INI sebuah bazar besar dengan sebuah penawaran besar, bernama ASEAN. Sebanyak 1.000 orang datang dari sekitar 20 negeri berduyun ke Bali, dan berkonperensi di Nusa Indah Convention Cen- ter yang baru dibuka itu. Diselenggarakan oleh The Asia Society yang berpusat di New York dan CSIS di Jakarta, dan disponsori oleh sejumlah perusahaan, kabarnya, inilah pertemuan teramai dalam jenisnya: tercatat ada 37 pembicara dalam pertemuan dua hari itu, termasuk para pemimpin pemerintahan. Bahwa banyak terjadi pengulangan antara pembicara yang satu dan yang lain -- dan beberapa pidato lebih banyak kecapnya ketimbang datanya -- tak mengurangi tekanan dasar konperensi ini: sebuah iklan meriah untuk ASEAN, sebagai ladang yang subur, khususnya sebagai tempat investasi. "ASEAN adalah sebuah kisah sukses yang hebat," kata Henry Kissinger, bekas Menteri Luar Negeri AS itu, yang jadi salah satu pembicara hari pertama. Maka, silakan datang. Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong, dalam pidato makan siang di hari pertama, menyatakan niatnya untuk membujuk agar, "Anda lebih banyak menanam modal, dan membeli dari ASEAN." Potensi ASEAN pun ditonjolkan dalam angka-angka, yang lebih mengesankan bahkan bila dibandingkan dengan ekonomi Asia Timur Laut, misalnya Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong. Anwar Ibrahim, menteri pendidikan yang disebut akan jadi menteri keuangan Malaysia, mengatakan bahwa di tahun 1970-an negeri Asia Timur Laut itu tumbuh cepat, sedangkan selama tiga tahun terakhir ini pertumbuhan rata-rata Singapura, Muangthai, dan Malaysia mencapai di atas 9% secara riil -- yang berarti tiga kali angka pertumbuhan Masyarakat Eropa. Tak berarti wilayah ini sudah jadi wilayah yang kaya. Namun, seperti dikatakan Alan Smith dari Jardine Flemings Holdings, semua anggota ASEAN, kecuali Filipina, punya tingkat tabungan di atas 20%. Ini menyamai atau malah melebihi angka di AS dan tiap negeri besar Eropa. Yang tak bisa dilalaikan adalah satu faktor yang menguntung- kan: ASEAN terletak di Pasifik. Di wilayah ini, selain pertumbuhan yang cepat di ASEAN dan Asia Timur, juga ada Jepang dan AS. Bahkan akhir-akhir ini, negeri Amerika Selatan seperti Cili, Meksiko, dan Peru yang juga menyambung diri ke sisi Pasifik yang sebelah sana. Maka, orang teringat akan ucapan Presiden AS Roosevelt, yang mengatakan Pasifik sebagai "samudera masa depan". Yang jadi soal ialah bahwa "masa depan" bagi Roosevelt, bisa segera jadi masa lalu. Perubahan yang terjadi di Eropa -- dilambangkan dengan penyatuan kembali Jerman -- menyebabkan orang pernah berpikir bahwa jangan-jangan Eropa-lah yang akan jadi bintang di abad nanti. Apalagi setelah konsolidasi Eropa di tahun 1992 nanti. Maka, bukankah enak -- dan secara historis lebih pas -- bila ekonomi AS lebih mencantol ke sana? Itulah hal yang tampaknya tak diinginkan oleh penyelenggara konperensi ini. Dan ada sedikit harapan. Hampir 50 peserta datang dari AS, dan belum pernah ada suatu konperensi tentang ASEAN didatangi begitu banyak orang bisnis Amerika. Seorang pembicara dari The Asia Society yang bersemangat sampai mengatakan, "Pusat gaya berat perdagangan dan hubungan ekonomi AS mulai berpindah ... dari Eropa menuju Asia." Mungkin berlebihan, dan yang pasti tak selamanya tanpa problem. Sebelumnya sudah ada APEC (Asia Pacific Economic Coopera- tion) yang dicetuskan di Canberra pada bulan November 1989. Sesudah itu ada tujuh proyek kerja sama, misalnya di bidang telekomunikasi, energi, alih teknologi. Tapi, seperti dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas dalam pidatonya, masih ada "disparitas ekonomi di wilayah kita". Dalam sebuah pidato penuh elan yang tak amat menyenangkan para tamu dari AS, Perdana Menteri Malaysia Mahathir menyebut bahwa AS pun -- mengikuti Eropa -- tengah membentuk blok perdagangan tersendiri, dengan perjanjian perdagangan bebas antara dia dan Kanada serta Meksiko. "Pengelompokan ini mau tak mau bersifat proteksionistis sampai derajat tertentu," kata Mahathir. Maka, ia pun mengusulkan dibentuknya EAEG (East Asia Economic Group). Tujuannya bukanlah untuk membentuk blok perdagangan. Tujuannya adalah agar negeri-negeri di wilayah ini bersatu untuk "menyetop meluncurnya dunia ke arah perdagangan internasional yang dikontrol dan diatur". Anggota EAEG akan berkonsultasi dalam menghadapi perundingan dengan Eropa atau Amerika. Mahathir, yang mengutip Charles Dickens, menutup pidatonya dengan sebuah kutipan lain: jangan hendaknya berlaku apa yang dikatakan orang Yunani kuno, Thucydides, "Yang kuat akan meminta apa yang mereka inginkan, yang lemah harus menyerahkan apa yang harus mereka serahkan." Ide Mahathir tampaknya berasal dari sikap yang tak mau berilusi tentang kerasnya perbenturan kepentingan ekonomi antarwilayah. Tapi soalnya: Siapa kemudian yang bisa disebut "kuat" dan siapa yang "lemah"? Dalam keadaan ketika negeri besar seperti AS secara militer kukuh tapi secara ekonomi menurun, kurang jelas lagi mana yang kuat dan mana yang lemah. Maka, kerja sama makin terasa penting. Dan bagi sebagian orang, usul Mahathir mempersempit spektrum kerja sama itu. Duta besar AS untuk Jepang, Michael Armacost, menampik ide EAEG karena dianggapnya akan mengurangi peran APEC dan memperumit tujuannya. Ia menganggap tak ada dasarnya kecemasan bahwa liberalisasi perdagangan antara AS dan Meksiko serta Kanada akan mengakibatkan lahirnya suatu pengaturan yang eksklusif, yang akan berakibat buruk bagi kepentingan dagang di luar Amerika. Jika memang ada rasa cemas terbentuknya blok perdagangan, yang harus dilakukan, menurut Armacost, ialah melipatgandakan ikhtiar ke arah liberalisasi perdagangan multilateral dalam Putaran Uruguay. Dan itu bisa dilakukan di EC, tanpa membentuk satuan baru. Ide Mahathir tampaknya belum akan laku. Dalam suasana orang bertemu di Bali dan senyum dan tak ingin memikirkan ide-ide yang kontroversial, Mahathir mungkin salah memilih tempat. Tapi mungkin sebab itu suaranya yang paling menarik di dalam konperensi yang tak jauh dari Lautan Teduh dan tanpa ketegangan itu. Goenawan Mohamad (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini