KALAU saya lihat, ada tiga hal yang diperhatikan masyarakat, sampai mereka berkonklusi akan ada devaluasi. Pertama, menurut mereka harga minyak turun, dengan demikian Indonesia akan kekurangan devisa. Kemudian beredar perhitungan di masyarakat, yang mengatakan bahwa devisa kita masih cukup untuk tiga bulan impor. Padahal, mereka tahu bahwa impor meningkat dan ekspor turun. Kemudian, bank-bank mengalami kesulitan untuk meminjam dana dari luar negeri. Jadi, kesimpulan mereka, devisa kita pasti tidak cukup. Ini yang membawa mereka sampai pada kesimpulan tersebut. Mereka tidak punya data. Oleh karena itu, kita coba jelaskan apa-apa yang makro tadi. Beberapa dari mereka kadang-kadang tidak percaya. Mulai dari penjelasan biasa, sampai ke Gubernur BI, menteri-menteri, mereka tidak percaya sehingga akhirnya Pak Harto sendiri mengatakan, tidak ada devaluasi. Tapi begini ya, di sini para pakar sudah melihat bahwa dari segi makro tidak mungkin devaluasi. Jadi, memang sikap itu yang akan diambil Pemerintah. Saya kira yang perlu diyakinkan pada masyarakat adalah, devaluasi dalam arti yang dulu itu sudah dibuang dan diganti dengan depresiasi rupiah yang berlangsung terus. Sebenarnya itulah yang perlu diyakinkan. Devaluasi yang dulu itu, konsepnya sudah dibuang. Sudah kita tinggalkan. Kalau kita fair, yang namanya Gebrakan Sumarlin II sebetulnya tidak ada. Soalnya, tidak ada penarikan likuiditas besar-besaran. Yang ada hanya realokasi dana BUMN. Kontraksi (pengetatan) yang dialami bank-bank pemerintah hanya senilai Rp 400 milyar saja. Apa artinya ini dibandingkan dengan dana sebesar Rp 6 trilyun yang dikembalikan secara otomatis ke bank-bank yang duitnya diambil itu, melalui lelang khusus. Sisanya, 80% dari Rp 2 trilyun, melalui lelang SBPU. Dengan adanya SBPU, kita memperkuat kendali untuk mengontrol uang yang beredar. Sebab, pada waktu uang ketat, SBI sukar mencari pembelinya. Justru SBPU-lah yang lebih tepat. Makanya, pada 27 Februari lalu, kendali SBI dialihkan ke SBPU sehingga tali kendali ada di kita (maksudnya Bank Indonesia). Tahun depan, keadaannya akan lebih baik. Salah satu tujuan BI adalah menciptakan secondary money market. Kini pasar uang tidak berkembang karena kebijaksanaan uang ketat. Padahal, awal 1990, suku bunga SBI pernah dinaikkan mendekati market. Ada satu besaran yang harus dilampaui, agar SBI bisa marketable. Maka, kalau SBPU kita tingkatkan dari Rp 6 trilyun menjadi Rp 8 trilyun, itu sudah cukup untuk melakukan kendali yang lebih baik. Anda bertanya, apa kaitan Gebrakan Sumarlin dengan upaya mematahkan spekulasi valuta asing. Sebenarnya, gebrakan itu memang tidak dikhususkan ke situ. Tapi kalau terjadi lagi spekulasi devisa seperti sekarang ini, dengan SBPU bisa lebih cepat ditarik likuiditas di masyarakat daripada memakai SBI. Apakah dengan adanya dua gebrakan bisa dikatakan kita cuma membenahi masalah hanya dengan mengubek-ubek moneter saja? Tentang ini, para pakar sebaiknya tidak usah berkecil hati karena pemecahan masalah tidak mesti di sektor riil saja. Ada yang harus segera diselesaikan. Ya, dengan sendirinya moneter didahulukan. Itu pun sektor moneter sudah terlambat. Apalagi sektor riil. Tentang uang yang ditarik, tidak cuma dari bank pemerintah tapi juga dari bank swasta. Pada lelang, sebagian ternyata jatuh ke bank swasta. Tapi bank pemerintah masih cukup kuat, malah ada yang tidak merasa rugi. Menurut saya, kalau bank-bank sudah tahu posisinya, dalam waktu dua atau tiga minggu, bunga akan turun lagi. Yang Dipertaruhkan: kepercayaan Rakyat (Di bawah ini adalah kutipan dari komentar yang diberikan Prof. Dr. Suhadi Mangkusuwondo, bekas Dirjen Perdagangan Luar Negeri, kini dosen pada Fakultas Ekonomi UI). Berbicara tentang kecenderungan ekspor yang menurun dan impor yang terus meningkat, sebaiknya lewat angka. Dari situ, bisa dilihat bahwa gambarannya tidaklah seburuk yang kita duga. Pada awal 1990, angka ekspor memang bergerak antara 1,1 dan 1,2 milyar dolar. Tapi pada tiga bulan terakhir 1990, mencapai 1,4 milyar dolar. Saya perkirakan, pada akhir tahun anggaran (Maret 1991), ekspor bisa mencapai 1,6 milyar dolar. Berarti rata-rata per bulan dalam tahun 1990/91, ekspor nonmigas kita adalah 1,5 milyar dolar. Yang agak meleset adalah angka impor yang dalam anggaran diperkirakan terlalu rendah. Tapi kalau dikatakan impor meningkat, jangan disimpulkan bahwa hal itu buruk. Impor itu sebagian terdiri dari barang-barang modal, jadi tidak mesti dibatasi. Jangan lupa pada waktu yang sama investasi juga meningkat dengan pesat. Jadi, memang, impor harus meningkat. Yang perlu lebih diperhatikan adalah arus konsumtivisme yang melonjak pada tahun 1989-1990. Dan hal itu tidak cuma terjadi di Indonesia. Fenomena konsumtif juga terjadi di negara-negara lain. Kita tidak tahu mengapa. Tapi dengan mengetatnya likuiditas, ada tanda-tanda bahwa arus itu berkurang. Jadi, menurut saya, tidak perlu ada kebijakan khusus untuk nenekan konsumtivisme. Tentang devaluasi dapat saya katakan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan. Mengapa? Karena sejak devaluasi September 1986, depresiasi rupiah jalan terus sebanyak 16%. Tapi jika ingin mengendalikan jumlah uang beredar sampai ke tingkat yang disebut Gubernur Mooy, fine tuning, saya rasa sebetulnya nggak bisa. Di negara lain, hal itu terbukti tidak jalan. Jadi, ya, rough tuning saja. Menurut saya, sangat besar kemungkinan tidak akan ada devaluasi. Masalahnya sekarang, yang dipertaruhkan adalah kepercayaan rakyat pada pemerintah. Penting, Pembenahan Sektor Riil (Berikut ini sedikit pendapat Kwik Kian Gie dalam diskusi ekonomi TEMPO, 10 Maret 1991. Kwik dikenal sebagai pengamat ekonomi yang tekun, selain menjabat sebagai Ketua Litbang PDI). Kalau saya lihat, apa yang dilakukan Pemerintah melalui Gebrakan Sumarlin II merupakan suatu keterpaksaan saja. Tindakan itu diambil seketika itu juga, sehingga langsung mengakibatkan suku bunga tinggi. Lalu sektor riilnya kapan mau dibenahi secara konsisten? Pembenahan sektor riil, bagaimanapun, harus dilakukan supaya tidak terjadi distorsi terhadap langkah-langkah deregulasi. Sekadar contoh, kita menggalakkan ekspor nonmigas, dan angka-angkanya memang meningkat. Tapi itu lebih merupakan peningkatan semu. Mekanisme pasar belum terlaksana dengan baik dan perdagangan banyak dibebani oleh monopoli. Rasa-rasanya ekonomi yang ada sekarang ini lebih merupakan ekonomi komando. Apa yang disebut Pak Dahlan Sutalaksana sebagai depolitisasi sektor riil barangkali cocok dengan pembenahan sektor riil yang saya maksudkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini