Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Semilir Aroma Djarum

Farindo mendudukkan mantan eksekutif Djarum sebagai komisaris BCA. Kian terang siapa sesungguhnya pemilik bank swasta terbesar ini?

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIDAKHADIRAN Edwin Gerungan seakan menjadi sebuah konfirmasi bahwa sebuah kemelut memang telah terjadi di tubuh Bank Central Asia. Rabu pekan lalu, di Hotel Shangri-la, Jakarta, sang komisaris independen BCA memilih tak hadir dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) luar biasa. Dan persidangan pun berlangsung mulus. Secara bulat, RUPS memberhentikan dengan hormat Edwin, dan menerima pengunduran dua komisaris independen lainnya, Winarto dan Suyono Sadirun. Sebelumnya ramai diberitakan Edwin bersama Winarto dan Suyono Sadirun terdepak atas desakan Farindo Investment sebagai pemilik mayoritas BCA. Pasalnya, mereka dinilai kelewat rewel dalam penyaluran kredit BCA ke Grup Djarum, dan juga menghalangi rencana akuisisi Bank Multicor. Sebagaimana diketahui, 52 persen saham bank yang memiliki aset Rp 117 triliun pada 2002 itu kini dikuasai Farindo. Adapun 90 persen saham Farindo dimiliki Farallon Capital, dan 10 persen sisanya dikuasai dua bos Djarum, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, melalui Alaerka Investment. Lama beredar spekulasi, sejatinya bos rokok itu jugalah yang berada di balik saham Farallon. Sebagai pengganti, rapat lalu mengangkat dua komisaris independen yang baru, yaitu Cyrillus Harinowo, direktur Bank Indonesia yang telah mengundurkan diri sejak Mei lalu, dan Renaldo Hector Barros, konsultan yang lama menangani proyek pengembangan sistem perbankan dan operasional BCA. Satu lagi adalah Tonny Kusnadi. Dia diangkat sebagai komisaris yang mewakili Farindo. Sedangkan Eugene Keith Galbraith dan Alfred Rohimone tetap bertahan di kursi masing-masing sebagai presiden komisaris dan komisaris. Fokus perhatian segera tertuju pada figur Tonny Kusnadi. Penunjukannya sebagai komisaris kontan memicu bisik-bisik di antara hadirin. Bukan apa-apa. Selama ini Tonny dikenal punya hubungan dekat dengan pemilik Djarum. "Aneh, kenapa bukan wakil Farallon yang masuk sebagai komisaris?" ujar seorang analis sekuritas lokal. Kebingungan itu bukan tanpa alasan. Dari komposisi pemegang saham Farindo—90 persen sahamnya dikuasai Farallon—tentu tak lazim jika Farallon tak menempatkan wakilnya di kursi komisaris dan direksi. Selain itu, latar belakang Tonny seperti mengukuhkan spekulasi yang beredar selama ini bahwa Djarumlah sesungguhnya pemilik mayoritas saham BCA kini. Soalnya, sampai Maret 2003 lalu insinyur teknik lulusan Universitas Brawijaya ini masih tercatat sebagai direktur dan komisaris PT Cipta Karya Bumi Indah, anak perusahaan Djarum yang tengah mengembangkan proyek properti supermegah di Jakarta, World Trade Center Mangga Dua. Selain itu, Tonny juga ternyata pernah lama meniti karier di Grup Salim. Ia pernah menjabat General Manager PT Indomobil Sukses International pada 1987, dan mengepalai corporate banking BCA pada 1992-1998. Jika benar Farallon sendiri tak menempatkan wakil di BCA, yang dibelinya seharga Rp 5,3 triliun, ini juga sangat kontras dengan kebijakan Commerz Berhad ketika masuk ke Bank Niaga, ataupun konsorsium Asia Finance Indonesia saat membeli Bank Danamon. Commerz Berhad, perusahaan keuangan asal Malaysia, langsung mendudukkan salah satu petingginya, Tay Un Soo, di posisi Direktur Keuangan Bank Niaga. Begitu pula dengan Asia Finance. Direktur Utama Danamon, Arwin Rasyid, langsung mereka ganti dengan Francis Andrew Rosario, hanya sebulan setelah kepemilikan diambil oper. Tapi spekulasi itu tegas dibantah. Bagi Presiden Direktur Bank BCA, Djohan Emir Setijoso, tidak ada yang salah dengan pengangkatan Tonny. Menurut dia, itu murni dilakukan atas permintaan Farindo sebagai pemegang saham mayoritas. "Pak Tonny itu wakil dari Farindo," ia menegaskan. Hal senada ditegaskan Galbraith, wakil Farindo di BCA. Menurut dia, pergantian ini sama sekali tak ada kaitannya dengan Djarum. Winarto dan Suyono berhenti karena mereka mengundurkan diri secara sukarela. Sedangkan Edwin diminta mundur karena telah diangkat sebagai komisaris Danamon. Sayang, Tonny sendiri tak bisa dimintai komentar. Beberapa saat setelah RUPS usai, dia langsung buru-buru meninggalkan ruangan. Begitu pula dengan Bambang dan Budi Hartono, ataupun pihak Djarum. Mereka tak dapat diwawancarai. Hanya, kepada Koran Tempo, Chandra Adi Susanto, kerabat pemilik Djarum, telah membantah kabar tersebut. "Isu seperti itu tak perlu diladeni," katanya. Soal penempatan wakil manajemen oleh pemilik baru, Setijoso juga menolak menyamakan BCA dengan Niaga dan Danamon. Farallon, kata dia, hanyalah sebuah lembaga bank investasi sehingga tidak bisa menempatkan orang-orangnya sendiri untuk duduk di BCA. "Karena itu mereka menunjuk profesional," katanya. Namun seorang sumber TEMPO yang tahu seluk-beluk BCA berpendapat lain. Pemberhentian tiga komisaris independen yang kemudian diikuti dengan pengangkatan Tonny, menurut dia, sudah cukup untuk menjawab siapa sebenarnya pemilik BCA. Indikasi ke arah itu juga muncul ketika manajemen BCA terpaksa menutup kantor cabang New York dan Hong Kong karena bank sentral di kedua negara itu mempersoalkan samarnya jati diri investor di balik Farallon. Setijoso mengakui penutupan kedua kantor tersebut. Namun alasannya bukan karena itu, "Tapi semata-mata karena pertimbangan bisnis," tuturnya. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Kwik Kian Gie bahkan berani memastikan, adalah Budi dan Bambang Hartono sendiri sesungguhnya pemilik Farallon. Perusahaan investasi yang berbasis di Mauritius itu, kata Kwik, merupakan kendaraan semata. Buat sumber TEMPO, pergantian itu juga mempertegas anggapan bahwa "sang juragan BCA sesungguhnya" sangatlah berkepentingan dalam penggusuran Edwin dkk. Setahu dia, tekanan mulai muncul ketika pada April lalu komisaris mengusulkan Grup Djarum digolongkan sebagai pemegang saham pengendali BCA. Bank sentral setuju. Buntutnya, Bambang dan Budi Hartono diminta meneken surat kesediaan bertanggung jawab (letter of undertaking) atas mati-hidupnya BCA. Dengan status itu, Djarum hanya bisa memperoleh pinjaman paling banyak sekitar Rp 1,1 triliun atau 10 persen dari modal disetor. Padahal, jika tidak, Djarum bisa mendulang kredit dua kali lipatnya. Soal penanda tangan letter of undertaking itu dibenarkan Direktur BCA Jahja Setiaadmadja. "Semuanya memang sudah teken," ia mengkonfirmasi. Setri Yasra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus