Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satelit Telkom I lagi-lagi harus ditunda peluncurannya. Mestinya, satelit yang berfungsi menyebarkan informasi ke seluruh antero Tanah Air itu sudah mengorbit September lalu. Kabar tak sedap ini dilansir Lockheed Martin, perusahaan Prancis yang membuat satelit seharga US$ 192 juta itu, belum lama ini. Alasannya, fasilitas satelit masih belum lengkap.
Padahal, Satelit Palapa B-2R--yang akan digantikannya--akan habis masa edarnya Desember 1999. Janjinya, satelit bertransponder 36 biji ini--12 buah lebih banyak daripada Palapa B-2R--akan diluncurkan Februari 1999 dengan co-passenger Asia Star, perusahaan satelit dari Hong Kong.
Nah, jika terus-menerus begini, bisa jadi Indonesia tidak punya satelit. Artinya, rakyat kita terancam tidak bisa telepon-teleponan, menonton televisi, atau menikmati kenyamanan hidup berkat satelit. Tapi kekhawatiran itu ditepis D. Amarudien, Wakil Presiden Komunikasi Telkom. "Kita masih punya backup, yaitu Satelit Palapa B2," katanya.
Untunglah Lockheed sudah mendapat co-passenger baru, yaitu EU Tel-Sat, perusahaan satelit konsorsium negara-negara Eropa. "Saya optimistis peluncuran nanti tidak akan meleset, karena Lockheed Martin sudah menjamin," kata Amarudien. Ya, mudah-mudahan sajalah.
Kabar gembira untuk bapak-bapak sopir angkutan umum. Walaupun juragan Dana Moneter Internasional (IMF) mewanti-wanti agar pemerintah segera menghapus segala bentuk subsidi, itu tak berlaku bagi bahan bakar minyak atau BBM. "Pemerintah memang masih belum menyimpulkan berapa kebutuhan minyak untuk 1999-2000, tapi pasti akan tetap disubsidi," kata Menteri Keuangan Bambang Subianto.
Pemerintah menjatahkan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 27,5 triliun pada anggaran 1998-1999. Padahal, subsidi minyak dan listrik untuk tahun anggaran mendatang sudah harus dihapus. Duitnya dipakai untuk membayar utang. Tapi apa daya, meroketnya harga dan terjadinya kerusuhan mengakibatkan penghapusan subsidi menjadi hal yang mustahil.
Lalu, duit subsidinya dari mana? Bambang tak menjelaskan. Kan, lebih baik rakyat tidak marah. Apalagi menjelang "musim panas" pemilu 7 Juni mendatang.
Rupanya tidak hanya umat muslim yang siap-siap menenangkan diri menjelang puasa Ramadan. Rupiah melakukan hal yang sama. Para analis pasar--seperti koor--bilang bahwa rupiah bakal anteng di posisi Rp 7.500 hingga akhir tahun ini. Pasalnya, tidak ada pelaku pasar yang mau berspekulasi menantang aksi pemerintah mempertahankan posisi rupiah. Pemerintah juga ngebut menurunkan tingkat suku bunga SBI hingga 38 persen--dibanding 50 persen pada 11 November lalu.
Aksi turun bunga itu "diimbangi" oleh pencairan dana bantuan sebesar US$ 10 miliar. Tiap hari pemerintah baru menggerojok pasar dengan US$ 200 jutaan. Lagi pula, menurut para analis, permintaan dolar di pasaran memang rendah. Sebab, pemerintah sudah berhasil menjadwal ulang sebagian besar utangnya yang jatuh tempo akhir tahun, dan swasta pun mogok bayar utang.
Faktor-faktor tersebut jauh lebih kuat daripada demonstrasi mahasiswa dan ancaman kerusuhan sosial. Makanya, tidak usah capek-capek main rupiah. Mending libur saja.
Julian Schweitzer jelas bukan ahli korupsi. Tapi Direktur Strategi dan Operasi Bank Dunia untuk Asia Timur ini terpaksa berbicara ihwal memo yang mengguncang kantornya di Washington, Amerika Serikat, pekan lalu. Dalam memo bertanggal Oktober lalu itu, yang akhirnya bocor ke telinga pers, disebutkan bahwa para pejabat tinggi Indonesia telah memakan porsi besar dari bantuan miliaran dolar.
Penyimpangan terjadi di bidang layanan masyarakat, militer, dan bantuan di bidang hukum. "Kami tidak menyangkal terjadinya korupsi," kata Schweitzer. Ia menambahkan, sesungguhnya bocoran korupsi duit Bank Dunia itu pernah terjadi beberapa waktu sebelumnya. Agustus tahun lalu, misalnya, ada memo menyebutkan bahwa sekitar 20 persen dari bantuan Bank Dunia berjumlah US$ 24 miliar dari tahun 1967 "dimakan tikus".
Meski dikorupsi terus-terusan, bantuan tetap saja dikucurkan. Rajin bayar, sih.
Hore... Masih Ada Subsidi BBM
Rupiah pun Ikut Puasa
Korupsi? That’s Ok...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo