Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seperti Membunuh Kanker dengan Sup

Rapor bank diumumkan. Sekitar 40 bank terancam dilikuidasi. Kondisi bank BUMN ternyata paling parah. Program rekapitalisasi yang setengah hati tak akan menolong.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Seperti Membunuh Kanker dengan Sup
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
AKHIRNYA, pemerintah mengetok palu. Hasil due diligent perbankan nasional diumumkan, walaupun tanpa nama-nama. Menurut Menteri Keuangan Bambang Subianto, dari 166 bank yang diperiksa, cuma 54 yang diberi status A. Bank-bank itu tak memerlukan injeksi modal (rekapitalisasi) karena, untuk sementara, kapitalnya telah memenuhi syarat.

Menurut keputusan Direksi Bank Indonesia, modal bank dianggap cukup jika rasio modal dengan aset (yang dihitung menurut bobot risiko) alias capital adequacy ratio (CAR) minimal 4 persen. Tingkat kecukupan modal ini akan dinaikkan menjadi 8 persen, akhir tahun depan.

Menteri Bambang tak menyebut dengan pasti bagaimana nasib bank-bank yang lain. Di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat (11 Desember) lalu, ia cuma mengatakan pemerintah akan menggelar program rekapitalisasi untuk 70 bank. Enam di antaranya merupakan bank-bank pemerintah, 49 bank swasta (termasuk BCA, Danamon, Tiara, dan PDFCI yang kini diambil alih pemerintah) dan 15 bank pembangunan daerah.

Agaknya, ke-70 bank itu merupakan perbankan kelas B yang memiliki tingkat modal atau CAR antara minus 25 persen dan 4 persen. Agar dapat beroperasi dengan normal dan bisa mendekati tingkat kesehatan perbankan internasional, bank-bank ini harus disuntik modal.

Para pemiliknya harus menyediakan tambahan kapital, paling sedikit seperlima dari jumlah yang dibutuhkan. Sisanya (80 persen) akan disediakan oleh pemerintah, bukan dengan duit betulan, tapi dengan kertas utang alias obligasi. Menurut perhitungan Menteri Bambang, pemerintah akan menerbitkan obligasi senilai Rp 257 triliun untuk menginjeksi tambahan modal bagi 70 bank itu.

Obligasi tersebut akan ditempatkan di bank sebagai aset. Sebagai imbalan, pemerintah akan memperoleh saham preference. Jumlahnya sebesar nilai obligasi yang ditempatkan, tapi tak memiliki hak suara. Bank-bank akan mendapat injeksi tunai dari bunga (kupon) surat utang pemerintah tadi. Berapa tingkat bunganya, hingga hari ini belum ditetapkan.

Namun, menurut Menteri Bambang, program rekapitalisasi bank akan memberikan tambahan beban belanja sekitar Rp 15 triliun pada APBN tahun depan. Dengan taksiran kasar ini, gampang diduga, tingkat suku bunga surat utang pemerintah tadi tak akan lebih dari 10 persen.

Bagaimana dengan sisa 42 bank yang lain? Apa boleh buat, mereka masuk ke kelas C. Akibat gempuran kredit macet dan harus menombok bunga (negative spread), tingkat permodalan bank-bank ini babak belur. CAR mereka di bawah 25 persen sehingga kelangsungan hidupnya amat diragukan. Untuk bank-bank ini, tak ada pilihan kecuali meminta dikawin alias bergabung (merger) dengan bank lain. Jika tidak, tampaknya mereka harus dilikuidasi.

Siapakah mereka? Maaf, nama-nama bank ini tampaknya tak akan pernah diumumkan. Menteri Bambang hanya menyebut, 18 dari 20 bank yang kini masih diasuh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), masuk dalam kelas "selamatkan jiwa kami" alias save our soul (SOS).

Enam bank pemerintah (BRI, BNI, BBD, BDN, Bappindo, dan Bank Exim) juga termasuk kelas ini: jika tak ditolong segera, harus menghadapi ancaman likuidasi (lihat Boks). Sementara itu, satu bank pemerintah lagi, yakni Bank BTN, belum selesai diaudit. Tapi seorang pengamat perbankan yang mengetahui benar proses audit ini yakin, BTN juga akan masuk ke kelas C.

Sebenarnya, selain rapor bank BUMN yang memprihatinkan, hasil due diligent ini amat menggembirakan. Komposisi 54 bank masuk ke kelas A, 70 bank di kategori B, dan cuma 42 bank di kelas C, mestinya cukup mengejutkan. Setidaknya, kondisi perbankan Indonesia tak seburuk yang ditakutkan orang. Dalam "bocoran" yang beredar sebelumnya disebut-sebut, hanya tujuh bank yang modalnya dinilai cukup (A), sekitar 50-an bank kelas B, dan, sisanya, hampir seratus bank terancam dilikuidasi.

Apakah itu berarti kondisi perbankan kini sudah jauh lebih baik? Tunggu dulu. Menurut sejumlah sumber TEMPO, jumlah 54 bank itu lahir berkat pelbagai kemudahan. Pertama, karena pemerintah melonggarkan tata cara perhitungan provisi (dana pencadangan kredit macet). Semula, menurut aturan main auditor internasional, dana provisi dihitung dari besarnya kredit macet dikurangi dengan jaminan tunai (cash collateral).

Perhitungan yang "keras" ini membawa sebagian besar bank masuk ke kelas C. Dana yang dibutuhkan untuk rekapitalisasi membengkak besar, hampir menyamai pendapatan domestik bruto nasional. Karena itu, belakangan, pemerintah merevisi perhitungan dana provisi dengan memperhitungkan jaminan kredit bukan tunai seperti properti atau jaminan proyek. Dengan cara ini, dana yang harus dicadangkan untuk kredit macet menurun drastis. Akibatnya, biaya yang diperlukan untuk injeksi modal juga tak sebesar semula.

Selain itu, soal kedua yang juga menambah jumlah deretan bank A adalah dimasukkannya bank-bank campuran dan bank-bank kecil yang baru berdiri. Menurut Direktur Treasury Bank Buana Indonesia, Pardy Kendy, mitra asing dari bank-bank campuran ini (jumlahnya sekitar 30-an), sudah menyatakan kesanggupan untuk menambah modal. Sementara itu, bank-bank kecil yang baru berdiri tergolong "sehat" karena belum banyak memberikan kredit atau menggelar transaksi valuta asing.

Pertanyaannya kemudian, apakah program rekapitalisasai yang sudah diperlonggar ini akan menyehatkan perbankan kita? Banyak yang ragu. Persyaratan ketat untuk menghitung dana provisi mestinya tak bisa ditawar. Dengan memperhitungkan jaminan bukan tunai, bank bisa terperosok ke dalam persoalan baru: abses kredit macet tetap membengkak lantaran agunan bukan tunai ini tak mudah dicairkan.

Dalam aktivitas perekonomian yang begini sayu, menjual sebuah proyek dengan harga yang wajar hampir mustahil. Belum lagi kalau mengingat bahwa cara penilaian agunan nontunai juga tak seragam. Bisa saja nilai agunan dipompa hingga jumlah kredit macetnya kelihatan kecil saja.

Selain itu, menyuntik bank tak bermodal dengan aset berupa surat utang juga diragukan keampuhannya. "Ini sama seperti mengobati kanker dengan sup ayam," kata seorang bankir sambil berkelakar. Bank-bank itu memerlukan dana tunai untuk menunjang operasinya. Langkah rekapitalisasi Menteri Bambang, kata bankir ini, hanya mengganti aset yang macet (kredit bermasalah) dengan surat utang pemerintah. Mungkin saja obligasi pemerintah ini tidak macet, tapi tingkat suku bunganya amat kecil, tak lebih dari 10 persen.

Menurut Adrian Panggabean, ekonom Universitas Indonesia yang kini bekerja di UNDP, menyuntik bank dengan obligasi memang pernah dilakukan di Cile. Berhasil? "Ah, itu sama saja menyuruh orang sakit makan kertas. Kenyang, tapi mana bisa sembuh," katanya.

Dengan imbalan bunga obligasi sekecil itu, bank-bank yang menerima dana rekapitalisasi dari pemerintah ini akan beroperasi dengan terseok-seok. Jika suku bunga di pasar tak bisa ditekan di bawah 10 persen, bank-bank ini akan merugi. Itu sama saja beroperasi dengan negative spread. Sementara bank harus memberikan imbalan suku bunga deposito, katakan saja, 20 persen, ia hanya menerima pendapatan obligasi dengan bunga separuhnya.

Harap diingat, alokasi aset dalam obligasi pemerintah cukup besar, bisa mencapai 50 persen dari total aset. Akibatnya, penempatan aset pada obligasi pemerintah akan merongrong modal bank. Ini persis sama seperti kredit macet yang mengikis kapital. Singkat kata, "Program ini cuma menunda ledakan bom perbankan di masa depan," kata bankir yang lain.

Karena itu, seorang kepala riset perusahaan sekuritas asing yang beroperasi di Jakarta yakin, langkah rekapitalisasi bank pemerintah saat ini lebih merupakan langkah politik ketimbang ekonomi. Menurut perhitungan analis perbankan ini, pemerintah cuma mau terlihat ngirit. Dana rekapitalisasi "disunat" supaya terkesan tak membebani uang. Menteri Bambang memakai argumen penghematan biaya untuk memilih jalan likuidasi atau rekapitalisasi. Menurut Bambang, dengan program injeksi modal, pemerintah cuma perlu Rp 257 triliun, sedangkan langkah likuidasi bank bobrok akan menghabiskan dana Rp 500 triliun lebih.

Menurut analis ini, argumentasi seperti itu melenceng dan tidak pada tempatnya. Dengan melikuidasi bank sakit, pemerintah memang harus menyediakan duit untuk membayar nasabah bank. Tapi, analis ini yakin, dana yang ditarik dari bank terlikuidasi itu tak mungkin akan disimpan di bawah bantal selamanya atau lari ke luar negeri. Sebagian besar akan kembali lagi ke sistem perbankan nasional. Apalagi kalau masyarakat yakin, bank-bank yang masih tersisa adalah bank yang sehat. Jadi, argumentasi bahwa likuidasi bank bobrok akan menghabiskan dana Rp 500 triliun itu, "Cuma untuk membodoh-bodohi rakyat."

Benar? Entahlah. Tapi, menurut seorang bankir, rekapitalisasi bank ini cuma trik untuk menghilangkan jejak bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Melalui program ini, BLBI senilai Rp 140 triliun yang tak terbayar itu akan melebur menjadi bagian dari penyertaan modal pemerintah. Dengan begitu, para pemilik bank tak perlu melunasinya segera.

Apa pun alasannya, program injeksi modal bagi bank ini mestinya merupakan tiket untuk menyehatkan perekonomian. Tanpa bank yang sehat, lupakan saja target yang muluk-muluk. Inflasi tak sampai 15 persen, suku bunga bank tak lebih dari 25 persen cuma jadi impian kosong.

Dwi Setyo, Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus