Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Seorang Komisaris yang Menyesal

Profil bustanil arifin, menteri koperasi.menyesali krisis bank duta. dikenal agak royal.sebagai lobby ist kalangan golkar di aceh.punya hubungan luas di dunia bisnis.pelbagai bisnis dikelola putra/i-nya.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bustanil Arifin kecewa kepada Dicky Iskandar Di Nata, ia takut Pak Harto. Ia mencintai Bank Duta, yang dibangunnya dari negatif. BISA jadi, inilah masa paling berat dalam perjalanan hidup Bustanil Arifin. Sebagai Komisaris Utama Bank Duta, tentu saja ia tak bisa men-elak dari tanggung jawab atas kerugian sebesar US$ 310 juta. "Seharusnya saya hentikan mereka ketika kerugian masih kecil," katanya. Tebusannya mahal. Ia menyesal. Bahkan ada yang berspekulasi bahwa posisinya sebagai kepala Bulog juga terancam. Dalam suasana begitu pun, bapak empat anak ini masih mencoba tenang. Dihadapinya serbuan pertanyaan wartawan. Sementara ang-ota komisaris dan direksi lama yang lain masih tercekam suasana setelah pemberhentian mereka, Bustanil masih sanggup bergurau menjawab pertanyaan pers. Bustanil dikenal mudah bergaul dan tak takut pers. Sering dicegat di berbagai kesempatan, ia jarang mengelak. Jumat pekan lalu, misalnya, wartawan TEMPO Bambang Sujatmoko menemuinya sehabis sembahyang. Tanya jawab bahkan dilakukan didalam lift menuju ruang kerjanya. "Saya mau menjawab asal bukan soal Bank Duta," katanya mula-mula. Toh sedikit-sedikit mau juga ia memberi keterangan. Tentang direksi yang dipecat seluruhnya itu, misalnya. Menurut Bustanil, mereka semua memang bersalah. Ia tak sependapat jika ada orang menuduh ini semua terjadi hanya karena kesalahan Dicky Iskandar Di Nata. "Saya kan mendapat laporan dari seluruh direksi," katanya. Tapi ia kemudian mengakui bahwa ia sangat kecewa kepada Dicky, dan tegas ia membantah bahwa selama ini ia "semacam bersekongkol" dengan wakil direktur Bank Duta yang sedang disorot itu. Ada yang mengatakan, Bustanil terlalu mudah memberi kepercayaan dan dana kepada orang. Ia dikenal bahkan agak royal. Salah satu contoh: ketika ia menghadiri sebuah pameran lukisan yang diselenggarakan oleh Koperasi Seniman Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta, empat tahun silam. Di depan sebuah lukisan yang menggambarkan kios Koperasi Unit Desa, ia berhenti. Ketika diberi tahu harga lukisan itu Rp 8 juta, Bustanil malah membayar Rp 10 juta. "Biar Koperasi Seniman punya modal kuat," katanya ketika itu. Demikian pula ketika ia berkunjung ke Aceh. Di sana Bustanil sempat melihat macetnya shoo-ting film Tjoe-t Nya' Dhien yang kolosal itu. Mereka kekurangan dana. Dengan cepat Bustanil merogoh kantungnya dan menyumbang Rp 50 juta. Kelakuan seperti ini sampai-sampai menimbulkan protes dari istrinya sendiri, "Seperti sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan duit Rp 50 juta," demikian gerutu sang nyonya, yang ditirukan oleh suaminya dalam sebuah acara silahturahmi dengan para artis. Sumbangannya memang lari ke mana-mana. Apalagi untuk yang ber-"bau" Aceh. Ia memang dekat dengan Aceh, meskipun lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, 65 tahun yang lalu. Mungkin, karena Bustanil besar di Sumatera Utara. Dimasa revolusi ia berperang di sana. Bersama dengan Rachman Ramly, bekas Dirut Pertamina, ia sempat bergabung dengan Batalyon 3 Resimen Istimewa Medan Area yang beroperasi di utara Sumatera. Kompi Bustanil punya nama seram, "Parang Berdarah". Maklum, sebagian besar dari mereka cuma kebagian senjata parang karena hanya 17 pucuk senapan yang mereka punyai. Usai dengan berbagai petempuran itu, Bustanil, yang memang sejak awal ingin menjadi tentara, akhirnya menekuni karier serius di dunia militer. Terakhir, ia sudah menapak jenjang letnan jenderal sebelum pensiun. Pengalaman dan kedekatannya dengan Aceh juga dimanfaatkannya dalam menjalankan kegiatannya di bidang politik. Sebagai wakil ketua Dewan Pembina Golongan Karya, salah satu pekerjaan Bustanil adalah membawahkan wilayah Daerah Istimewa Aceh. Ia memang dikenal sebagai lobbyist untuk Aceh di kalangan Golkar. Menjelang Pemilihan Umum 1987 lalu, misalnya, Bustanil sempat mengunjungi Tengku Daud Beureueh. Bekas Gubernur Militer di Aceh ini dikenal sebagai tokoh "keras" yang sempat memimpin DI/TII. Pada kunjungan itu Bustanil lalu menyampaikan bantuan dari Pak Harto. Sebaliknya, lewat dia Tengku mengirim salam kepada Presiden. Lapangan Bustanil bukan cuma gelanggang politik. Sebagai ketua Bulog ia berhubungan luas dengan kalangan bisnis. Misalnya untuk bisnis tepung terigu, yang di sini dimiliki taipan besar Liem Sioe Liong. Sebagai penanggung jawab pengadaan bahan pokok, Bulog punya hak untuk memasarkan tepung terigu yang dihasilkan oleh PT Bogasari. Semua hasil Bogasari dibeli Bulog, demikian juga bahan baku gandum kasar harus dibeli dari Bulog. Di dunia bisnis, Bustanil juga menonjol. Menurut majalah Eksekutif, salah satu suksesnya adalah ketika ditunjuk sebagai care taker di PT Berdikari pada 1973. Bustanil, yang baru usai menjabat konsul jenderal di New York, Amerika Serikat, mendapat perusahaan yang sedang oleng berat. Perusahaan milik pemerintah ini, dalam penuturannya, bisa dipulihkannya. Bahkan langsung menangguk untung sejak tahun pertama Bustanil terjun ke sana. Bustanil, resminya, tak punya bisnis pribadi. Tapi pelbagai bisnis dikelola putra-putrinya. Holding company perusahaan keluarga ini adalah PT Citra Sari Makmur. Menurut data yang dihimpun Pusat Data Bisnis Indonesia sudah 18 perusahaan yang dihimpun dalam kelompok ini. Mereka masuk ke banyak bidang. Mulai dari perdagangan, perikanan, makanan, perternakan, keuangan, kontraktor, farmasi, sampai ke industri kertas. Beberapa di antaranya cukup besar. PT Dafa, misalnya. terhitung sebagai produsen susu cair terbesar di Indonesia. Selain dalam bisnis susu, kelompok ini juga terhitung nomor empat terbesar dalam bisnis pulp. Aset yang dimiliki oleh kelompok ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 100 milyar. Sementara itu, total penjualan mereka mencapai Rp 176 milyar. Ini semua angka untuk tahun 1988. Kelompok usaha yang dikomandani satu-satunya putri -Bustanil, Ny. Arnie Arifin, ini juga sudah go public. Salah satu anak perusahaan yang sudah menjual hampir 11% saham ke masyarakat itu adalah PT Indocitra Finance. Sisanya, 62%, masih dikuasai Citra Sari Makmur. Sedangkan Koperasi Karyawan Bukopin memegang 9% (dibulatkan) dan Koperasi Karyawan Bulog menguasai 18% (dibulatkan). Hanya saja, tak semuanya adalah cerita keberhasilan. Tahun lalu Citra Sari Makmur sempat menggalang kerja sama dengan Perumtel untuk membangun Sistem Data Stasiun Bumi Mikro, senilai Rp 40 milyar. Saat itu, Citra menargetkan bakal meraih 1.500 pelanggan yang akan dikenai tarif sekitar US$ 2.000 sebulan. Nyatanya, menurut sebuah sumber di Perumtel, proyek ini belum bisa dipetik hasilnya. Konon, pelanggan yang masuk baru tercatat sekitar 50. Latar belakang bisnis yang "kental" seperti itu ternyata tak membuat Bustanil canggung di dunia perkoperasian. Ketika ditunjuk Pak Harto sebagai Menteri Muda Koperasi, 1978, kalangan koperasi memang sempat geger. Maklum, ia dianggap sebagai "kapitalis tulen". Dalam sebuah wawancara dengan majalah Eksekutif 1982 lalu, ia mengakui soal itu. Jika ada koperasi minta jatah gula dari Bulog, misalnya, maka ia selalu bertanya untuk apa mereka minta. "Tapi setelah jadi menteri koperasi, ya tidak," katanya waktu itu. Akhir-akhir ini, sebagai Menteri Koperasi, jelas peran Bustanil makin besar. -Apalagi setelah gagasan Presiden tentang penjualan saham konglomerat kepada koperasi. Departemen Koperasilah yang bertugas menyiangi-- koperasi mana saja yang dianggap cukup sehat untuk membeli saham yang dijual kelompok-kelompok besar itu. Di tengah kesibukan inilah krisis Bank Duta meletus. Dan Bustanil mengakui, kesibukannya yang berlebihan ini sedikit banyak membuat Bank Duta jadi kurang terawasi. "Itulah salahnya kalau terlalu banyak merangkap-rangkap kerja," tuturnya masygul. Dengan pertimbangan itu pula, Bustanil merencanakan akan menggeser beberapa pekerjaannya. Yang jelas, betapapun, Bustanil sangat terpukul dengan kejadian itu. Hubungannya dengan Presiden Soeharto, yang selama ini sangat dekat, tentu saja tak bisa pulih dalam waktu dekat. "Saya malu sekali pada beliau. Saya diberi kepercayaan, tapi saya tak bisa melaksanakan seperti yang diharapkan. Kalau selama ini saya dekat dengan beliau, sekarang agak menjauh. Saya takut," katanya jujur. Begitu 15 Agustus 1990 ia dilapori perihal krisis besar Bank Duta, ia tak bisa tidur sampai esok malamnya. Ia menyesal bahwa ia tak dilapori lebih pagi oleh Abdul Gani, dan ia kecewa kepada Dicky, "penjudi itu". Ia bertanya-tanya kenapa kejadian ini harus menimpa dirinya. Tapi mungkin lebih baik bagi Bank Duta bahwa krisis itu segera diketahui, biarpun sudah gawat, hingga cepat diatasi. "Saya mencintai Bank Duta," kata Bustanil (yang juga mencintai anaknya itu) kepada TEMPO. "Saya membangun Bank Duta bukan saja dari nol, bahkan dari negatif." Ia kini harus kehilangan itu. YH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus