Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pendatang Baru di Lantai Bursa

Produk investasi yang ditunggu para investor akan diluncurkan. Namanya efek beragun aset.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Michael Steven, 39 tahun, berbinar-binar saat bercerita tentang prospek efek beragun aset (EBA), produk investasi yang akan diluncurkan ke lantai bursa tahun ini. "Perekonomian Indonesia bisa cepat pulih jika pemerintah mau menerapkan EBA sejak awal krisis," kata Michael. "Mungkin kita tak perlu bantuan IMF lagi," ujarnya, agak mengejutkan. Sekilas ucapan Direktur Utama Kresna Securities itu terasa berlebihan. Benarkah prospek EBA sedemikian kinclong sehingga bisa menyelamatkan perekonomian yang kembang-kempis ini? EBA atauI<> asset backed securities adalah produk investasi yang diikat dalam kontrak investasi kolektif (KIK). Menurut Peraturan Bapepam Nomor IX.K.1, portofolio EBA terdiri atas aset keuangan berupa tagihan dari surat bernilai komersial, sewa guna usaha, perjanjian jual-beli, dan tagihan kartu kredit. Selain itu, kredit kepemilikan rumah atau apartemen, utang yang dijamin pemerintah, sarana peningkatan kredit, serta aset keuangan lainnya bisa dimasukkan ke kategori ini. Dari penjelasan Direktur Investment Banking Bahana Securities, Eko Yuliantoro, bahkan diperoleh kesan bahwa lewat EBA, hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maksudnya? Ketika sebuah perusahaan ingin mengubah asetnya yang tak likuid menjadi likuid untuk menambah modalnya, perusahaan itu harus mensekuritisasi asetnya. Caranya, perusahaan tersebut harus menjual asetnya kepada lembaga keuangan atau manajer investasi. Lalu, untuk membayar aset tersebut, si manajer investasi menerbitkan surat berharga (EBA) dan menawarkannya kepada publik lewat pasar modal. Jika ada investor yang membeli EBA tersebut, manajer investasi akan menyerahkan uang hasil penjualan EBA kepada perusahaan. Jadi, proses sekuritisasi aset itu melibatkan tiga pihak, yakni perusahaan yang ingin menjual asetnya (originator), lantas lembaga keuangan yang menerbitkan EBA untuk menjual aset originator, serta investor yang membeli EBA. Menurut Michael, EBA sudah menjadi pembicaraan di kalangan bursa sejak 1997. Tapi, karena saat itu belum ada peraturan yang menetapkan pembayaran pajaknya, rencana penerbitan EBA kandas. Harapan muncul kembali ketika 1 Juni lalu Direktur Jenderal Pajak menandatangani Keputusan Dirjen Pajak Nomor 147/PJ/2003 yang mengatur ketentuan pajak untuk EBA. Lebih jauh Michael menjelaskan bahwa untuk sekuritisasi aset, manajer investasi bisa menerbitkan EBA arus tetap dan EBA arus tak tetap. Perbedaannya, EBA arus tetap diperingkat dan dijual dalam bentuk surat utang atau obligasi. EBA ini disebut EBA arus tetap karena investor menerima bunga yang besarnya tetap dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan EBA tak tetap dijual dalam bentuk sertifikat penyertaan kepada originator. Investor yang memegang sertifikat tersebut menerima bunga yang besarnya tak tetap. Menurut Direktur Pajak Penghasilan, Sumihar Petrus Tambunan, berdasarkan aturan nomor 147/PJ/2003, bunga yang diperoleh dari EBA arus kas tetap diperlakukan sama dengan obligasi. Itu berarti bunganya dipotong sesuai dengan PP Nomor 6 tahun 2002. Sedangkan EBA arus kas tak tetap diperlakukan sama dengan reksa dana. Jadi, investor tidak diwajibkan membayar pajak. Eko Yuliantoro yakin EBA bakal disambut positif oleh pemain bursa. Michael bahkan optimistis EBA akan mengalahkan obligasi ataupun reksa dana. "Dibanding obligasi dan reksa dana, EBA menawarkan bunga yang menarik dengan risiko lebih rendah," kata Michael sedikit berpromosi. Di mata analis perbankan Mirza Adityaswara, optimisme menyambut kelahiran EBA itu beralasan. Katanya, di Amerika Serikat, sejak awal 1990-an, EBA termasuk jenis investasi yang paling digandrungi. Bahkan tahun lalu investasi EBA di AS mencapai 40 persen dari produk domestik bruto negeri itu. Di Indonesia baru ada tiga bank yang berniat menerbitkan EBA, yakni BNI 46, Bank Tabungan Negara, serta BII. Saat ini, BNI 46 tengah menjalin kerja sama dengan Kresna Securities untuk menerbitkan EBA atas tagihan kartu kredit BNI sebesar Rp 500 miliar. Walaupun masih terlalu dini, Michael yakin EBA mampu menggerakkan ekonomi. Alasannya, EBA punya beberapa keunggulan. EBA misalnya bisa memutar "uang tidur" lebih cepat, sehingga dana mengalir ke tempat yang lebih produktif. Bagi perbankan, EBA membantu bank memperbesar penyaluran kredit tanpa membahayakan CAR-nya—ini karena duitnya diambil dari aset yang disekuritisasi. Jika semakin banyak bank menerbitkan EBA, pada gilirannya hal itu akan mendorong kegiatan ekonomi. Namun, agar skenario EBA berjalan mulus, Mirza mengingatkan pentingnya pengawasan perbankan. Selain itu, manajer investasi sebagai pengelola aset harus ekstra-hati-hati. Sebab, bila pengelolanya gegabah, EBA juga bisa melahirkan lingkaran utang yang tak kalah rumit dibandingkan dengan lingkaran utang yang diciptakan Asia Pulp & Paper, misalnya. Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus