MEJA para makelar tampak masih banyak kosong, ketika bel
berdering di ruang gedung bursa di Jalan Merdeka Selatan 13,
Jakarta pekan lalu. Itu pertanda pimpinan call membuka sidang.
Maka Sani Permana dari PT Aperdi mengacungkan tangan. "Mau jual
atau beli," tanya pimpinan. "Jual," jawab Sani.
Mendahului yang lain, Hendro dari PT Danareksa mengajukan
tawaran 11.125. Tapi pihak Aperdi belum okey. Tawaran naik jadi
11.150, tapi masih disambut diam. Dengan cepat Hendro menyebut
11.175, yang membuat Aperdi manggut. Maka kurs PT Semen Cibinong
pada Jumat siang pekan lalu itu bernilai Rp 11.175. Tapi berapa
lembar saham yang dibeli PT Danareks ? "Satu," jawab Hendro yang
disambut tertawa oleh yang lain.
Jalannya call dengan demikian tak lebih dari 10 menit, lalu
bubar. Dengan membeli cuma selembar saham, Danareksa tampaknya
ingin menunjukkan sikap bahwa mereka tak ingin dianggap tukang
mengerem harga. Para makelar lama memimpikan iklim yang menarik
untuk perdagangan saham. Tapi sejak dibuka oleh Presiden
Soeharto 10 Agustus tahun lalu, setelah kelihatan ramai
sebentar, suasananya berjalan "lamban dan lesu," kata Sani.
Makelar dari PT Aperdi itu beranggapan "kurs yang terjadi belum
mencerminkan kemajuan perusahaan yang mengeluarkan saham."
Benar juga. Ketika kurs saham Cibinong mencapai Rp 10.925 dua
pekan lalu, para makelar yang menerima order dari nasabahnya
memasang harga beli Rp 10.950, dengan harapan esoknya kurs bisa
meningkat Rp 11.000. Tapi PT Danareksa yang didirikan pemerintah
dengan deking modal Rp 50 milyar, cepat melempar stoknya,
mempertahankan kurs jadi Rp 10.925.
Apatis
Tampilnya Danareksa sebagai stabilisator harga memang merupakan
fungsi utamanya. Tapi siapapun tak mungkin bersaing dengan
Danareksa, yang juga berfungsi sebagai investment trust,
underwriter (perusahaan penjamin dan sekaligus makelar.
Diadakannya PT Danareksa itu dianggap wajar saja dalam suasana
ekonomi sekarang. Tapi para makelar menghendaki agar campur
tangan itu dibatasi hingga tak menimbulkan suasana yang apatis.
Sekalipun demikian, para pemegang sertifikat PT Danareksa boleh
merasa senang. Naiknya kurs saham Cibinong menjadi Rp 11.175,
bertambah Rp 200 dari sehari sebelumnya, menunjukkan bahwa
pasaran semen cap Kujang itu cukup cerah. Kalau pada akhir
Januari lalu pemilik selembar sertifikat memperoleh dividen Rp
674, atau Rp 666 untuk saham, maka dalam pembagian kedua kalinya
yang dimulai 31 Juli, dividen untuk selembar sertifikat menjadi
Rp 1.260. Bagi mereka yang belum mengambil dividennya sejak
dibukanya Pasar Modal sampai dengan akhir Juni ini (11 bulan),
total dividennya berjumlah Rp 1.934 per sertifikat atau Rp 1.914
per saham.
JA Sereh, Dir-Ut PT Danareksa, merasa "puas". Menurut Sereh,
dengan pembagian dividen itu, berarti keuntungannya sama dengan
23,9% dalam waktu 11 bulan. Sedang untuk deposito berjangka di
bank, setahun bunganya cuma 15%. Dir-Ut Sereh boleh merasa puas
lagi, setelah rapat pemegang saham memutuskan mulai tahun ini
pembagian dividen dapat dilakukan dua kali dalam setahun.
Masih Sendirian
Rapat umum luar biasa yang berlangsung di Balai Sidang Senayan
15 Juni lalu, juga mengumumkan bahwa pembagian dividen kedua itu
adalah hasil keuntungan PT SC selama setahun, berjumlah Rp 4,2
milyar. Ini masih ditambah dengan sisa laba yang belum dibagikan
tahun lalu sebanyak Rp 514,2 juta. Adapun laba bersih dalam
tahun buku 1977 naik 50% dibandingkan dengan tahun buku
sebelumnya. Ini, demikian rapat pemegang saham itu, disebabkan
volume penjualan semen cap Kujang naik dengan 45%.
PT Semen Cibinong adalah usaha patungan antara pemerintah lewat
PT Semen Gresik (25%) dengan sejumlah investor asing (75%). Blok
saham terbesar dari pemodal asing itu dikuasai Gypsum Carrier
Inc. -- anak perusahaan dari Kaiser Cement & Gypsum Corporation
(42,84%) dan International Finance Corporation & Participants
(12, 92%) -- cabang usaha dari Bank Dunia. Semula cuma 5% dari
saham kelompok asing yang disisihkan untuk diperjualbelikan di
Pasar Modal. Kini sudah disetujui untuk menaikkan jumlah saham
yang go public menjadi 9,2% dari kelompok asing. Perbandingan
saham antara Indonesia dengan asing pun kini sudah bergeser
menjadi 44% : 56%.
Kesediaan untuk memperbesar porsi saham yang mempublik itu
merupakan pertanda makin membaiknya pasaran. Tapi mengapa sampai
sekarang Semen Cibinong masih sendirian Dir-Ut Sereh mengakui
para makelar akan sulit untuk hidup kalau hanya bergantung pada
satu perusahaan saja. Tapi kepada TEMPO dia menyatakan "ada
beberapa perusahaan besar dan sehat yang sudah diteliti". Dia
belum bersedia menyebutkan namanya, tapi salah satu adalah
perusahaan asing produsen rokok putih. "Diharapkan paling lambat
awal tahun depan perusahaan itu sudah mempublik," sela I.
Hutauruk, manajer PT Danareksa. Kalau benar terjadi, Semen
Cibinong tak akan kesepian lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini