Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) menuntut pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. Adapun Perpu tersebut akan menggantikan UU Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat meminta pemerintah menggantinya dengan penerbitan Perpu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, serta memberlakukan kembali Undang Undang yang ada sebelum adanya Undang Undang Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini demi menjamin hak kesejahteraan rakyat Indonesia dan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum," tuturnya melalui keterangan tertulis pada Senin, 2 Januari 2023.
Mirah menyebut ada dua alasan perlunya Perpu pembatalan Omnibus Law Perpu Cipta Kerja. Pertama, karena Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 telah memutuskan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Pemerintah wajib melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari UU Cipta Kerja.
Selanjutnya: Alasan kedua ihwal aspek materiil ...
Sementara Mirah mengatakan pihaknya telah mempelajari isi salinan Perpu Cipta Kerja yang beredar di masyarakat sejak semalam. "Ternyata isinya hanya copy paste dari isi UU Cipta Kerja, yang ditolak oleh masyarakat termasuk serikat pekerja. Kalaupun ada perbedaan redaksi, isinya justru semakin tidak jelas dan tidak ada perbaikan sebagaimana yang dituntut oleh serikat pekerja," kata Mirah.
Sehingga, kata dia, demi memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah seharusnya menerbitkan Perpu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Ia berharap pemerintah kembali memberlakukan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta seluruh peraturan turunannya.
Alasan kedua ihwal aspek materiil. Mirah Sumirat mengungkapkan dampak buruk Omnibus UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin. Hal ini, menurut dia, karena UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah, dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia.
Senada dengan Aspek, Partai Buruh juga menyatakan menolak isi Perpu Cipta Kerja Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan pihaknya telah menyandingkan UU Cipta Kerja sebelumnya dengan Perpu Cipta Kerja dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasilnya, ada beberapa poin yang menjadi sorotan Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh lainnya.
Partai Buruh menyoroti soal formula kenaikan upah yang tercantum pada Pasal 88D Perpu Cipta Kerja. Dalam beleid itu, disebutkan variabel perhitungan kenaikan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi. dan indikator tertentu.
Sementara itu, tidak ada penjelasan soal indeks tertentu itu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya. Pasalnya, menurut Said, tidak ada variabel atau istilah indeks tertentu dalam hukum internasional ihwal penetapan upah minimum.
Dia berujar, hanya ada dua formula yang bisa digunakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum, yaitu melalui survei kebutuhan hidup layak (standard living cost) atau melalui variabel inflasi plus pertumbuhan ekonomi.
"Ini hanya mau-maunya Kemenko Perekonomian nih. Kami menginginkan tidak menggunakan indikator tertentu. Cukup inflasi plus pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini