Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menunda pemberlakuan regulasi PLTS Atap.
Penundaan peraturan PLTS Atap mengganggu iklim investasi.
Target bauran energi baru dan terbarukan sulit tercapai.
HARAPAN pemerintah untuk mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan guna memangkas ketergantungan pada energi fosil akan sulit tercapai. Tumpang-tindih regulasi yang berpotensi menghambat iklim investasi di sektor tersebut masih banyak terjadi dan tidak kunjung dibereskan. Salah satu contoh amburadulnya regulasi adalah aturan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sejatinya sudah lama ingin mendorong pembangunan pembangkit listrik dengan energi hijau tersebut. Pada 31 Agustus 2021, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif bahkan telah menerbitkan peraturan tentang PLTS Atap yang terhubung dengan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun aturan yang sudah diundangkan tersebut tidak bisa dieksekusi. Penyebabnya, regulasi PLTS Atap berbenturan dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Peraturan itu diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2021 dan diundangkan 6 Agustus 2021. Sungguh aneh bin ajaib, peraturan menteri yang dibahas melalui rapat kabinet bisa tidak sejalan dengan peraturan presiden.
Bubar jalannya aturan PLTS Atap tak lepas dari penolakan Perusahaan Listrik Negara, yang diaminkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kementerian Keuangan khawatir penerapan regulasi tersebut akan menimbulkan kerugian besar bagi PLN dan bisa berbuntut munculnya risiko fiskal bagi negara. Ketakutan berlebihan itu semestinya dikemukakan saat pembahasan, bukan setelah disahkan.
Penolakan PLN atas regulasi PLTS Atap juga semata hanya untuk mengamankan kepentingan para pemasok listrik swasta, yang mayoritas menggunakan energi fosil. Padahal, sebagai perusahaan negara, PLN wajib mendukung langkah Kementerian Energi memberikan insentif kepada pelaku bisnis agar pengembangan pembangkit ramah lingkungan makin masif.
Keputusan pemerintah mencabut kembali peraturan PLTS Atap, dengan dalih akan membahas kembali bisa mengganjal minat investor untuk masuk ke bisnis tersebut. Langkah mundur tersebut makin menambah panjang daftar ketidakjelasan regulasi dalam mendorong transisi energi. Sebelumnya, peraturan presiden mengenai tarif listrik energi baru dan terbarukan dari pengembang listrik swasta (independent power producer) yang telah dibahas sejak 2019 juga tidak jelas ujung-pangkalnya hingga sekarang.
Namun, yang pasti, kekacauan regulasi ini bisa menjadi kabar memalukan bagi Indonesia di dunia internasional. Sebab, Presiden Jokowi baru saja mengumbar komitmen untuk menekan tingkat emisi karbon dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26) di Glasgow pada November lalu.
Salah satu janji itu adalah mengurangi emisi dengan transisi energi, dari fosil ke energi hijau. Targetnya, bauran energi baru dan terbarukan nasional bisa mencapai 23 persen pada 2025 dan menuju karbon netral (net zero emission) pada 2060. Target besar yang kemungkinan besar sulit tercapai, mengingat bauran energi terbarukan pada 2020 baru mencapai 11,20 persen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo