KAU yang mulai, kau yang mengakhiri. Ini memang salah satu syair dari sebuah lagu dangdut yang pernah populer. Hanya saja, istimewanya, kalimat ini juga meluncur dari bibir Menteri Keuangan Sumarlin ketika diwawancarai TEMPO, Senin pekan ini. Maksudnya? Ternyata sangat sederhana. Sumarlin hanya menunjukkan betapa tingkat suku bunga deposito diturunkan sendiri oleh para bankir. Padahal, sepekan sebelumnya, mereka pulalah yang mulai menaikkan. Atau dengan kata lain, Menteri ingin menyampaikan bahwa pemerintah pada dasarnya tidak menginginkan adanya lonjakan suku bunga deposito maupun kredit. Alasannya, sekalipun ada penarikan dana BUMN yang Rp 8 trilyun, toh yang disimpan BI tak lebih dari Rp 1 trilyun saja. Makanya, tak perlu heran kalau bunga deposito -- yang ditawarkan bank-bank pemerintah dan beberapa puluh bank swasta, pekan lalu, yang di atas 27% -- pekan ini mulai melorot ke asal. Beberapa bank pemerintah, seperti BRI, sudah melakukan penurunan 4-5%, dan BBD melakukan penurunan (untuk deposito 1 sampai 3 bulan) sebesar 2%. Dari perkembangan suku bunga deposito saja, jelas bahwa likuiditas bank hingga awal pekan ini masih ketat. Artinya, penderitaan yang dialami pengusaha masih akan berlanjut hingga batas waktu yang sulit ditentukan. Apalagi derita akibat tight money policy (TMP) sudah berlangsung sejak pertengahan tahun lalu. "Akibatnya, banyak pengusaha yang siap masuk ke TMP. Maksud saya, masuk ke taman makam pengusaha," seloroh Enggartiasto Lukito, Ketua I Real Estate Indonesia, yang menjabat sebagai Direktur PT Bangun Cipta Pratama. Memang, kalangan developer merupakan salah satu sektor yang paling merasakan pahitnya TMP. "Beberapa saat ini -- entah berapa lama -- tidak akan ada transaksi rumah sama sekali, mewah maupun sederhana. Dan dengan sendirinya, kami pun akan menghentikan pembangunan rumah-rumah baru," kata Enggar. Tapi yang paling terpukul oleh kebijakasanaan ini adalah developer di daerah. Ketika orang kota banyak yang memborong rumah (awal 1990), dan developer di kota-kota besar menikmati panen, developer di daerah sudah menjerit lantaran kurangnya daya beli. Bahkan ada rumah tipe C yang dijual 75% dari harga patokan. Keadaan seperti itu, kata Enggar, terjadi di 12 provinsi di luar DKI Jakarta. Dan akibatnya, sudah bisa dipastikan bahwa pembangunan rumah, yang oleh pemerintah ditargetkan 80 ribu unit untuk tahun 1990-91, tidak akan tercapai. Sebab, hingga saat ini, yang dibangun baru 53 ribu unit, sementara waktu hanya tinggal sebulan (hingga akhir Maret). Maka, wajar kalau Mohamad S. Hidayat, Ketua Umum REI, berharap agar pemerintah segera melonggarkan rupiah. Sebab, kalau situasi seperti sekarang dibiarkan, "80% anggota REI, dari kelas menengah bawah, akan gulung tikar," katanya kepada TEMPO, ketika melantik pengurus REI Bali, pekan lalu. Apa pun alasan dari developer, harapan untuk memiliki rumah mau tak mau harus ditunda. Apalagi BTN sebagai penyalur KPR pun ikut-ikutan mendongkrak suku bunganya. Kecuali tipe 21 yang masih tetap berbunga 12%, rumah-rumah di atas itu kini berbunga 28%. Lho kenapa? Bukankah kredit yang disalurkan saat ini merupakan dana yang diperoleh di saat sebelum bunga tinggi? "Wah, kalau tidak dinaikkan, nanti semuanya minta kredit ke sini. Bisa gawat, tuh," kata Mahfud Jakile, Dirut BTN, kalem. Ya, bagaimana tidak akan diserbu konsumen kalau bank-bank swasta memasang bunga KPR sampai 36%. Efek kemelut yang ditimbulkan TMP juga sangat dirasakan oleh kalangan tekstil dan garmen. Sebuah kabar bertiup, bahwa raja tekstil Daya Manunggal Group kelabakan mencari suntikan dana Rp 7 milyar. Padahal, konon, grup itu sudah menawarkan diri untuk membayar bunga 3,3% sebulan alias 39,6% setahun. Entah benar entah tidak. Kalau misalnya Daya Manunggal saja sudah kelabakan, bagaimana pula sulitnya keadaan pabrik tekstil yang lebih kecil? Dan ternyata memang parah. Seperti yang dituturkan Aminuddin, Ketua Umum Asosiasi Sekbertal. "Industri tekstil kini sudah kembali ke ekonomi biaya tinggi," katanya. Bahkan, diduga, ongkos produksi akan semakin meninggi apabila tarif listrik -- diperkirakan April 1991 -- dinaikkan. Ini bukan omong kosong, tampaknya Aminuddin sendiri mengaku sudah mendapat penawaran dari 12 pengusaha yang akan menjual pabrik tekstil dan garmennya. "Banyak yang akan bangkrut," katanya. Setelah tekstil, yang juga terkena getah pengetatan likuiditas adalah industri mobil. Seperti yang diberitakan TEMPO pekan lalu, stok mobil yang menumpuk di tangan perakit dan pedagang (sejak Desember lalu) kini diperkirakan mencapai sekitar 50 ribu unit. "Kami sudah memprediksi, akan terjadi penurunan penjualan yang drastis," kata Soebronto Laras, Dirut Indomobil Group yang mengageni Mazda, Suzuki, Volvo, Nissan, dan Hino. Soebronto juga menduga, situasi ketat ini akan berlangsung hingga tiga bulan di depan. Bahkan bukan mustahil lebih lama dari itu. "Tergantung akhir Maret nanti," katanya. "Kesakitan" serupa juga dirasakan Toyota Astra Motor, yang populer dengan Kijang dan Corolla-nya. Sejak November 1990, kata Rudiyanto Hardjanto (Presdir Toyota), omsetnya menurun sekitar 40%. Seperti di sektor perumahan, "Penurunan yang paling besar terjadi di daerah-daerah di luar Jakarta," katanya. Pedih, memang. Soalnya, baru tahun lalu, pemerintah mengimbau agar produsen mobil memenuhi permintaan konsumen yang meledak-ledak. Dan itu dipenuhi Toyota, yang menaikkan kapasitas produksinya dari 72.500 unit pada tahun lalu menjadi 90 ribu unit di tahun ini. Nah, ketika peningkatan sudah dilakukan dan karyawan sudah ditambah (kini ada 1.000 karyawan Toyota), malah muncul Gebrakan Sumarlin II. Padahal, awal tahun lalu, "saya berpikir, kalau inflasi bisa ditekan hingga di bawah dua digit, likuiditas akan dikendurkan," kata Rudiyanto. Lantas apa akal? Seperti halnya Soebronto, Rudiyanto pun siap menurunkan kembali jumlah produksinya. Rencananya, secara bertahap, Toyota akan memotong tingkat produksi sebesar 10%. "Ya, buat apa produksi kalau tidak bisa diserap pasar," kata Soebronto. Industri mobil, kata dia, bagaimanapun tidak akan berani bermain-main dengan stok, sebab ini menyangkut modal yang tidak kecil. Apalagi sektor ini juga terkait dengan puluhan, bahkan ratusan subkontraktor. Toyota Astra saja, contohnya, kini menampung hasil produksi dari 90 supplier lebih, yang karyawannya tak kurang dari 20 ribu orang. Singkat kata, yang dipikirkan oleh para perakit saat ini hanyalah efisiensi agar bisa survive. "Kami tidak lagi memikirkan margin," kata Rudiyanto. Hanya saja, yang perlu diketahui, tidak semua perakit mobil kelabakan. Pemegang merek yang tidak mengandalkan jalur kredit, alias lebih banyak bermain di transaksi tunai, tampaknya lolos dari dampak TMP. Contohnya, siapa lagi kalau bukan Imora Motor, yang mengageni sedan Honda. "Dagang kami sih lancar-lancar saja," kata Ang Kang Ho, bos Imora, enteng. Ini terjadi, selain karena tidak mengandalkan jalur kredit (80% lebih dijual tunai), juga lantaran Honda memiliki pasar sendiri. Menurut Ang, dengan hanya membuat sedan -- maksudnya tidak ikut-ikutan menjual mobil niaga -- Imora mampu menciptakan sikap fanatik di kalangan konsumennya. Bagaimana kalau benar terjadi devaluasi? "Kalau itu terjadi, seperti pengalaman yang sudah-sudah, pasar akan semakin rusak," kata Soebronto. Alasannya, karena terkait dengan sekian banyak komponen impor, dengan sendirinya harga jual pun akan melonjak, yang belum tentu diikuti oleh naiknya daya beli masyarakat. Jadi, benar kata Ang Kang Ho, "Terlalu pagi untuk membicarakan devaluasi." Apalagi Presiden sendiri sudah mem- bantahnya. Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, Sugrahetty Dyan K., Ivan Harris, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini