SALAH satu syarat utama untuk menjadi bankir adalah harus mempunyai saraf baja. Ini bukanlah petunjuk yang berlebihan. Terutama dewasa ini, manakala otorita moneter bisa terjun bebas -- kapan saja -- ke pasar uang. Gebrakan Sumarlin yang bukan menggebrak meja ini, sejak Juni 1987 hingga Februari 1991, sudah dilakukan dua kali. Penyebabnya hampir sama, yakni jumlah rupiah yang melimpah di masyarakat. Buntutnya muncul spekulasi untuk menubruk berbagai mata uang asing, terutama dolar. Persamaan lain ialah, Pemerintah mengatasi keadaan itu dengan melakukan kontraksi. Pengetatan yang dilakukan baru-baru ini, berupa penarikan dana 12 BUMN senilai Rp 8 trilyun, yang disusul dengan langkah men-SBPU-kan 75% dari jumlah tersebut (Rp 6 trilyun). Menurut Menteri Sumarlin, tindakan ini bersifat pencegahan. Sedangkan Gebrakan Sumarlin I pada tahun 1987 olehnya dinilai bersifat menyembuhkan. Ketika itu, sekali menggebrak -- dalam waktu kurang dari dua pekan -- Pemerintah telah men-SBI-kan dana giro dan deposito milik beberapa BUMN sebesar Rp 1,3 trilyun. Hanya saja, Gebrakan Sumarlin I (yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan ad interim) tidak disertai pem- belian SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). Langkah ini sengaja dilakukan untuk mematahkan spekulasi. "Sekaligus mengubah trend keluarnya uang menjadi masuk kembali," begitu alasan Sumarlin ketika itu. Ini bisa dimaklumi karena sebulan sebelum langkah kuratif dilakukan, orang memborong valas sampai senilai 1,8 milyar dolar. Padahal, normalnya pendolaran rupiah hanya berkisar antara 200 dan 400 juta dolar saja sebulan. Jelas, dari sudut tujuan, ada persamaan antara Gebrakan I dan II. Perbedaan yang mencolok justru tampak pada latar belakang. Dulu, langkah kuratif diambil sembilan bulan setelah Pemerintah melakukan devaluasi 45%. Dan harga minyak anjlok deras, dari US$ 28 lalu mendarat di titik paling rendah yakni US$ 8 per barel. Sebaliknya, Gebrakan Sumarlin II dilakukan tatkala devaluasi masih menjadi momok. Dan harga si emas hitam agak sedikit mengkhawatirkan karena menghadapi musim semi. Sekalipun begitu, karena cadangan minyak di negara maju konon tidak akan dilepaskan, dan kilang minyak Kuwait dan Irak juga masih akan lama baru bisa bekerja lagi, diperkirakan harga minyak Minas tetap berkisar sekitar harga patokan APBI, yakni US$ 19 per barel. Selain itu, sejumlah data di bawah ini bisa diperbandingkan. Uang yang beredar, akhir 1990 tercatat Rp 23,6 trilyun, atau naik sekitar 65 dibanding tahun 1989 yang cuma Rp 14 trilyun. Sementara itu, pada tahun 1987, uang yang beredar cuma sekitar Rp 13 trilyun. Lalu kebutuhan devisa impor 1990/91 sekitar 21,5 milyar dolar, dan utang 41,3 milyar dolar. Sedangkan pada tahun 1987 angka kebutuhan devisa jauh lebih kecil (untuk impor 13 milyar dolar, dan utang 3 milyar dolar). Akan halnya jumlah cadangan Pemerintah, dan inflasi di tahun anggaran yang berjalan ini, jelas lebih besar ketimbang tahun 1987/88. Inflasi 1987 hanya 8,9%, sedangkan tahun lalu 9,53%. Sementara itu, cadangan Pemerintah tercatat 8,1 milyar dolar untuk tahun 1990/91, dan 6,7 milyar dolar pada 1987/88. Terakhir bisa ditambahkan, sembilan bulan sebelum gebrakan 1987, sudah dilakukan devaluasi, sedangkan sepuluh bulan sebelum gebrakan 1991, Pemerintah secara konsekuen memberlakukan kebijaksanaan uang ketat. Namun, pada 1986, devaluasi segera disusul dengan penundaan proyek-proyek besar. Sesudah Gebrakan Sumarlin II, belum ada tanda-tanda bahwa proyek-proyek besar akan dibatalkan. Bahkan Senin pekan ini, ada upacara pemancangan tiang pertama pembangunan pabrik petrokimia Olefin Center di Cilegon yang investasinya konon mencapai Rp 1 trilyun. Budi Kusumah TABEL --------------------------------------------------------------- 1986 1991 --------------------------------------------------------------- Laju inflasi 8,9% 9,53% . Uang beredar Rp 13 trilyun Rp 23,6 trilyun ---------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini