Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harus Ngebut

Produksi karet Indonesia akan merosot bila usaha peremajaan & perluasan areal tidak segera dilaksanakan. Kebutuhan dunia akan karet alam terus meningkat, tapi volume ekspor karet Indonesia turun. (eb)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM pernah gengsi karet alam begitu naik seperti sekarang. International Rubber Study Group minggu lalu di New York memberi perhatian khusus tentang bagaimana memenuhi kebutuhan dunia yang makin meningkat. Indonesia, sebagai produsen karet alam yang menempati urutan kedua di dunia (sesudah Malaysia) mengirim delegasi besar ke sidang IRSG itu. Ketiga unsur --perdagangan, pertanian dan perindustrian -- dalam delegasi Indonesia itu pasti akan membawa pulang tantangan baru, terutama di bidang produksi. Kenapa? Berikut ini permasalahannya: Setelah karct alam mengalami masa pasang surut yang mencemaskan, sekarang pelan-pelan makin kelihatan bahwa dunia karet alam sekurangnya sampai akhir abad ini tak akan segelap seperti yang dikira semula. Industri pemakai karet alam sekarang mengkonsumir lebih banyak karet dari yang sanggup dihasilkan. Gejala ini sebenarnya sudah kelihatan sejak 1970, namun dulu perbedaannya begitu kecil hingga belum sempat menarik perhatian. Tapi ketika tahun lalu IRSG dalam Rubher Statis Bulletinnya mengungkapkan bahwa konsumsi karet alam dunia sudah melampaui produksinya dengan 200.000 ton, negara penghasil karet alam mulai meninjau lagi kebijaksanaannya di bidang karet. Dalam sidangnya di Kuala Lumpur Januari lalu, Asosiasi Negara Penghasil Karet Alam (ANRPC) memutuskan, bahwa masalah persediaan penyangga (buffer stock) bukan lagi masalah utama. Tadinya masalah cadangan penyangga ini dilihat sebagai satu-satunya cara untuk memperbaiki harga karet alam yang gerakannya tak menentu itu. Dalam komunike yang dikeluarkannya sesudah sidang tersebut ANRPC melihat bahwa situasi pasaran karet "akan tetap baik" dan meramalkan bahwa "dalam waktu 10 tahun mendatang dunia akan kekurangan suplai karet alam, karena kebutuhan akan terus melonjak." Perkiraan IRSG yang terakhir mengungkapkan bahwa pada 1990 kekurangan ini akan mencapai 2 juta ton, sedang pada 1985 akan 1,6 juta ton. Memang agak merisaukan bagi Indonesia, di saat situasi karet yang baik ini, justru prestasi ekspor karet tahun lalu kurang mengesankan. Benar bahwa devisa dari karet naik dengan 6% menjadi US$566 juta, tapi kenaikan ini terutama karena harga karet yang naik sedangkan volume ekspor malahan turun dengan 20.000 ton menjadi hanya 826.000 ton. Alhasil, pada 1977 kedudukan karet sebagai penghasil devisa digeser oleh kopi, yang waktu itu bisa menghasilkan US$614 juta. Dalam situasi di mana Indonesia harus mendorong ekspor nonminyaknya -- karena minyak makin kehilangan pamornya di masa mendatang ini -- apa yang terjadi pada karet bisa merupakan contoh bahwa Indonesia mungkin akan kehilangan kesempatan. Sebab utama adalah lambatnya pertambahan produksi karet. Dan ini merupakan hal yang cukup berat untuk diatasi. Usaha meningkatkan produksi karet alam di sini sedikit terlambat. Untuk mengejar ketinggalan ini, mau tak mau, dalam Pelita III nanti Pemerintah harus ngebut. Rencana peremajaan ulang seluas 50.000 hektar tiap tahun mesti dilaksanakan, sebab kalau tidak, maka produksi karet Indonesia pada 1985 hanya akan mencapai 977.000 ton. Malaysia pada saat itu makin jauh meninggalkan Indonesia dengan produksi hampir 2,6 juta ton. Pertumbuhan produksi karet memang lambat beberapa tahun terakhir ini. Dibanding peningkatan produksi Malaysia dan Muangthai yang melaju 6 sampai 7% tiap tahunnya, maka pertambahan produksi karet Indonesia hanya merangkak dengan 1,7%. Dari kedudukannya sebagai raja karet sebelum Perang Dunia yang menguasai separuh produksi karet dunia, Indonesia kini hanya memprodusir seperempat produksi dunia. Beres Sulitnya, masalah peningkatan produksi karet bukan hanya perluasan areal atau peremajaan pohon. Petani karet kita -- dari mana sebagian besar devisa karet dihasilkan -- hanya menerima 30% harga fob. Tapi petani Malaysia menerima 60% sampai 70% fob. Jelas ada yang tak beres dalam rantai pemasaran karet di sini. Dengan sedikitnya bagian yang diterima petani dari setiap US$1 ekspor karet, mereka kehilangan perangsang untuk memprodusir. Perkebunan tak dirawat dengan cermat, peremajaan pohon diabaikan, dan bibit yang ditanam sering asal bibit saja, bukan bibit unggul. Di sini masalahnya adalah bagaimana saluran antara petani dan pengekspor karet bisa diperpendek, hingga bagian yang lebih besar dari harga fob bisa dinikmati petani. Barangkali perlu belajar sedikit dari Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus