DARI sekian anggota asosiasi negara produsen timah (ATPC), tampaknya hanya Malaysia yang paling siap menghadapi guncangan harga. "Antisipasinya sudah kami perhitungkan jauh sebelum harga jatuh," ujar seorang pejabat di Kementerian Perusahaan Utama Malaysia, kepada Ekram H. Attamimi dari TEMPO. Biarpun terpukul, "tidak terlalu telak." Pembenahan manajemen untuk menekan biaya produksi sudah dimulai sejak lima tahun lalu. Semua sektor yang memberatkan ongkos produksi dikurangi. Dari pengamatan Kementerian Perusahaan Utama Malaysia (KPUM), disimpulkan bahwa upah buruh ternyata paling banyak menyedot dana. Alternatif diambil: status kepegawaian diubah. Sebagian besar karyawan diangkat per periode penambangan, dengan sistem kontrak. Karena itu, jumlah karyawannya, dari tahun ke tahun, tidak sama, "tergantung kebutuhan saat itu." Sebagai perbandingan, pada 1988, saat harga timah stabil, Perusahaan Tambang Malaysia mempekerjakan 11.400 orang, yang disebar di 219 unit pertambangan. Tahun berikutnya, saat harga timah membubung, ditambah menjadi 12.700. Tambang yang dioperasikan diperbanyak sampai 255 unit. Pada 1990, karena harga merosot, karyawan disusutkan tinggal 8.500. Tambang yang beroperasi diseleksi, hingga 145 unit. Yang kurang menguntungkan untuk sementara ditutup. Pengurangan karyawan tak pernah menimbulkan masalah. "Kami membantu menyalurkan ke unit pertambangan lain seperti tembaga dan proyek pembangunan lainnya," tutur sumber TEMPO. Jika perusahaan butuh, tanpa kesulitan mereka diajak bergabung kembali. Biarpun jumlah tenaga kerjanya kecil, toh Malaysia menganggap biaya produksi tak sebanding dengan harga sekarang. "Dulu bisa untung 50%, sekarang impas," kata sumber itu. Dengan jumlah karyawan sebesar itu (dibanding PT Timah Indonesia yang memiliki 24 ribu karyawan), anehnya, produksi timah Malaysia tetap tinggi. Tahun 1989, negara itu mampu mengekspor 49.500 ton: 32.000 ton hasil produksi sendiri (sesuai dengan kuota), dan selebihnya timah asal negara lain, yang dimasukkan ke Malaysia dalam bentuk bijih. Setelah diproses, timah itu diekspor kembali ke negara pengirim. Untuk 1991, Malaysia hanya akan memproduksi sesuai dengan kuota, 28.556 ton. Dalam soal manajemen timah, Indonesia masih perlu belajar pada Malaysia. Persoalan yang dihadapi PT Timah tentu lebih berat. Mulai dari pemindahan kantor pusat Jakarta ke Bangka -- karena dinilai tidak efisien -- penutupan tambang di Singkep, sampai perampingan pegawai yang jumlahnya 24 ribu lebih. Memang terlambat, tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali. AM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini