TIMAH, komoditi yang dulu pernah dielu-elukan sebagai primadona ekspor, sejak akhir tahun lalu harganya anjlok terus. Indonesia, sebagai salah satu pemasok pasar timah internasional -- dengan 95 persen produksinya diekspor -- sungguh sangat terpukul. Pada gilirannya, PT Timah terseret ke dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Kini pemerintah mempersiapkan upaya penyelamatan bagi BUMN yang pernah jaya itu. Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, Jumat pekan lalu, mulai melancarkan restrukturisasi. Diawali dengan mengurangi jumlah direktur dari lima menjadi empat orang. "Yang dilantik ini adalah pejabat-pejabat muda profesional dari unit-unit lapangan," kata Ginandjar. Tapi jabatan direktur utama tetap dipegang oleh Kuntoro Mangkusubroto. Pembagian unit kerja di PT Timah, yang semua didasarkan pada pembagian kewilayahan, kini didasarkan pada pertimbangan fungsional. Maka, Unit Pusat di Jakarta, Unit Bangka, Singkep Belitung, dan Unit Peleburan, diubah menjadi Unit Penambangan Darat, Penambangan Lepas Pantai, dan Unit Peleburan. Untuk kelancaran reorganisasi di PT Timah, Menko Ekuin Februari lalu telah membentuk Tim Antar-Departemen, yang akan mengiventarisasi kembali unit-unit yang dikelola BUMN itu, yang dianggap hanya membebani ongkos produksi. Contohnya, untuk stasiun relay televisi, selam 10 tahun PT Timah mengeluarkan Rp 1,9 milyar. Belum lagi biaya rumah sakit, sekolah, dan gedung-gedung lainnya. Masih dalam upaya menekan biaya, mulai April ini kantor pusat PT Timah, termasuk seluruh karyawannya yang ada di Jakarta, harus sudah pindah ke Pangkalpinang. "Sudah sepantasnya kantor pusat berdekatan dengan lokasi usaha, agar lebih efektif," kata Ginandjar. Tapi mutasi personalia tidak cukup. Dengan 24 ribu karyawan, PT Timah bagaikan kapal oleng yang sarat penumpang. Direktur Utama Kuntoro akan menyusutkannya sampai 12 ribu saja -- berarti ada penciutan sampai 50%. Bahkan Bank Dunia menilai, cukup 9.600 orang. "Berat memang, tapi apa boleh buat. Perampingan perlu waktu empat tahun," kata Kuntoro. Gara-gara serba tidak efisien itulah, biaya produksi mencapai US$ 5.600 per ton, sedangkan harga timah di pasar timah US$ 5.500 per ton. "Dengan kondisi harga seperti sekarang, kami sangat terpukul," ujar Kuntoro. Ditambahkannya, harga terus merosot karena produksi timah dunia terus melambung. Ia menuduh negara non-ATPC (The Association of Tin Producing Countries) seperti Brasil dan RRC sebagai biang keroknya. "RRC berani jual dengan harga US$ 5.000 per ton, sedang Brasil malah banting harga sampai US$ 3.000 per ton," ujar Kuntoro, kesal. Selain itu, ada beberapa eksportir baru, seperti Portugal. Sedangkan Amerika Serikat diperkirakan masih menyimpan cadangan 168.496 ton, cukup untuk enam tahun. Maka, harga timah pun meluncur lebih cepat. Sejumlah tambang yang berproduksi dengan biaya tinggi, seperti di Inggris terpaksa menghentikan produksi. Tapi di lain pihak, Brasil dan RRC, yang bisa menekan ongkos produksi, kabarnya malah terus menggenjot produksi. Brasil dan RRC juga yang menjatuhkan harga. Ada dua patokan harga timah, Kuala Lumpur Tin Market (KLTM), dan London Metal Exchange (LME). Bursa harga di kedua tempat itu kini bergoyang tak menentu. Pada Desember 1990, harga timah di bursa KLTM rata-rata US$ 5.604 per ton, sedang pada awal Maret ini turun jadi U$$ 5.503 per ton. Sementara itu, di bursa LME angkanya bergerak di bawah US$ 6.000. Untuk mengatasi kemelut timah, negara produsen yang tergabung dalam ATPC, Selasa pekan lalu, berkumpul di Kuala Lumpur. Sidang tersebut dihadiri tujuh negara ATPC (Indonesia, Malaysia, Australia, Bolivia, Muangthai, Nigeria, dan Zaire), ditambah dua negara peninjau RRC dan Brasil. ATPC sepakat dalam hal volume ekspor sebesar 95.846 ton -- turun 6,0% dari 102.000 ton yang ditetapkan tahun lalu. Yang menggembirakan, dua negara non-anggota, Brasil dan RRC, berjanji ikut menjaga stabilitas pasar, dengan menurunkan produksinya, masing-masing 39.010 ton dan 15.000 ton. "Keikutsertaan mereka amat membantu prakarsa kami mengurangi stok dunia," kata Sekretaris Eksekutif ATPC, Redzwan Sumun, kepada TEMPO. Nyatanya, stok timah dunia masih saja berlebih. Stok sekarang diduga mencapai 166.000 ton. "Yang membuat kacau, karena masih ada suplai dari sumber yang tak jelas, dari penambang gelap," ujar Redzwan Sumun. Indonesia memperoleh kuota 28.376 ton -- 180 ton di bawah jatah Malaysia. Tahun sebelumnya kuota Indonesia 31.500 ton. Tapi kondisi pasar yang tak pasti membuat Indonesia tak bergairah memenuhi kuotanya, dan tahun ini hanya akan memproduksi 22.000 ton. "Secara teknologi, timah itu sudah merupakan komoditi yang tak menarik," komentar Kuntoro. Dalam keadaan serba tak menguntungkan itu, Ginandjar mengisyaratkan perlunya diversifikasi. "Ada pemikiran untuk membuat Singkep sebagai kawasan pariwisata dan industri, mendampingi Bintan dan Batam," tuturnya. Malah Kuntoro berkata, "Kami tengah mengembangkan usaha perikanan dan tambak udang di Singkep." Ia mendukung gagasan Ginandjar, "karena Singkep memiliki pantai dan dermaga yang baik." Aries Margono, Sri Indrayati (Jakarta), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini