Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba Departemen Keuangan seperti markas bankir pemerintah. Hari itu, sebuah pagi di akhir November, para pentolan bank BUMN berkumpul di kantor Menteri Keuangan Bambang Subianto. Tujuh direktur utama bank pemerintah semuanya hadir. Lengkap dan resmi. Ada apa?
Ternyata, menurut sebuah sumber, kepada Menteri Bambang, para direktur bank pelat merah ini menyodorkan kertas "tagihan". Isinya, mereka menjereng jumlah dana yang diperlukan untuk menyehatkan bank-bank pemerintah. Berapa jumlahnya? Jangan kaget. Untuk enam bank pemerintah saja, mereka memerlukan dana Rp 136 triliun (lihat tabel). Artinya, hampir separuh dana rekapitalisasi bank dihabiskan untuk menyuntik bank BUMN.
Apa mau dikata, keenam bank pemerintah ini masuk kasta paling buncit dalam peringkat kesehatan perbankan. Hampir semua bank pemerintah, yaitu Bank BNI (yang sudah masuk bursa), BRI, BDN, BBD, Bapindo, dan Bank Exim, hanya memiliki tingkat kecukupan modal kelas C alias CAR di bawah minus 25 persen.
Sedangkan untuk BTN, hasil due diligence-nya baru akan keluar akhir Desember ini. Hasilnya, menurut sebuah sumber, "BTN juga akan masuk ke Klub Charlie alias Celaka." Artinya, bank-bank ini bukan cuma sudah tak punya modal. Lebih dari itu, agar tetap bisa beroperasi, mereka harus disuntik modal, habis-habisan.
Sulit dibantah, kinerja bank-bank BUMN tergolong amat memprihatinkan. Dalam setengah tahun terakhir ini, mereka megap-megap menahan beban operasi. Jika ditotal, bank-bank negara ini memang masih bisa mencatat laba. Tapi keuntungan itu bukan diperoleh dari pendapatan operasi bank, melainkan dari bisnis sampingan, yaitu dari jual beli valuta asing.
Bagaimana nasib bisnis utamanya? Sudah jelas: jeblok. Hampir semua bank pemerintah merugi secara operasional. Pendapatan bunga (sumber utama penghasilan perbankan) negatif, dari minus Rp 4 miliar (BNI) sampai minus Rp 1,8 triliun (BBD). Hanya BRI yang masih bisa menggaet untung dari operasi perbankan. Bank yang beroperasi hingga ke pelosok desa itu masih bisa mencetak pendapatan bunga positif hampir Rp 1,9 triliun (lihat grafik).
Suratan takdir? Tentu saja bukan. Nasib buruk yang menimpa bank-bank pemerintah ini jelas bukan karena garis tangan, melainkan lantaran pengelolaan yang ceroboh. Selama setahun krisis moneter, pada zaman ketika semua bank mestinya menahan diri, bank-bank pelat merah ini malah ramai-ramai mengobral kredit. Pertumbuhan kredit rupiah di bank pemerintah selama setahun krismon (hingga akhir Juni 1998) mencapai 29 persen.
Akibatnya, kredit macet di bank-bank pemerintah ini membengkak segede gajah. Dari Rp 270 triliun kredit yang mereka salurkan (selain BTN), ada sekitar Rp 210 triliun (hampir 80 persen) yang bermasalah. Untuk menutupnya, pemerintah harus menyediakan biaya rekapitalisasi sebesar Rp 136 triliun. Itulah yang membuat sekujur tubuh bank BUMN hancur-hancuran.
Dengan kondisi seburuk itu, apakah bank-bank ini layak diselamatkan? Apa boleh buat, pemerintah agaknya tak mau kehilangan muka. Bank pemerintah, bagaimanapun keadaannya, berapa pun biayanya, akan diselamatkan. "Pemerintah akan merekapitalisasi bank-bank BUMN karena mereka adalah bank pemerintah," kata Menteri Bambang Subianto. Hanya karena itu? "Ya," ujar Bambang, "Mereka sudah punya jaringan luas dan banyak cabang."
Jadi? Ya, terima sajalah, asalkan itu bukan berarti mereka yang punya jaringan luas bisa semaunya saja mengurus bank. Rakyat yang repot, Bung!
Dwi Setyo dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo