktober yang sebesar 6,2 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inflasi setinggi ini bakal membuat The Federal Reserve kian terdesak untuk bertindak. Ketua The Fed Jay Powell, dalam testimoninya di depan Senat Amerika, sudah menyampaikan bahwa menjinakkan inflasi akan menjadi prioritas kebijakannya. Tapi pernyataan itu tentu tak bisa menjadi janji politis belaka tanpa aksi konkret.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dua kebijakan The Fed yang bisa menjadi respons peredam inflasi. Pertama, segera mengurangi suntikan likuiditas ke pasar atau melakukan tapering. Kedua, lebih cepat menaikkan suku bunga. Tanpa dua kebijakan itu, inflasi bisa makin tak terkendali.

Persoalannya, para ekonom ataupun analis di pasar selalu punya perspektif lain dalam menimbang persoalan. Pertanyaan kuncinya terletak pada sebab utama inflasi tinggi itu. Banyak ekonom yang ragu bahwa banjir uang yang begitu melimpah—The Fed menyuntikkan US$ 120 miliar per bulan sejak pandemi Covid-19 meledak—dan suku bunga yang amat rendah—The Fed mempertahankan bunga mendekati nol persen—adalah sebab utama inflasi. Inflasi melonjak bukan semata karena ekspansi moneter.

Justru faktor nonmoneter lebih berperan mendorong inflasi. Ada gangguan pada rantai pasokan di seluruh dunia karena pandemi. Ada lonjakan biaya logistik dan pengapalan. Di negara maju juga terjadi kelangkaan tenaga kerja ketika ekonomi kembali menggeliat. Tak mudah merekrut kembali pekerja yang hilang ketika bisnis tutup. Semua persoalan ini bermuara pada naiknya harga.

Nah, jika faktor nonmoneter sebetulnya lebih berperan mendongkrak inflasi, apakah mungkin obatnya hanya kebijakan moneter The Fed? Jika The Fed benar-benar mempercepat tapering dan kenaikan suku bunga, pasar finansiallah yang menderita karena muncul guncangan besar di mana-mana.

Berikutnya, pertumbuhan ekonomi akan mengerut. Hasil akhirnya lebih mengerikan ketimbang inflasi: stagflasi. Inflasi tidak merosot, karena salah cara mengobatinya. Pada saat yang sama, inflasi tinggi justru datang bersamaan dengan pertumbuhan yang stagnan.

Perdebatan yang tak kunjung tuntas ini membuat pasar terus terombang-ambing. Ketakutan terhadap tapering dan kenaikan bunga, setelah testimoni Powell di Senat, sempat membuat harga saham jatuh di mana-mana, juga di Indonesia. Pekan ini, pasar kembali berbalik, harga saham melonjak lagi.  

Berubah-ubahnya informasi tentang berbahaya atau tidaknya varian Omicron tentu ikut menambah gejolak pasar. Di seluruh dunia pemerintah juga terombang-ambing, tak yakin harus mengambil kebijakan apa. Di Indonesia, pemerintah malah tiba-tiba berubah pikiran, membatalkan pembatasan ketat yang seyogianya berlaku selama masa liburan Natal dan tahun baru.

Kendati demikian, di tengah gejolak pasar dan berubah-ubahnya respons pemerintah, ada satu fenomena yang terus bergerak satu arah secara konsisten. Investor asing pelan-pelan terus keluar dari obligasi pemerintah RI. Per 8 Desember 2021, dana asing yang tertanam di obligasi pemerintah tinggal Rp 903 triliun. Ini sudah lebih rendah dari titik nadir sebesar Rp 924 triliun yang tercatat ketika kepanikan pasar meledak pada April 2020.

Selain Bank Indonesia, perbankan nasional mengambil alih peran asing sebagai pemilik utama obligasi pemerintah RI. Per 8 Desember 2021, secara gross kepemilikan BI mencapai Rp 1.064 triliun. Sedangkan perbankan nasional menguasai Rp 1.595 triliun. Sebagai perbandingan, pada Januari 2020 perbankan nasional hanya menaruh Rp 740 triliun di obligasi pemerintah.

Di satu sisi, ketergantungan pada asing kian berkurang. Tapi, di sisi lain, bank-bank kita makin terpapar risiko besar jika harga obligasi pemerintah RI rontok. Kondisi fiskal pemerintah kini makin kuat terkoneksi dengan kesehatan bank. Rontoknya kredibilitas fiskal pemerintah dengan mudah akan menyeret jatuh perbankan kita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus