Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KCI akan mengimpor kereta bekas dari Jepang.
Pemerintah meminta KCI membeli kereta dari Inka.
Inka belum sepenuhnya siap memasok kereta untuk KCI.
SEPANJANG pekan lalu, para petinggi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) berada di Jepang. Mereka menemani rombongan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang hendak memeriksa rencana impor kereta rel listrik (KRL) bekas dari Negeri Sakura. KCI berkepentingan dalam audit BPKP karena hasilnya menjadi syarat mendapatkan izin impor kereta bekas yang prosesnya terkatung-katung beberapa bulan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kereta bekas tersebut sebetulnya gratis dan PT KCI hanya perlu membayar ongkos kirim. Namun, menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, ada biaya-biaya lain yang tetap dikeluarkan importir seperti KCI. "Tetap ada biaya di luar ongkos kirim," ujarnya pada Jumat, 17 Maret lalu. Semua biaya ini akan diperiksa oleh BPKP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Audit BPKP menjadi jalan tengah drama tarik-ulur rencana impor kereta bekas, yang mengganjal operasi KCI. Meski barang bekas, kereta dari Jepang menjadi sarana penting bagi KCI untuk menjalankan angkutan komuter di Jakarta dan sekitarnya. KCI tak kunjung mendapatkan izin impor karena tak disetujui Kementerian Perindustrian, yang menghendaki pengadaan kereta melalui kontrak dengan PT Industri Kereta Api (Persero) atau Inka. Kementerian Perindustrian menghendaki KCI memakai produk Inka demi memenuhi ketentuan penggunaan produk lokal.
Tapi langkah ini tak mulus karena Inka tak siap memasok kebutuhan KCI. Mulai tahun ini hingga 2024, KCI akan mempensiunkan 29 rangkaian KRL karena masa pakainya sudah habis. Untuk mengganti armada tersebut, KCI berniat mengimpor 10 rangkaian KRL bekas tipe E217 berusia 28 tahun pada 2023 dan sisanya untuk kebutuhan 2024. Sedangkan Inka baru siap memasok kereta pada 2025.
Bongkar muat gerbong kereta rel listrik commuter line yang diimpor dari Jepang di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 4 April 2018. Tempo/Tony Hartawan
KCI berdalih, selain terdesak kebutuhan, impor kereta bekas lebih murah ketimbang membeli produk Inka. Pasalnya, anak usaha itu hanya perlu membayar ongkos kirim kereta bekas yang diperoleh secara gratis dari sejumlah pemasok. Biayanya kurang-lebih Rp 1 miliar per rangkaian. Sedangkan pengadaan kereta dari Inka membutuhkan biaya Rp 4 triliun.
Di tengah polemik ini, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mencoba menengahi. Sebagai syarat impor, Luhut meminta BPKP mengaudit biaya-biaya yang diajukan KCI. Pada Senin, 6 Maret lalu, Luhut menggelar pertemuan dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, serta manajemen KCI dan induk usahanya, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Luhut memutuskan penerbitan izin impor tergantung hasil audit BPKP.
Keputusan ini diambil antara lain untuk menghindari berulangnya kasus yang terjadi sekitar satu dekade lalu. Pada 2011, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum eks Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan, Soemino Eko Saputro, tiga tahun penjara karena korupsi biaya impor kereta bekas dari Jepang. Kasus ini sempat menyeret Hatta Rajasa, yang saat itu menjabat Menteri Perhubungan.
Karena itulah para petinggi KCI kini berharap-harap cemas, menanti hasil pemeriksaan auditor BPKP.
KERETA Commuter Indonesia sebetulnya rutin mendatangkan kereta rel listrik bekas dari Jepang. Terakhir, anak usaha Kereta Api Indonesia itu mengimpor 120 kereta atau 10 rangkaian KRL bekas seri JR 205. Tapi, sejak awal masa pagebluk pada 2020, jumlah penumpang kereta komuter terjun bebas. Sebagai perbandingan, pada 2019 KCI bisa mengangkut 340 juta penumpang di Jakarta dan sekitarnya dalam setahun. Setelah pandemi datang, jumlah penumpang hanya 146 juta per tahun.
Penumpang Commuter Line di area Stasiun Manggarai di Jakarta, 1 Maret 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Perubahan mulai terjadi pada 2022, saat jumlah penumpang mencapai 215,05 juta. Tahun ini bahkan jumlah penumpang bisa sebanyak 1 juta per hari atau di atas 365 juta per tahun. Pada saat yang sama, banyak unit kereta yang sudah harus pensiun. Dari 1.150 atau 110 rangkaian KRL bekas dari Jepang yang dioperasikan KCI, sebanyak 12 persen atau 138 unit sudah berumur 50-59 tahun—dihitung dari tahun produksi di Jepang. Ini berarti sudah saatnya kereta itu diganti.
Karena itu, sepanjang tahun lalu para pejabat KCI dan KAI bergerilya mengejar izin impor kereta bekas. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka sulit mendapatkan izin. Seorang pejabat badan usaha milik negara mengatakan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bersama Kementerian Perindustrian menolak impor KRL bekas seraya meminta KCI menggunakan kereta buatan Inka.
Di sisi lain, kesiapan Inka memasok kebutuhan KCI menjadi pertanyaan. Sebab, selama ini Inka hanya bisa membuat kereta tanpa penggerak seperti gerbong dan kereta penumpang yang ditarik lokomotif. Dalam produksi KRL, Inka hanya bertindak sebagai integrator atau perakit yang memasang aneka komponen dari pemasok lokal dan asing. Saat membuat kereta Bandar Udara Soekarno-Hatta, misalnya, Inka menggunakan teknologi penggerak dari Bombardier, Jerman. Adapun dalam proyek pengadaan kereta ringan (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi, Inka memanfaatkan teknologi CAF Power & Automation asal Spanyol.
Karena itu, sejak 2019 Inka menjajaki rencana kerja sama dengan produsen kereta berpenggerak kelas dunia. Berdasarkan catatan pemerintah, kandungan lokal KRL bikinan Inka hanya 43 persen. Kepada Tempo, mantan Direktur Utama Inka, Budi Noviantoro, mengatakan komponen lokal yang dibuat Inka hanya rangka konstruksi dan bogie atau perangkat beroda. Sisanya masih diimpor, antara lain dari perusahaan asal Cina, Jiangsu Tedrail Industrial Co. "Sekarang kita mulai bisa membuat. Kalau untuk LRT masih impor," tuturnya pada Rabu, 15 Maret lalu.
Budi pun menuturkan pengalaman saat Inka kalah dalam berbagai tender pengadaan kereta berpenggerak di beberapa negara. Salah satunya di Taiwan. Inka hanya menang dalam tender kereta penumpang dan gerbong di negara berkembang seperti Bangladesh dan Filipina yang sangat sensitif terhadap harga. Budi mengaku kemudian menjajaki kerja sama dengan perusahaan Swiss, Stadler Rail AG, pada awal 2019. Inka berniat bekerja sama untuk mengembangkan teknologi kereta berpenggerak.
Pada September 2019, kerja sama Inka dan Stadler terbuhul melalui nota kesepahaman pendirian perusahaan patungan bernama PT Stadler Inka Indonesia (SII). Perjanjian yang diteken di Swiss dan disaksikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno itu juga ditandai dengan pemesanan 500 kereta baru dari KAI. "Saat itu saya melihat ada peluang terobosan dari kerja sama dengan Stadler. Kalau harus belajar dari awal, butuh dana, waktu, dan personel untuk mengejar teknologi kereta berpenggerak," kata Budi.
Petugas mengoperasikan mesin untuk mengangkut kereta yang diproduksi PT INKA untuk diekspor ke Bangladesh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Maret 2016. Dok.Tempo/Aris Novia Hidayat
Tapi rencana manis itu berantakan gara-gara pandemi. Inka dan KAI sama-sama mengalami kesulitan sehingga order dari SII mundur. Order dari pelanggan Stadler di luar negeri pun tak kunjung datang. "KCI perlu mengubah rencana kerja dan anggaran perusahaan untuk pengadaan kereta baru," ujar Budi.
Bagi KAI dan KCI, pembelian kereta baru menjadi hal sensitif di tengah tingginya biaya dan upaya efisiensi. Pengadaan KRL baru bakal mengerek biaya operasional perusahaan itu. Kenaikan biaya itu akan mempengaruhi anggaran subsidi atau public service obligation (PSO) yang dipakai untuk menutup biaya operasi KRL angkutan komuter. Sampai saat ini, 57 persen tarif KRL ditanggung pemerintah lewat PSO.
Untuk membeli kereta baru, KAI dan KCI memerlukan komitmen dari Kementerian BUMN dalam bentuk penyertaan modal negara serta tambahan PSO dari Kementerian Perhubungan. Dalam diskusi yang digelar Institut Studi Transportasi pada 23 Juni 2022, Roppiq Lutzfi Azhar yang saat itu menjabat Direktur Utama KCI menyatakan masih mengkaji opsi pembelian KRL dari Inka.
Roppiq pun menyatakan ada unit KRL yang harus segera diganti. Namun, karena belum ada komitmen pendanaan dan tambahan PSO dari pemerintah, juga masih terbatasnya kemampuan Inka, KCI meminta izin untuk mengimpor kereta bekas dari Jepang. Tempo meminta tanggapan dari Roppiq tentang hal ini. Namun Roppiq, yang kini menjabat Direktur Pengembangan Inka, tak menjawab.
KERETA Commuter Indonesia melayangkan permohonan izin impor kereta rel listrik bekas kepada Kementerian Perdagangan pada 13 September 2022. Dua pekan berselang atau pada 28 September 2022, Kementerian Perdagangan meminta masukan dari Kementerian Perindustrian mengenai rencana impor ini. Kementerian Perindustrian menjadi kunci karena bertugas mengawasi penggunaan produk dalam negeri di berbagai sektor, terutama perusahaan negara. Pada 11 November 2022, Kementerian Perindustrian meminta penjelasan dari KCI tentang rencana impor KRL bekas dari Jepang.
Lima hari kemudian, KCI meminta rekomendasi teknis impor KRL bekas dari Kementerian Perhubungan. Dalam rekomendasi yang terbit pada 19 Desember 2022 itu, Kementerian Perhubungan menyetujui rencana impor dengan catatan komitmen pembelian KRL baru KCI dari Inka harus segera diwujudkan.
Kementerian Perhubungan sudah memberi lampu hijau. Namun KCI tak mendapatkannya dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Pada 6 Februari 2023, KCI menerima surat dari Kementerian Perdagangan yang menyebutkan rekomendasi teknis impor tak bisa diberikan. Alasannya, pemerintah sedang berfokus meningkatkan jumlah produksi dalam negeri dan substitusi impor. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian meminta KCI membeli KRL dari Inka, baik dalam bentuk terurai atau completely knock-down maupun tidak lengkap alias incompletely knock-down.
Surat ini membuat rencana penggantian unit KCI terkatung-katung. Akhirnya, pada Kamis, 9 Maret lalu, KCI meneken pemesanan KRL baru ke Inka. Inka akan membuat 16 rangkaian atau 192 unit KRL di pabrik baru mereka di Banyuwangi, Jawa Timur, hasil kongsi dengan Stadler. Nilai order kereta yang baru akan siap pada 2025 ini sebesar Rp 3,8 triliun.
Senyampang dengan itu, muncul dugaan KRL baru pesanan KCI adalah produk Stadler. Namun juru bicara Inka, Muhammad Advin Hidayat, mengatakan kereta baru itu buatan perusahaannya. "Bedanya, badan KRL baru ini dibuat dari stainless steel (baja tahan karat)," ujarnya pada Jumat, 17 Maret lalu. Menurut Advin, produk Stadler biasanya terbuat dari aluminium. Namun dia enggan menjelaskan teknologi penggerak yang akan dipakai Inka untuk kereta pesanan KCI.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo dan pelaksana tugas Direktur Utama KCI, Suryawan Putra Hia, juga enggan menjelaskan detail pemesanan KRL baru kepada Inka. Sedangkan juru bicara KCI, Anne Purba, mengatakan baru bisa memberi penjelasan sepekan ke depan.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto​ mengatakan pemerintah sedang menghitung dampak pengadaan KRL baru terhadap keuangan KCI dan KAI serta efeknya terhadap subsidi atau PSO. "Ada tiga opsi pembiayaan untuk pengadaan itu," ucapnya. Seto menyebutkan biaya pengadaan kereta baru KCI bisa dipenuhi dari penyertaan modal negara, penambahan PSO, atau pembebanan pada tarif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo