Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saya hanya mengurus moneter

Wawancara tempo dengan menteri keuangan jb sumarlin tentang moneter dan suku bunga bank.

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak mobil yang parkir di halaman gedung kuno di Jalan Lapangan Banteng Timur, Jakarta, Senin sore pekan ini. Tapi di tingkat tiga bangunan itu, di sebuah ruangan yang cukup besar dan ditata apik, masih terdengar kesibukan orang mengetik, dan dering telepon yang memecah kesunyian. Siapa lagi penghuni ruangan itu kalau bukan J.B. Sumarlin, menteri keuangan yang paling sering disebut-sebut sejak dua pekan silam. Hingga menjelang magrib, menteri yang bertubuh kecil, yang sempat membuat kaum spekulan dolar kecele, masih berbincang-bincang dengan Direktur Utama BRI, Kamardy Arief. Mudah diduga, yang dibicarakan oleh kedua pejabat keuangan itu adalah perihal suku bunga deposito yang meroket, yang berhasil menyedot ratusan juta dolar yang diparkir di bank-bank Singapura kembali pulang kandang. Apakah suku bunga yang hingga akhir pekan lalu masih setinggi 26-30% setahun untuk simpanan deposito berjangka 1-3 bulan akan bertahan lama? Menteri Sumarlin, yang hari itu mengenakan setelan safari coklat muda, tak segera menjawab. "Silakan minum teh dulu," katanya kepada tiga wartawan TEMPO yang mewawancarainya sore itu. Beberapa petikan: Saya yakin suku bunga yang kelewat tinggi sekarang perlahan-lahan akan turun lagi. Bank Bumi Daya, misalnya, hari ini sudah turun suku bunganya dengan 2% dari 26% untuk deposito berjangka tiga sampai enam bulan. Sedang untuk yang setahun turun menjadi 22%. Jadi, Anda yakin tindakan oleh BBD itu akan segera diikuti oleh bank-bank pemerintah yang lain. Ya, kita lihat saja perkembangannya. Seperti saya katakan, saya yakin tingkat suku bunga yang terlalu tinggi itu tak akan berlangsung lama. Mengapa Anda begitu yakin? Ya, lihat saja, dalam dua minggu ini, uang yang didepositokan di luar negeri sudah banyak yang kembali. Baik yang disimpan berupa dolar, yen, maupun DM. Ya, mereka menarik kembali uangnya karena tergiur oleh suku bunga yang tinggi. Bagaimana kalau bunga turun lagi, apa tidak akan lari ke luar lagi? Saya kira kok tidak. Tingkat suku bunga di sini akan tetap menarik pemilik uang selama dia lebih tinggi dari suku bunga deposito mata uang asing. Tapi yang pasti, tindakan devaluasi yang mereka perkirakan akan terjadi, ternyata, tidak ditempuh oleh Pemerintah. Apalagi Presiden sendiri sudah menyatakan begitu. Ha ... ha ... ha. Jadi, kaum spekulan banyak yang kecele. Siapa saja sih mereka, Pak? Wah, ya mereka yang punya duit banyak. Ya, pengusaha, bahkan tak sedikit eksportir yang memborong dolar bukan untuk mengimpor, tapi untuk menyimpan uang di luar negeri. Sejak kapan rush memborong dolar itu terjadi? Sejak Januari lalu. Dan semakin menjadi-jadi di bulan Februari. Mereka rupanya merasa yakin akan terjadi tindakan devaluasi rupiah. Jadi, mereka main borong dolar dengan tujuan akan menarik kembali uangnya ke Indonesia kalau Pemerintah melakukan tindakan devaluasi. Dari mana angin santer devaluasi itu bertiup? Apa karena Perang Teluk? Saya ndak tahu dari mana datangnya isu tentang devaluasi. Bisa jadi mereka perkirakan harga minyak akan anjlok lagi seperti di tahun 1986. Ketika itu harga minyak yang dalam APBN diperkirakan rata-rata akan mencapai 25 dolar sebarel, tiba-tiba memang turun sekali hingga mencapai sekitar 11 dolar, bah- kan pernah 9 dolar per barel. Hingga Pemerintah terpaksa menempuh tindakan drastis berupa devaluasi rupiah sebanyak 45% pada bulan September 1986, yang disertai dengan serangkaian langkah deregulasi untuk mendorong ekspor nonmigas. Nyatanya, harga minyak setelah selesainya Perang Teluk masih lumayan, belum sampai di bawah harga patokan yang rata-rata 19 dolar per barel dalam RAPBN 1991/92. Bukankah di tahun 1987 melalui tindakan yang dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I, sudah Anda buktikan bahwa Pemerintah tak begitu suka menempuh tindakan devaluasi lagi. Itulah. Ketika itu Pemerintah mencoba melakukan beberapa tindakan untuk mengerem arus uang yang lari keluar negeri, antara lain dengan menaikkan suku bunga deposito sampai dua kali. Tapi arus capital flight yang bermula di bulan Desember 1986 malah makin kencang sampai di pertengahan tahun 1987. Toh Pemerintah tak mau melakukan tindakan devaluasi. Sebab, tak akan ada yang diuntungkan, kecuali ya kaum spekulan tadi. Kalau ada devaluasi, bisa Anda bayangkan berapa jadinya cicilan utang luar negeri yang harus kita tanggung dengan meningkatnya nilai beberapa mata uang kuat seperti yen dan DM terhadap dolar. Maka, sebagai menteri keuangan ad interim ketika itu, setelah mendapat persetujuan dari Presiden, saya melakukan tindakan untuk menarik kembali uang bank-bank negara yang disimpan di luar negeri. Toh mereka tidak kapok, dan sampai sekarang pun kabarnya masih ada orang yang suka memborong dolar dan DM. Ya, trauma tahun 1986 rupanya belum hilang. Mimpi buruk ketika itu rupanya masih membuat mereka yang punya uang kurang percaya kepada Pemerintah. Dan Pemerintah menyadari bahwa orang kini memang bisa bermain valas. Apa alatnya? Ya, itu tadi: kelebihan uang di masyarakat. Adanya likuiditas yang berlebihan di masyarakat yang memungkinkan orang suka berspekulasi. Apa tidak ada cara lain yang kurang bikin kaget, selain menarik dana BUMN? Alat yang efektif memang belum tersedia. Memang Pemerintah sejak tahun 1986 mencoba menempuh cara-cara lain, misalnya dengan mengeluarkan SBI dan SBPU. Tapi hingga sekarang, tindakan yang paling ampuh untuk mengatasi spekulasi tadi adalah dengan jalan menyedot dana BUMN yang ada di bank-bank pemerintah, untuk dibelikan SBI. Kabarnya, ada juga duit BUMN yang ditarik dari bank swasta. Benar. Sebagian kecil dana BUMN memang disimpan di beberapa bank swasta. Jumlahnya di bawah Rp 1 trilyun. Itu juga ikut ditarik untuk dibelikan SBI. Bisakah Anda gambarkan terjadinya main borong dolar itu sehingga Pemerintah merasa perlu segera turun tangan. Coba kita perhatikan selama bulan Desember tahun lalu, masih terdapat surplus yang cukup besar, sekitar 800 juta dolar. Tapi pada Januari lalu mulai terjadi defisit 500-600 juta dolar netto. Lalu Februari makin minus. Pernah dalam sehari di bulan Februari terjadi transaksi sebesar 106 juta dolar. Padahal, normalnya hanya 10 sampai 15 juta dolar sehari. Ini, seperti saya katakan tadi, makin ramai dengan adanya spekulasi jatuhnya harga minyak. Kalau spekulasi ini terus dibiarkan, bisa menghabiskan cadangan devisa negara. Menurut hitungan Bank Indonesia, dana netto yang ditarik sebenarnya tidak seberapa. Tapi BDN adalah yang pagi-pagi sudah menaikkan tingkat suku bunga depositonya menjadi 27%. Apa tidak kelewat tinggi? Mungkin tindakan begitu karena panik saja. Makanya, saya bilang, jangan dilihat dari dana Rp 8 trilyun yang ditarik ke BI. Tapi berapa dana yang kemudian dikembalikan ke SBPU, termasuk yang ikut lelang membeli SBPU. Tapi bank-bank yang kena tarik uangnya, kan merasa perlu cari uang untuk menutupnya. Deregulalsi sampai sekarang masih pincang. Masih lebih banyak di sektor moneter. Sementara itu, deregulasi di sektor lain seperti impor, perhubungan, industri, berjalan perlahan hingga tak menopang sektor moneter. Ya, tidak semuanya begitu. Begini ya, bicara soal moneter berarti bicara soal pembiayaan. Perannya besar dan menyangkut berbagai sektor pembangunan. Memang dia tak bisa berjalan sendiri. Tapi perlu diimbangi dengan sektor riil. Sementara di sektor riil itu deregulasinya masih lamban. Apa sektor riil yang masih besar subsidinya itu berada di luar kendala otoritas moneter? Kalau itu jangan saya yang ditanya. Saya ini kan hanya mengurus soal moneter. Ha ... ha ... ha .... Kalau sektor moneter yang terus-menerus diotak-atik, bisa-bisa kelak akan terjadi Gebrakan Sumarlin yang ketiga? Soalnya kan begini. Investasi itu banyak jumlahnya, dan sudah dibiayai. Tapi kita kan sering terbentur dengan bottle necks. Ambil saja listrik yang ternyata kurang. Coba saja hitung berapa banyak pabrik yang tidak kebagian alokasi listrik. Padahal, duitnya sudah telanjur mereka keluarkan sementara produknya belum ada. Jadi, kelak, sekitar akhir 1992, menurut Pak Ginandjar, diharapkan sudah ada tambahan listrik yang cukup banyak. Ada yang mengkritik, tindakan Pemerintah selama ini hanya mengobati gejalanya saja, bukan mengobati penyakitnya. Betulkah? Saya tahu siapa yang omong begitu. Saya juga sudah bertemu orangnya. Tapi coba tunjukkan apa alternatifnya yang bisa mengurangi atau menangkal atau mencegah spekulasi? Fikri Jufri, Yopie Hidayat, dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus