Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, terpaksa memperpanjang jam kerjanya hingga larut malam. Ia bukan gemar begadang, tapi perusahaan yang dipimpinnya kini sedang dihadang persoalan berat. Sejumlah dokumen restrukturisasi perusahaan terhampar di meja kerjanya. Sejumlah jurus pun telah disiapkan untuk memperbaiki kinerja maskapai penerbangan milik pemerintah itu.
Nababan memang tidak punya pilihan lain. Maklum, sejak 1997, kondisi keuangan Merpati tidak pernah membaik. Kewajibannya menumpuk, sementara pendapatan dari penjualan jasa angkutan udara merosot tajam akibat persaingan yang semakin ketat. Sejak enam tahun lalu, misalnya, utang Merpati tidak pernah bergerak dari 12 digit. Bahkan tahun ini total kewajiban kepada kreditor dan pihak lain mencapai Rp 1,6 triliun. Sementara itu, ekuitas perusahaan minus Rp 700 miliar. Pada kuartal pertama tahun 2003, Merpati sudah mencetak kerugian Rp 40,5 miliar. "Ini semua warisan yang harus saya benahi," katanya kepada TEMPO.
Beban Merpati semakin berat ketika persaingan sudah mencapai tahap hidup-mati. Hal ini terjadi karena jurus "banting harga tiket" yang dipraktekkan sejumlah perusahaan penerbangan lain. Tak dapat tidak, Merpati juga harus bisa menjual tiket lebih murah. "Kalau tiket murah, biaya operasional akan semakin besar, kerugian akan membengkak," kata Nababan menghitung-hitung.
Peta bisnis angkutan udara memang berubah total sejak pemerintah membuka usaha penerbangan kepada investor swasta. Jumlah maskapai penerbangan kontan membengkak dari 5 menjadi 12. Bahwa jumlah ini akan terus bertambah, itu cuma soal waktu. Soalnya, masih ada puluhan permohonan izin baru yang kini menunggu keputusan dari Departemen Perhubungan.
Pokoknya, pemerintah membuka pintu selebar-lebarnya kepada setiap investor yang ingin mengadu peruntungan di jalur udara. Modalnya, cukup dengan dua pesawat jenis Fokker atau Boeing yang disewa—tidak perlu memiliki—nah, Anda sudah bisa mendirikan perusahaan penerbangan. Menghadapi percaturan yang ketat ini, pemain lama seperti Garuda dan Merpati tentu harus membuat terobosan agar mampu bertahan dari gempuran pemain baru.
Kalau mau bertahan, setiap maskapai bukan saja harus jeli memanfaatkan peluang dan menggaet calon penumpang, tapi juga harus bekerja efektif dan efisien. Memang, membanting harga tiket merupakan kiat yang gampang diterapkan. Namun, kalau kualitas pelayanan kurang baik, tiket murah belum tentu bisa menjamin keberhasilan.
Kini harga tiket Jakarta-Surabaya dibanting hingga Rp 235 ribu untuk sekali terbang. Padahal sebelumnya harga tiket ke ibu kota Jawa Timur itu masih dibanderol Rp 399 ribu. Dengan kompetisi bunuh diri seperti ini, sudah ada beberapa perusahaan penerbangan yang terpaksa memarkir pesawatnya untuk selama-lamanya. Yang pasti, dua perusahaan telah tersingkir dari arena sejak tahun lalu. Awair, misalnya, sejak 2002 sudah mengibarkan bendera putih. Korban lainnya adalah Kartika Airlines, milik Yayasan Kartika Eka Paksi (TNI AD).
Keduanya disusul oleh Indonesia Airlines, yang sudah mengistirahatkan pesawatnya sejak awal Mei 2003. "Kami konsolidasi dulu, persaingan harga tiket sudah nggak wajar. Kami nggak sanggup," kata juru bicara Indonesia Airlines, Mohammad Irvan. Namun pihaknya masih melayani rute penerbangan Jakarta-Abu Dhabi dua kali dalam satu minggu. "Untuk mengangkut tenaga kerja Indonesia," ujarnya.
Indonesia Airlines memang istimewa. Meski tergolong pemain baru dengan modal empat pesawat, 2 Boeing 747 dan 2 Boeing 737, perusahaan ini mendapat kepercayaan membawa rombongan haji ke tanah suci Mekah, Arab Saudi. Tapi sayang, para calon haji yang akan menunaikan rukun Islam kelima itu sempat telantar di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Akibatnya, sejumlah biro perjalanan haji menggugat pailit Indonesia Airlines, Mei lalu. Hingga kini kasus itu masih dalam penyelidikan pihak kepolisian. Sampai kapan pemilik perusahaan ini akan bertahan? Irvan tidak dapat menjawabnya. "Mungkin sampai ada pemodal baru," katanya.
Merpati Airlines juga tak luput dari keganasan persaingan ini. Tahun ini perusahaan pelat merah tersebut butuh tambahan dana Rp 200 miliar. Duit sebanyak itu akan digunakan untuk tambahan modal kerja, penambahan pesawat baru, dan perbaikan sistem teknologi. Kebutuhan akan injeksi dana ini bukannya tanpa alasan. Menurut Nababan, kurs rupiah sekarang sedang perkasa dan harga pesawat kini semakin murah. Selain itu, jumlah orang yang bepergian dengan pesawat benar-benar tumbuh pesat. "Sekarang ini momentum untuk memperbaiki kinerja keuangan Merpati," kata Nababan dengan semangat tinggi.
Nababan sudah mempersiapkan empat skenario untuk memperkuat daya juang Merpati. Pertama, meminta pemerintah menginjeksikan dana segar; kedua, melalui pinjaman perbankan; ketiga, kucuran pinjaman pemerintah melalui rekening dana investasi; dan keempat, melalui privatisasi. Tapi, karena keterbatasan anggaran, semua permintaan itu ditolak pemerintah. Kalangan perbankan juga enggan mengucurkan pinjaman karena kondisi keuangan Merpati masih minus.
Kini satu-satunya cara bertahan adalah dengan melakukan efisiensi melalui pengetatan biaya pengeluaran. Sebut saja mempercepat masa pensiun 1.000 karyawan, mengganti katering dengan harga yang lebih murah, dan menambah jam terbang pesawat. "Biasanya dalam satu rute pesawat hanya terbang tiga kali, tapi sekarang bisa lima kali," tutur Nababan.
Cara lain adalah dengan memangkas rute padat seperti Jakarta-Surabaya atau Jakarta-Yogyakarta. Justru pada jalur gemuk itu, Merpati sudah menyerah. "Persaingan harganya sudah tidak wajar, kami tidak mampu lagi bersaing dengan perusahaan lain di jalur padat," ujarnya. Untuk bertahan, Merpati akan menerbangi rute-rute yang jarang dimasuki maskapai lain tapi memiliki potensi pasar besar. "Seperti rute Medan-Dumai-Pekanbaru dengan harga tiket Rp 400 ribu, load factor (rata-rata penumpang) sangat bagus," kata Nababan.
Kesulitan keuangan juga dialami PT Pelita Air Service, anak perusahaan Pertamina, yang biasa melayani carter pesawat perusahaan minyak di Indonesia. Direktur Utama Pelita, Wahyu Hidayat, mengakui hal itu. "Kami memang kesulitan arus kas," ujarnya kepada TEMPO. Menurut mantan Direktur Utama Merpati ini, pihaknya kini tengah mengkaji kembali rute-rute penerbangan domestik. "Bisnis inti Pelita sebenarnya carter pesawat kepada perusahaan perminyakan, bukan di jalur penerbangan yang sudah penuh," kata Hidayat. Untuk itu Pelita akan mengevaluasi kembali rute-rute penerbangan yang tidak menguntungkan. "Yang rugi ditutup saja." Saat ini Pelita memiliki armada udara 43 buah dengan 1.075 karyawan. Tahun lalu perusahaan ini masih mampu mencetak laba Rp 4,2 miliar.
Namun, di antara banyak perusahaan yang kembang-kempis, pemain lama PT Garuda Indonesia justru optimistis menghadapi persaingan antarperusahaan penerbangan yang ketat itu. Direktur Niaga Garuda, Bachrul Hakim, menyatakan jalur padat seperti Jakarta-Surabaya mengalami pertumbuhan hingga 84 persen. "Kami sangat fleksibel menetapkan tarif," tuturnya kepada TEMPO. Ini berarti, jika permintaan tiket meningkat, Garuda akan memberlakukan harga normal. Sebaliknya, jika sepi, perusahaan penerbangan milik pemerintah ini akan menawarkan tarif promosi.
Sejauh yang menyangkut program Citilink (low cost operation system), Bachrul menjelaskan bahwa program itu diberlakukan secara fleksibel. Harga jual tiket untuk penerbangan Citilink memang berbeda dengan jalur reguler. Program ini didesain tanpa makanan dan awak kabin, dan jumlahnya terbatas. Harga tiketnya sangat bersaing dibandingkan dengan tawaran dari perusahaan penerbangan lain. Jakarta-Balikpapan, misalnya, dengan Citilink, Garuda berani menawarkan harga di bawah Rp 400 ribu, dari harga normal Rp 550 ribu.
Bicara tentang kondisi keuangan, Direktur Keuangan Garuda, Emirsyah Satar, mengaku masih aman. "Memang ada potensi kehilangan pendapatan Rp 1 triliun akibat SARS dan perang Irak," ujarnya. Untuk triwulan pertama tahun 2003, Garuda masih bisa mencetak laba Rp 55 miliar. Hingga kuartal pertama tahun ini, pendapatan operasi perusahaan dengan logo kepala burung berwarna biru ini mencapai Rp 2,8 triliun. Tapi, seperti perusahaan milik pemerintah lainnya, utang Garuda juga menjulang tinggi. Tahun ini total utangnya Rp 6,12 triliun atau lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp 6,32 triliun.
Tentu, siapa pun akan senang jika pasar dibuka lebar. Tapi hanya perusahaan yang dikelola secara baik dan efisienlah yang bakal bertahan dan berkembang.
Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini