SEBELAS ribu ton minyak kelapa dari Pilipina bulan Mei lalu
masuk lagi ke Indonesia. Enam ribu ton diimpor oleh PT Kerta
Niaga, lima ribu ton sisanya oleh PT Panca Niaga. Dengan
demikian lima kali sudah Indonesia mengimpor minyak kelapa,
sejak dilakukannya impor permma bulan Oktober tahun lalu.
Waktu itu para pabrikan minyak kelapa mengira bahwa impor
sebesar 5000 ton itu hanya dilakukan untuk menghadapi hari raya
Idhul Fitri dan Natal. Tapi nyatanya impor berikutnya menyusul
terus hampir tiap bulan. Volumenya kian meningkat. Bahkan bea
masuk yang semula masih 40%, sejak Mei lalu sudah diturunkan
menjadi 15%, sehingga dapat dipastikan akan semakin memperlancar
jalannya impor minyak kelapa.
Ini membuat heran Hadi Hanjaya Ketua Gabungan Pabrik Minyak
Kelapa Jawa Timur yang dengan gigih minta agar kebijaksanaan
impor dititik-beratkan pada kopra. "Lha kok bea masuk kopra
justru tidak diturunkan," katanya. "Kalau kebijaksanaan impor
minyak kelapa berlangsung terus, pabrik-pabrik minyak kelapa di
Jawa Timur akan gulung tikar," katanya.
Apa yang dikhawatirkan Hanjaya ternyata terjadi. Bersamaan
dengan masuknya 11.000 ton minyak kelapa bulan Mei lalu, sebuah
pabrik di bilangan Kali Mas Timur menghentikan kegiatannya.
Pabrik itu, PT Harum Tirta, seperti dikatakan Gunawan,
direkturnya, didirikan sejak tahun 1949. Adakah penutupan itu
sebagai akibat langsung dari masuknya minyak kelapa impor? "Ya,"
jawabnya kepada TEMPO.
Harum Tirta, yang berkapasitas 2.500 ton/tahun -- sebagaimana 87
pabrik minyak kelapa di Ja-Tim lainnya -- memang sudah sejak
lima tahunan yang lalu megap-megap. Hal yang sama juga menimpa
17 pabrik minyak keapa di Jawa Tengah. Untuk bisa membuat semua
pabrik minyak kelapa di Ja-Tim bekerja penuh diperlukan 350.000
ton kopra setahun. Padahal selama ini hanya tersedia 72.000 ton
sehingga, seperti dikatakan Hanjaya "hampir semua pabrik hanya
bekerja 25% dari kapasitas."
Yang Mendingan
Kekurangan kopra ini, di samping produksi Ja-Tim sendiri kini
unggal 12.000 ton/tahun yang paling terasa adalah akibat
berdirinya dua pabrik minyak kelapa di Sulawesi Utara. Menurut
Achmad Soekendro, direktur Perusahaan Daerah Jawa Tengah, kedua
pabrik itu kapasitas inputnya 150.000 ton kopra setahun. Padahal
hasil kopra daerah itu hanya 180.000 ton/tahun sehingga praktis
hanya 30.000 ton yang tersisa untuk dikirim ke Jawa.
Karena itu Hanjaya berkeras agar pemerintah menitik beratkan
impor kopra, meskipun diakuinya pihak Pilipina untuk melindungi
pabrik minyak kelapa dalam negerinya memberikan beberapa
fasilitas kepada eksportir minyak kelapa di sana. Sedang
eksportir kopra tidak mendapat fasilitas itu, sehingga
seandainya impor kopra itu dilakukan harganya akan jatuh sangat
mahal.
Ini akan membawa akibat pada kenaikan harga pasaran yang selalu
mendapat penjagaan ketai oleh usaha anti inflasi yang dilakukan
pemerintah. Tapi "bukankah pemerintah bisa menurunkan bea masuk
kopra dan bukan justru menurunkan bea masuk minyak kelapa," ujar
Hanjaya.
Yang nasibnya masih mendingan adalah pabrikan minyak goreng.
Bahkan mereka sudah cenderung meninggalkan pembelian minyak
kelapa dalam negeri sebagai bahan bakunya. "Harganya memang
lebih mahal tapi kwalitetnya lebih baik." Gunawan mengakui.
Harga minyak kelapa impor saat ini mencapai Rp 375/kg sedang
minyak dalam negeri Rp 365/kg. Setiap 1 kwintal minyak kelapa
setelah diproses bisa menjadi 90 kg minyak goreng Ada 50 pabrik
minyak goreng di Ja-Tim, yang terkenal antara lain cap Ikan
Dorang dan Filma. Di pasaran harga minyak goreng pekan lalu
sudah mencapai Rp 575/kg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini