Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT KCI membutuhkan 29 gerbong baru karena gerbong lama sudah uzur.
Tapi PT KCI tidak bisa mengimpor kereta bekas Jepang karena kewajiban mengutamakan industri dalam negeri.
PT Inka tak siap mendatangkan gerbong baru yang lebih mahal.
SATIRE kalau bisa dibuat rumit buat apa dibikin mudah agaknya pas menggambarkan penyediaan layanan transportasi kereta. Alih-alih segera menyediakan gerbong-gerbong kereta listrik untuk melayani penumpang yang terus bertambah, pemerintah sibuk dengan urusan mengaturnya. Walhasil, impor kereta bekas dari Jepang tak kunjung terlaksana, penyediaan gerbong oleh industri dalam negeri jauh panggang dari api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, untuk melayani para komuter Jakarta dan kota-kota aglomerasi sebanyak 1,2 juta orang per hari, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) membutuhkan 29 gerbong baru karena gerbong lama sudah uzur. Cara cepat mendapatkan gerbong-gerbong itu adalah mengimpor gerbong bekas dari Jepang—seperti yang sepuluh tahun terakhir dilakukan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, meski berupa hibah, dibutuhkan ongkos kirim Rp 1 miliar per gerbong untuk mendatangkannya. Tapi, karena ingin menggairahkan industri kereta dalam negeri, Kementerian Perdagangan tak mengizinkan impor itu. Ada kewajiban PT KCI membeli gerbong baru dari PT Industri Kereta Api (Inka). Biaya untuk membuat 16 set kereta listrik Rp 4 triliun.
Seharusnya sampai di sini asas supply dan demand itu terpenuhi. Ada permintaan, ada penyedianya. Tapi nyatanya tak sesederhana itu. Gerbong PT Inka baru tersedia pada 2025. Demi harga diri bangsa dan mendorong kemajuan industri dalam negeri, pemerintah memerintahkan PT KCI melakukan retrofit atau kanibal komponen gerbong bekas Jepang. Sialnya, PT Inka sulit mendapatkan komponen gerbong-gerbong tua itu.
Masalah sederhana penyediaan kereta jadi riweuh tak karu-karuan karena keinginan-keinginan pemerintah tak relevan dengan kebutuhan faktual. Jika gerbong-gerbong uzur itu tetap berjalan di rel Jabodetabek, pemerintah mempertaruhkan keselamatan banyak orang. Keterlambatan mendatangkan 29 gerbong itu juga berpotensi menyebabkan penumpukan 200 ribu penumpang per hari.
Angka-angka itu tidak remeh. Pengguna KRL Jabodetabek umumnya pekerja kantor, jasa, dan industri yang menggerakkan ekonomi Ibu Kota dan sekitarnya. Sejak dibereskan Ignasius Jonan, saat menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia pada 2009, kereta Jabodetabek berubah menjadi sarana transportasi yang nyaman untuk pulang-pergi kerja. Jika KRL kembali tak nyaman akibat kekurangan gerbong, ekonomi akan terganggu.
Para komuter akan beralih ke sarana transportasi lain, entah kendaraan pribadi entah kendaraan umum berbasis jalan raya. Kita tahu, panjang jalan Jakarta tak cukup menampung kendaraan pada hari sibuk. Dengan 47,5 juta perjalanan per hari, kemacetan tak terhindarkan. Kementerian Perhubungan menghitung kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 67 triliun setahun.
Baca liputannya:
Maka, ketimbang mempersulit urusan yang mudah tentang mendatangkan gerbong kereta Jabodetabek, pemerintah mesti membuat kebijakan yang cepat tapi tak keliru. Ihwal pengutamaan industri dalam negeri bisa seiring sejalan dengan kesiapan industri kereta api itu sendiri. Supply dan demand gerbong kereta itu sangat sederhana karena konsumen dan produsennya tunggal, sama-sama perusahaan negara.
Membeli kereta dalam negeri yang mahal akan berdampak pada keuangan PT KCI. Adapun mendatangkan kereta bekas membuka peluang korupsi biaya kirim seperti terjadi pada 2006. Daripada keduanya macet dan mandek, yang berujung pada kerugian konsumen, pemerintah mesti menimbang mana yang kerugiannya paling kecil. Impor kereta bekas Jepang, jika lebih menguntungkan, sebaiknya menjadi opsi utama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo