Ia mulai dan juru ketik di Citibank, dan berakhir sebagai orang penting Bank Duta. Hidup penuh dengan pertaruhan bagi Ahmad Sidik Mauladi. Tidak hanya di kasino di Perth atau Darwin. KALAU saja tak berdasi, selintas ia tak mirip bankir. Apalagi perawakannya yang tegap lebih sering hanya dibalut celana jean belel, plus kaus oblong dan sepatu sandal. Itulah Ahmad Sidik Mauladi, yang lebih dikenal dengan nama Dicky Iskandar Di Nata, wakil direktur utama yang jadi direktur eksekutif Bank Duta, dan kini jadi sorotan orang. Ia memang bukan orang nomor satu. Tapi di kalangan bankir lain, Dicky sudah dikenal sebagai orang yang paling menentukan maju mundurnya Bank Duta. Ini bisa diartikan hampir semua keputusan besar berada di tangannya, baik dalam menentukan kredit bagi nasabah maupun dalam memobilisasikan dana. Rol Dicky ini, menurut beberapa sumber, sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Maka, wajar kalau kesalahan yang mengakibatkan Bank Duta "kalah" sekitar 310 juta dolar langsung dikaitkan dengannya. Hasil penyidikan resmi belum diungkapkan, tetapi kalangan pemerintah memang melihat faktor Dicky sangat menentukan. Banyak yang menduga, setelah kasus Bank Duta, karier Dicky sebagai bankir praktis habis -- dalam umurnya yang masih 39 tahun. Sulit bagi publik untuk mempercayai suatu bank yang akan memakai Dicky sebagai pemimpinnya nanti, kata sementara kalangan bisnis. Ia dianggap telah menyalahgunakan kepercayaan. Juga kepercayaan komisaris Bank Duta yang kini ikut diberhentikan, Bustanil Arifin, yang menyatakan sangat kecewa terhadap Dicky, yang selama ini ia serahi tugas bersama Direkur Utama Abdulgani. Padahal, jenjang hidup Dicky pada mulanya licin berkilau. Di kalangan perbankan, ia dikenal sebagai bankir yang gesit dalam memanfaatkan peluang bisnis. Perlu dicatat bahwa ia meniti dari bawah. Karena hanya dua tahun duduk di Fakultas Ekonomi Trisakti, Dicky tidak keberatan menerima pekerjaan sebagai juru ketik di Citibank pada 1971. Dua tahun kemudian ia sudah menduduki jabatan sebagai staf. Pada 1975, ia menanjak jadi wakil manajer cabang Citibank di Jeddah. Sejak itulah kariernya kian membaik, seiring dengan berbagai diploma kursus yang diraihnya. Dicky, misalnya, berhasil meraih gelar Master of Business Administration (M.B.A.) dari Golden Gate University di San Francisco. Walaupun perguruan ini tak termasuk universitas top setaraf Yale atau Harvard, gelar Dicky cukup menambah bobot dalam curriculum vitae-nya. Ia juga memperoleh kesempatan mengikuti kursus di Singapura, Athena, Bahrain, Manila, dan Honolulu. Pada 1978, Dicky jadi vice president di Citibank, seperti umumnya manajer Indonesia yang berprestasi. Tapi ia tak berminat melakoni jabatan itu. Ia ingin terjun ke bank swasta nasional, katanya. Keinginannya terlaksana ketika pada suatu hari, di saat cuti, ia berjumpa Abdulgani. Agustus 1979 ia memutuskan pindah ke Bank Duta. Memang, jabatan pertama yang diperolehnya, sebagai kepala divisi operasi, lebih rendah ketimbang vice president. Bahkan, kata Dicky tahun lalu, gajinya jauh lebih rendah dari yang diterimanya di Citibank. Tapi mau apa lagi? "Saya sudah jenuh di Citibank," katanya. Di sini kembali Dicky di jalur cepat. Dalam waktu dua tahun ia sudah menduduki kursi yang "paling basah", yakni kepala divisi kredit. Setahun kemudian, 1981, ia diangkat sebagai direktur kredit Bank Duta. Dicky meraih puncak kariernya dua tahun lalu, ketika diangkat sebagai wakil direktur utama. Sebenarnya ia akan jadi orang nomor satu, dan sudah siap untuk itu, sebab Abdulgani dikabarkan akan pindah memimpin sebuah bank pemerintah yang besar, konon Bank Exim. Tapi rencana ini batal, dan Abdulgani serta Dicky sama-sama memimpin Bank Duta. Sayang, entah sejak kapan, pria sukses yang waktu di SMA Bulungan, Jakarta, pernah berdagang roti bakar dengan nama "Trouble Maker" ini juga punya kebiasaan berjudi. Jangkauan taruhannya bisa luas: mulai dari tebak-tebakan nomor di bungkus rokok Gudang Garam Filter (kretek kegemarannya), sampai berangkat ke Australia, ke Burwood Casino di Perth atau Diamond Beach di Darwin. Untuk kegemarannya pula di Jakarta, menurut sebuah sumber resmi, ia pernah menyewa satu kamar di hotel bintang lima guna bertanding kartu atau tebakan lain. Kemudian ada sebuah apartemen di Fark Royale yang beratap biru itu, yang juga dipakainya bertaruh bersama teman-temannya. Tak diketahui persis, berapa banyak uang yang dimainkannya rata-rata. Yang jelas, untuk masuk ke Burwood, misalnya seorang pemain terlebih dahulu harus mendepositokan uangnya 200.000 dolar Australia, atau sekitar Rp 300 juta. Beberapa kali diketahui bahwa Dicky -- bersama beberapa temannya, eksekutif muda Jakarta -- mencarter pesawat jet milik Astra ke Perth. Tapi ada yang mengatakan bahwa di Perth itu ada anaknya yang sulung, yang berumur 21 tahun, bersekolah. Dicky juga membeli rumah cukup bagus di sana. Dan beberapa teman Dicky menyatakan, ia "tak mungkin melakukan manipulasi", misalnya dengan memakai uang Bank Duta untuk bertaruh. Tapi toh kebiasaan Dicky berjudi itu diduga jadi salah satu pendorongnya, "untuk berani dalam bermain valas," kata seorang nasabah. Bermain valas (valuta asing) memang mirip dengan perjudian. Itu "kasino 24 jam", kata seorang bekas anggota dewan komisaris Bank Duta. Yang belum pasti ialah: benarkah Dicky seorang yang bersalah dalam krisis Bank Duta ini. Tak mungkin Abdulgani tidak tahu, kata seorang bankir. Beberapa sumber mengatakan bahwa Abdulgani memang tahu ketika akibat permainan valas itu mulai genting, sekitar April tahun ini, sebelum Bank Duta go public. Hanya ia tak segera melaporkannya ke komisaris. Ia mungkin mau mengatasinya sendiri bersama Dicky, sampai terjadinya suatu peristiwa yang menyebabkan Dicky harus dipindah. Peristiwa itu ialah perkawinan Dicky yang kedua dengan seorang janda muda yang cantik, putri seorang yang punya sejarah dengan Bank Duta. Perkawinan ini bahkan sudah membuahkan anak, yang belum lama ini lahir di Los Angeles, AS, ke mana Dicky terbang menengok dan langsung setelah itu balik ke Jakarta. Tak jelas, sudahkah istri Dicky yang pertama, Rita, memberikan persetujuan, sesuai dengan undang-undang. Rita, yang dinikahi oleh Dicky ketika mereka baru lulus SMA, oleh keluarga Dicky dikenal sebagai wanita yang penuh perhatian kepada suaminya, bahkan dengan setia ikut merawat ayah Dicky yang beberapa waktu lamanya sakit. Konon, dikabarkan bahwa Rita "sudah pasrah" dimadu. Rita melahirkan tiga anak, yang terkecil berumur 10 tahun. Yang tinggal dan bersekolah di Perth adalah si sulung. Meskipun Rita setuju saja, tak berarti posisi Dicky sebagai orang penting di Bank Duta jadi mudah karena perkawinannya yang kedua yang berlangsung kurang dari setahun yang lalu itu. Ketika pemilik saham terbesar dilapori oleh Komisaris Utama tentang kejadian ini, disarankan agar Dicky pindah saja dari Bank Duta. Memang bisa dikhawatirkan akan adanya bentrokan kepentingan antara Dicky sebagai orang Bank Duta dan Dicky sebagai suami seorang wanita yang punya bisnis cukup besar. Tahu bahwa Dicky segera pindah, Abdulgani pun ingin rekannya ini menyelesaikan kegawatan akibat permainan valas itu. Ia melapor ke Komisaris Utama. Bustanil Arifin sangat kaget, dan Abdulgani dipanggil ke Pak Harto. Prosesnya kemudian berjalan cepat. Karier Dicky pun runtuh. Tapi ia masih muda, dan masih bisa hidup cukup. Ia diketahui punya bisnis dengan teman-temannya, seperti Chandra Basuki, Subagio, Tanri Abeng, dan juga Arnie Arifin. Dicky, misalnya, duduk sebagai seorang komisaris di CSM (Citra Sari Makmur), perusahaan yang bermodal dasar Rp 5 milyar dan berkantor di Chase Building itu. Tentu soalnya lain bila kemudian ada tuntutan hukum kepadanya. Budi Kusumah, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini