DENGAN meninggalnya pak Amin Singgih, kita kehilangan seorang
penuntun berbahasa Indonesia yang baik. Ya, pak Amin Singgih
almarhum adalah lebih daripala hanya seorang ahli saja.
Keahliannya barangkali dapat digantikan oleh yang lain-lain
yang sekarangpun telah menduduki jabatan yang lebih menentukan
arah perkembangan bahasa Indonesia daripada pak Amin sendiri.
Tapi pak Amin dihonnati sebagai ahli bahasa Indonesia bukanlah
semata-mata karena jabatannya yang menentukan arah perkembangan
bahasa Indonesia melainkan karena wibawanya yang di binanya
dengan usaha yang tak kena Jemu.
Orang mudah saja akan mengatakan bahwa wibawa pak Amin Singgih
sebagai ahli bahasa Indonesia itu diseb'abkan karena beliau
mendapat tempat secara tetap dalam siaran TVRI. Tapi anggapan
semacam itu dapat dengan mudah dinafikan, karena kitapun
mengenal beberapa orang ahli atau calon ahli bahasa Indonesia
yang mendapat kesempatan muncul di layar TVRI seperti pak Amin
Singgih, namun terbukti kesempatan itu tidaklah juga memupuk
wibawa baginya.
Menurut hemat saya wibawa pak Amin Singgih itu disebabkan oleh
karena setidak-tidaknya dua hal:
1. Keahlian beliau mengenai bahasa Indonesia, terutama karena
selama hidupnya beliau selalu mengikuti dan turut serta
memperkembangkan bahasa Indonesia. Sebagai seorang tua yang kaya
pengalaman, pengetahuan bahasa beliau bukanlah hasil penelitian
belakang meja, melainkan karena benar-benar beliau ikuti
kehidupan bahasa Indonesia seperti yang dihayati masyarakat
luas. Itulah sebabnya keteranganketerangan beliau dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan sekitar bahasa Indonesia di layar TVRI
menarik masyarakat luas, terutama para pemakai bahasa yang
merasa ingin memperbaiki kemampuannya berbahasa -- yang biasa
nya oleh para ahli yang lain dianggap tak punya hak untuk turut
bicara mengenai bahasa Indonesia. Dengan kata lain, pak Amin
Singgih benar-benar menghayati dan menunjukkan keterbukaannya
sebagai ahli bahasa untuk menerima kenyataan bahwa bahasa
Indonesia itu bukan milik sekelompok ahli bahasa saja, melainkan
milik seluruh bangsa Indonesia, sehingga dengan demikian yang
menentukan perkembanganbahasa itu seyogyanya bukanlah sekelompok
para ahli bahasa saja, melainkan harus mendengarkan juga
fihak-fihak pemakal bahasa.
2. Kenyataan bahwa beliau seorang Jawa menyebabkan tambahnya
wibawa pak Amin Singgih yang dalam melancarkan kritik-kritiknya
terhadap kekeliruan yang menjurus kepada penjawaan bahasa
Indonesia. Kalau pak Amin Singgih seorang Sumatera, maka
sikapnya yang keras dalam menolak pen-Jawaan bahasa Indonesia
yang berlebihan, akan diterima dengan reserve. Orang akan mudah
memberikan komentar: "Tentu saja dia menolak pengaruh bahasa
Jawa ke dalam bahasa Indonesia, habis dia orang Sumatera, sih !"
Dalam hal yang kedua itulah uniknya pak Amin Singgih. Dia
seorang Jawa (lahir di Pati, Jawa Tengah), namun dalam memandang
bahasa Indonesia, pak Amin ingin mempertahankan sifat-sifatnya
yang khas. Bukan pak Amin menolak masuknya kata-kata Jawa ke
alam bahasa Indonesia, bukan pula beliau menolak masuknya
pengaruh Jawa ke dalam struktur bahasa Indonesia, tetapi dari
jawabanjawaban yang dilortarkannya melalui TVRI kita bisa tahu
bahwa pengaruh itu hendaknya mempunyai batas-batas tertentu. Pak
Amin nampaknya menolak bahasa Indonesia yang kata-katanya saja
Indonesia, tetapi strukturnya tidak. Sikap seperti itu juga sama
kelas ditunjukkannya kepada mereka yang berbahasa Belanda atau
Inggeris dengan kata-kata Indonesia.
Tapi juga dalam mempergunakan kata-kata pak Amin Singgih tak
lelahlelahnya menganjurkan agar untuk kata yang dapat dicari
gantinya dalam bahasa Indonesia, hendaknya diambil kata
Indonesianya saja. Penggunaan bahasa Inggeris yang berlebihan
yang sekarang ini menjadi mode, bukan hanya di Jakarta, mendapat
kritik keras pak Amin Singgih: apa tak ada kata-kata Indonesia
untuk "shopping centre" main building, youth centre, swimming
pool, dll?
Juga adalah unik peringatan pak Amin Singgih yang tak
jemu-jemunya agar kita memperbaiki kesalahan yang sudah menjadi
kaprah dalam pemakaian bahasa Indonesia. Menjelang hari ulang
tahun proklamasi pak Amin Singgih menjelaskan arti kata
"dirgahayu" yang banyak kita pakai tetapi sering dalam tempat
yang salah. Dan yang paling akhir ialah pemakaian istilah "air
mancur yang salah, karena seharusnya "air mancar ."
Terhadap argumentasi-argumentasi pak Amin Singgih yang sangat
tepat dan kuat biasanya tak ada orang yang membantah. Misalnya
dalam soal "air mancur", paling-paling orang akan kembali kepada
peribahasa "kalau sudah diterima umum, kan salah kaprah, artinya
ya biarkan saja."
Sikap mental ini jelas tak diterima oleh pak Amin Singgih. Yang
salah kalau masih dapat diperbaiki, lebih baik diperbaiki saja.
Alangkah baiknya apabila untuk mengenangkan dan menghormati
jasajasa dan usaha-usaha pak Amin Singgih yang unik itu, kita
menerima anjurannya yang terakhir mengenai "air mancar" itu,
sebagai peringatan kepada diri kita sendiri agar selalu
mempergunakan bahasa yang baik. Mengganti istilah "air mancar"
dengan "air mancar" bukan saja berarti bahwa kita mempergunakan
bahasa yang lebih tepat dan benar, melain kan juga akan selalu
memperingatkan kita untuk selalu hati-hati dalam berbahasa
Indonesia -- bahasa nasional yang harus sama-sama kita junjung
tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini